Menyesal ... setidaknya itu yang Moreau rasakan; pendam; berusaha keras tidak membayangkan akan menjadi racun. Dia tak ingin berakhir dengan terjal; penuh rasa sakit, walau sebenarnya cukup mengerti ... jika dan jika akan sangat membutuhkan penawar yang menjadi bagian dari rasa sakit itu sendiri.
“Ibuku, mungkin sebentar lagi akan pulang.” Moreau mengatakan hal serupa untuk kedua kali. Setengah memperhatikan keberadaan lengan Abihirt di kedua sisi wajahnya dengan singkat. Menduga pria itu masih diliputi kebutuhan yang sama. Diam. Betapa tak acuh. Tetapi lagi, dia punya kebiasaan menilai Abihirt lewat cara tidak tepat. Malah, perlahan merasakan sebuah sentuhan paling dasar; begitu tentatif—tanpa peringatan hingga berujung menekan di bibirnya. Tidak cukup lama, karena Moreau juga tidak mengerti mengapa pria itu menyingkir, meski sorot mata itu terasa tidak akan pernah berubah; selalu tajam; riskan; kemudian menyesuaikan, walau tiba – tiba Moreau dikejutkan oleh satuMereka berciuman lagi; nikmat; membakar dan tangan Moreau perlahan menyusuri wajah ayah sambungnya, merasakan rahang pria itu yang kasar, sedikit mengagumi, berharap selalu terbiasa dengan tektur indah di sana sekalipun harus terkejut merasakan Abihirt sengaja melebarkan kedua kakinya lebar. Pria itu mungkin tidak ingin seutuhnya bertelanjang sehingga memilih hanya melucuti separuh bagian dari celana kain, mengeluarkan kejantanan yang tampak membengkak keras. Moreau menelan ludah kasar saat pria itu bersiap akan memasukinya. Nyaris terlalu mudah dan begitu singkat untuk membuat dia gelisah; penuh; terutama ketika Abihirt mulai bergerak; mula – mula dengan tempo tentatif—perlahan beranjak menjadi tumbukan nikmat. Secara naluriah Moreau menggigit bibir bawah. Tindakan murni lainnya berakhir ingin menyentuh lengan pria itu. Hanya sesaat, karena Abihirt seperti terlalu sanksi membiarkan dia, mungkin, menancapkan kuku tangan sekadar meninggalkan bekas cakar. Sentu
“Darling, di mana cincinmu? Mengapa kau tidak memakainya?” Mereka sebenarnya nyaris menyelesaikan makan malam bersama, tetapi Barbara secara naluriah mengajukan pertanyaan di antara keheningan. Kening wanita itu mengernyit dalam. Barangkali baru menyadari selang beberapa jam bertemu pria yang tiba – tiba diam, seperti sedang memikirkan sesuatu, meski tidak pula terlihat cemas menghadapi hal yang terlalu dekat. Sikap yang sungguh bertolak belakang dari bagaimana Moreau mengendalikan diri. Sejak awal dia sudah berusaha keras untuk berbaur. Berusaha tidak terlihat mencolok, atau berharap tidak meninggalkan kesan ganjil di hadapan semua orang, hingga apa pun yang dilakukan terasa sangat membekukan. Hanya sedikit bersyukur bahwa Roger tidak terlihat di mana pun di dalam rumah saat Abihirt keluar dari kamarnya. Sekarang, bahkan pria itu terlihat santai memperhatikan percakapan sepihak—masih menggantung di udara. Pertanyaan Barbara harus segera menemukan jawaban, walau Morea
Nyaris tidak ada pun yang dapat ditemukan. Barangkali memang tidak tercecer di permukaan lantai. Dia langsung meletakkan satu tangan untuk menyentuh permukaan kasur. Bentuk ranjang setidaknya menjadi gambaran di mana perhatian singkat dapat dialihkan. Moreau memulai dengan menyingkirkan selimut tebal berserak, lalu mengangkat bantal demi mencari jawaban. Sedikit merasa aneh saat tidak menemukan sesuatu. Sekarang itu, perlahan membuatnya khawatir. Dapat dipastikan Barbara akan selalu mengajukan pertanyaan sampai wanita tersebut mendapati Abihirt telah menyematkan kembali cincin pernikahan mereka. Ada di mana prospek terbaik akan membawanya pada kelegaan? Moreau bertanya – tanya. Hampir tidak ada petunjuk. Dia mendengkus, setengah menegakkan tubuh dengan putus asa. Semestinya pencarian ini tidak menjadi bagian tersulit. Barangkali masih perlu pelbagai upaya, sementara benaknya terlalu mudah menyerah. Sambil perlahan mengembuskan napas kasar, dia sekali lagi me
Keberadaan Abihirt terlalu samar, tetapi tak dimungkiri pria itu terlihat sangat berbahaya di balik jendela. Moreau memang belum menarik tirai. Semua murni karena kesalahan yang tidak pernah masuk ke dalam daftar. Dia menelan ludah kasar dan bagaimanapun harus mengambil satu langkah lebih dekat. Memberi ayah sambungnya ruang supaya tidak terbatasi sekat di antara mereka. “Apa yang kau lakukan di sini?” Satu pertanyaan segera terungkap setelah membuka jendela kamar. Moreau menatap Abihirt diliputi ketegangan yang terasa berhamburan di bahunya. Terkadang, dia akan mengedarkan pandangan hanya untuk memastikan bahwa pria itu sedang sendiri, menjulang tinggi, seolah tidak ada satu pun hal dapat menghancurkan keinginan Abihirt. “Ingin mengambil cincinku.” Itu dijabarkan dengan suara serak dan dalam yang tenang. Napas Moreau berembus tanpa sadar. Dia harus melanjutkan kebutuhan teringgal sebelum bisa menyerahkan benda tersebut kepada pemilik asli. “Tu
Moreau merasa ada sesuatu yang ganjil setelah situasi kompleks di antara mereka sudah mereda. Tidak ada lagi hal – hal yang coba diangkat ke permukaan. Froy sudah tidak berusaha mencari celah sejak terakhir dia mengusir pria itu dari kamar. Atau sebenarnya, sedikit dihadapkan oleh beberapa kegiatan antara harus mengurus acara pernikahan yang akan datang, sekaligus melangsungkan satu kebutuhan mengenai perhatian sang paman. Beberapa kali Moreau pernah mendapati Froy seperti berusaha membujuk. Cenderung sering, mungkin. Hanya saja Abihirt tampaknya tidak menaruh minat apa pun. Apalagi sekadar menanggapi. Pada akhirnya pria itu menyerah dan memutuskan untuk tidak menunjukkan sikap secara signifikan. Froy berada di bawah pengawasan Gloriya. Barangkali pula ... masa – masa seperti ini memberi tekanan. Bagus, jika memang begitu. Moreau tidak akan menghadapi pelbagai tuduhan. Beberapa hari di sini terasa lebih baik. Bahkan terkadang pesan dari Juan terabaikan. Dia ingin memberi
Belum apa – apa, dan Barbara lebih dulu memulai. Napas Moreau berembus sedikit kasar diliputi desakan untuk menatap wajah ibunya. Hasrat wanita itu masih sama rata terhadap sikap terdahulu. Sayang sekali, tetap ada keinginan untuk menolak. Moreau mengerjap sesaat, nyaris tanpa sadar mengeluarkan suara decakan. “Memangnya kau buat kue itu untuk apa?” Dia bahkan harus kehilangan kendali ketika akhirnya mengajukan pertanyaan. “Besok Abi ulang tahun. Dia tidak ingin dibuatkan pesta, jadi aku berinisiatif memberikannya kue saja.” Itu cukup mengejutkan. Moreau sama sekali tidak mendapat petunjuk tentang hal penting dari ayah sambungnya. Tidak ada yang mencolok atau dia sedikit memahami jika ternyata Abihirt tidak memiliki sikap antusiasme tentang hari besok. “Ulang tahun yang ke berapa kalau aku boleh tahu?” tanya Moreau sekadar ingin memastikan tentang beberapa hal pernah di urai sebagai kesimpulan. Mungkin ada yang salah, atau memang tidak pernah tepat me
Sayup – sayup derap langkah seseorang di balik pintu terdengar mendekat. Ditambahkan gemerincing anak kunci yang memberitahu suatu informasi di sana. Ada yang akan masuk, tetapi sebagian di antara mereka harus bersikap waspada. Moreau melirik ke sekitar walau tidak menemukan apa pun—semua gelap, hanya sedikit diterima capi lilin yang menyala. Mereka perlu memulai hitungan mundur, maka ketika saatnya tiba ... dia akan memutar bagian bawah peletup konfetti dengan kuat. Tiga .... Dua .... Satu .... Suara letupan keras dan kertas – kertas bertebangan langsung menyebar ke seluruh tempat. “Selamat bertambah usia, Darling. Aku mencintaimu.” Suara Barbara menjadi yang pertama kali mencuak ke permukaan setelah ruang gelap menggurita menyala terang. Ini bagian dari rencana wanita itu. Suaminya dimintai pergi selama beberapa waktu dengan melibatkan Roger, yang meskipun sang dokter sempat menolak, tetapi akhirnya setuju untuk menculik dan mengembalik
“Kenapa langsung ke kamar? Kau tidak mau makan kue ulang tahunmu dulu?” Pertanyaan ibunya membuat Moreau menahan napas. Itu terjadi secara naluriah, bukan disebabkan hal – hal lain. Yang cukup relevan mungkin dapat dikaitan dengan sikap Abihirt saat ini. “Besok saja.” Pria tersebut menambahkan sambil melangkah pergi. Terlalu dingin untuk membiarkan semua orang nyaris terpaku, tetapi juga tidak berusaha mencegah. “Aku sudah bilang kepadamu. Selain tidak menyukai pesta, Abi sama sekali tidak tertarik diberi kejutan. Kau lihat ekspresinya tadi. Sebaiknya kalian bubar.” Roger mengungkapkan pernyataan demikian sebagai hidangan akhir. Pria itu turut melangkah pergi, setidaknya akan kembali ke kamar dan tidur di samping Froy. Kebetulan empat kamar membuat situasi terasa lebih cukup. Tiba – tiba Moreau mendengar Barbara mendengkus kasar, antara kesal, tetapi sudah terlalu larut andai wanita itu ingin melampiaskannya. “Ambil ini. Simpan saja ke kulka
“Aku ingin kau mengisapnya.” Pria itu memberi perintah—jelas. Secara naluriah tangan Moreau menggenggam erat kejantanan ayah sambungnya yang telah membekak kokoh. Dia mengernyit sesaat. Tidak tahu apa yang tiba – tiba mendesak di puncak kepala, tetapi tidak dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengambil tindakan begitu terlarang. Moreau menelan ludah kasar ketika dia mulai mengurut maskulinitas Abihirt yang penuh dengan gairah membakar. Senyumnya begitu puas mendapati pria itu mendesis tertahan, bahkan wajah suami Barbara menengadah seakan luar biasa menikmati setiap perlakuan Moreau di sana. Dia diam – diam membungkuk saat pria itu bahkan tidak melihat. “Oh ....” Erangan Abihirt lepas, kemudian menunduk persis mengikuti gerakan lidah Moreau yang meliuk di kepala kejantanan ayah sambungnya. Barangkali pria itu tidak bisa menahan diri lebih lama, sehingga rahang tegas di sana bergemelatuk dengan sayup – sayup geraman singkat. “Bangunlah.” Tidak. Moreau cuku
Moreau langsung membungkuk. Sudah tak peduli jika harus memberi jilatan basah pada belakang telinga pria itu. Sayup terdengar desis tertahan dari mulut Abihirt. Sekarang dia yakin tak perlu lebih berhati – hati, karena semua kendali sedang tunduk kepadanya. Moreau menyeringai tipis ketika memutuskan untuk memberi gigitan ringan, bahkan menargetkan kulit leher pria itu supaya meninggalkan bekas kemerahan di sana. Sedikit tak peduli jika keputusan demikian akan membawa Abihirt pada situasi di mana sikap teliti Barbara menjadi bagian yang seharusnya selalu mereka hindari. Ini hanya semacam agenda balas dendam, mengingat pria itu juga sering kali lupa bagaimana khawatirnya dirinya ketika harus menghadapi situasi tak terduga di antara mereka. “Aku suka tato buatanku.” Moreau terkikik pelan sembari menjalankan ujung telunjuk pada bekas isapan mulutnya di sana. Masih dengan samar – samar suara mendesis Abihirt, tetapi secara ajaib pria itu tidak mengajukan protes. Hanya sepe
“Apa yang sedang kau pikirkan, Moreau?” Abihirt bertanya, sungguh? Perilaku ganjil telah membuat pria itu memikirkan banyak hal. Moreau tak pernah mengira akan ada satu momen di mana dia membiarkan bibirnya terbuka lebih lebar saat ibu jari Abihirt memberi sapuan ringan di sana. Bahkan pria itu mendorong masuk seluruh jempol yang terasa kasar dan besar supaya dia secara naluriah memberi isapan tak terduga. Mereka melakukan kontak mata. Iris kelabu itu benar – benar tampak dilingkupi gairah tertahan. Rasanya dia tak bisa menjabarkan bagaimana tatapan Abihirt terlalu lapar dan ingin melahapnya tanpa ampun. Tubuh Moreau segera tersentak begitu pria itu mendorong tubuhnya jatuh terduduk di atas ranjang. Tuntutan untuk menengadah mengungkapkan pemandangan murni dari cara Abihirt yang terburu ketika membuka jas dan bahkan merenggut ikatan dasi di kerah kemeja. Lengan pria itu menekan di atas ranjang diliputi wajah yang perlahan mencondong ke depan. Betapa Moreau h
“Aku tetap mau pulang. Ibuku akan mencariku nanti.” Dia berharap bisa mengatakan sesuatu yang lain, tetapi pengkhianatan dalam dirinya membiarkan ego melarang. Barangkali akan kelepasan dan membuat semua semakin runyam. “Ibumu tak akan mencarimu.” Lambat sekali suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan seolah pria itu sedang mengusahakan upaya agar Moreau tidak memikirkan sesuatu melebihi apa yang seharusnya. “Kau sendiri yang bilang ibuku sudah menunggu. Dari mana kau tahu ibuku tidak akan mencariku?” dia bertanya sinis. Akan lebih adil jika Abihirt merasakan ketegangan yang coba dia besar – besarkan. “Ada kegiatan pameran busana. Ibumu akan menghabiskan banyak waktu di sana.” Sekarang Moreau tahu. Dia mengangguk – angguk tak acuh seolah ingin membuktikan kepada ayah sambungnya kalau – kalau apa pun yang sedang pria itu inginkan tidak akan dengan mudah terwujud. “Jadi, tadi kau membohongiku? Kupikir kau adalah suami cuek yang tida
“Keluarlah.” Sebuah perintah serius, sepertinya Moreau akan menghadapi masa sulit andai dia masih bersikap keras kepala untuk tidak menuruti setiap keinginan pria itu. Secara naluriah bahunya mengedik tak acuh. Lupakan bahwa ini adalah peringatan terakhir. Dia melipat lengan di depan dada tanpa mempedulikan Abihirt di sana. Ayah sambungnya akan mengerti jika tindakan tersebut masih menjadi bagian dari sikap tidak patuh dan seharusnya pria itu mengambil inisiatif sendiri sekadar melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah kalau – kalau memang hal demikian merupakan bagian dari daftar panjang yang tak terlewatkan. Celakalah, Moreau tidak pernah menduga jika ternyata Abihirt akan mengambil tindakan tak terduga dengan menarik tubuhnya secara paksa dan lagi ... pria itu mendekap persis diliputi cara di klub tadi, membuat dia terombang – ambing menahan sisa rasa pening nan pekat, sementara perutnya meninggalkan sensasi tidak menyenangkan—tertekan di garis bahu yang terasa kokoh
Tubuh Moreau terdesak ke depan ketika dia nyaris setengah terlelap. Mobil ditumpanginya menghadapi krisis tiba – tiba ... seolah itu memang suatu tindakan disengaja. Tidak tahu apa yang sedang berserang di puncak kepala Abihirt saat suami Barbara memutuskan untuk menginjak rem secara tak terduga. Barangkali hal tersebut tidak jauh dari motivasi sederhana ayah sambungnya supaya dia terbangun, sementara makhluk kaku itu tidak menemukan cara untuk menarik Moreau kembali ke permukaan. Menyedihkan. Secara naluriah dia menoleh ke wajah Abihirt. Pelbagai desakan telah menyumbat di puncak kepalanya sekadar meluapkan segala sesuatu yang tertahan. Mungkin keinginan tentang menghantam wajah tampan di sana ... dengan pukulan serius adalah gagasan paling potensial. Moreau harap bisa menuntaskan ide – ide yang berkeliaran bebas, hingga bergelantungan di belakang bahunya dengan cepat. Namun, di satu sisi tak terduga dia harus membayangkan bagaimana menjadi tenang tak tersentuh—
Moreau merasa sangat malu. Ironi. Dia tak punya cukup tenaga untuk memberontak. Kepalanya terasa pening karena alkohol dan sekarang semacam terombang – ambing di lautan berombak dahsyat, diliputi sengatan aroma tubuh ayah sambungnya yang memabukkan. “Moreau sudah bilang tak ingin kau ganggu, Rowan. Turunkan dia!” Mereka sudah separuh jalan menuju pintu keluar, kemudian suara Robby cukup lantang menghentikan Abihirt, lalu menarik perhatian pria itu untuk berbalik badan—di mana Moreau perlu berjuang memalingkan separuh wajah jika dia ingin tahu tentang apa yang akan Robby lakukan kepada ayah sambungnya. “Kau tidak perlu ikut campur terhadap urusanku.” Suara serak dan dalam Abihirt memang terdengar tenang, tetapi tersisip reaksi ganjil yang Moreau sadari coba pria itu tahan. Dia ingin tahu. Bertanya – tanya apakah keberadaan Robby telah memberi banyak pengaruh, meski ayah sambungnya masih berusaha tidak menunjukkan reaksi signifikan di antara mereka. Apakah mu
Mungkin ... yang tersisa di antara mereka adalah sikap Abihirt ... masih berusaha hati – hati saat pria itu menghadapi keputusan serupa. Moreau menggeleng tegas. Terlalu konyol jika mereka bertengkar di sini. Di hadapan banyak orang, apalagi sampai mereka tahu tentang status hubungan yang begitu konyol sekadar dimaklumi. Bagaimanapun Moreau tak bisa memungkiri bahwa sikap Abihirt terlihat seperti seorang pria dewasa yang enggan berbagi. “Jika kau ingin pulang, kau bisa pulang sendiri. Aku tidak butuh perhatian darimu.” Persetan! Meski sesuatu dalam diri Moreau mengingatkan supaya dia bersikap tenang, ada satu bagian lain yang bernama ego ... mendorong agar dia menunjukkan keberanian di hadapan pria itu. “Ibumu sudah menunggu di rumah.” Apa pedulinya? Haruskah Moreau katakan bahwa Abihirt sedang mengandalkan Barbara demi membujuknya? Tidak. Dia akan memastikan itu bukan prospek yang mempan. Lebih baik sudahi segala sesuatu yang membuat dia merasa lebih gila.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Moreau sarat nada sinis. Menyingkirkan keberadaan tangan Abihirt adalah kebutuhan dasar. Dia menepis pria itu dengan kuat. Sudah cukup membiarkan waktu berjalan beberapa saat. Keheningan memang sudah bergemuruh sejak terakhir kali tidak ada satu pun kata terucap dari bibir ayah sambungnya, tetapi Moreau muak menghadapi sikap pria itu. Abihirt sudah seringkali memberi tatapan tajam, seakan – akan demikianlah cara pria tersebut melakukan komunikasi intens. Tidak. Seharusnya pria itu mengerti kalau – kalau hal tersebut merupakan bentuk paling menyakitkan. “Aku ingin kau pulang.” Kali pertama bersuara, Moreau dapat mencerna betapa suara serak dan dalam itu terdengar dingin membekukan. Jika Abihirt mengira dia akan setuju begitu saja, suami ibunya salah—sangat salah. Untuk saat ini Moreau tidak menerima perintah. Dia segera menoleh ke wajah Robby, merasa hal tersebut merupakan prospek bagus sekadar memperlihatkan kepada Abihirt bahwa