Jalanan malam yang dingin dan sunyi, tepatnya pukul 01.00 dini hari. Dirgantara mengendarai motor besarnya dengan memakai outfit serba hitam. Ia tidak sendirian, di jok belakang motornya ada Soya dengan outfit yang senada dengan Dirga. Mereka memiliki tinggi yang hampir sama.
"Gue menepati janji untuk membawa lo keliling jalanan sunyi. Teriaklah sekencang mungkin sayang," ucap Dirga pada Soya. Dirga mengendarai motor di barisan paling depan. Di belakang mereka, ada 6 motor lainnya yang mengiringi Dirga. Terlihat seperti konvoi. Soya pun membentangkan kedua tangannya. Ia tersenyum dan teriak sekencang mungkin untuk melampiaskan beban yang selama ini ia tanggung di pundaknya. "Makasih Dirga. Berkat lo, gue merasa hidup!" Soya pun merangkul Dirga sekuat mungkin. "Gue sayang banget sama lo Dir," ucapnya. *** Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Hanya Dirga yang bisa membantuku untuk membatalkan pernikahan tak masuk akal ini. Berulang kali aku mencoba menghubungi Dirga, tapi hasilnya nihil. Pria itu seperti hilang di telan bumi. [Dir, please angkat telepon gue. Kita dijebak. Orang tua kita ingin kita menikah, sementara gue tau lo gak akan mungkin mau menikahi gue. Dan gue juga gak akan mau nikah sama lo. Kepribadian kita bertolak belakang dan lo juga bukan tipe gue] 10 panggilan tak terjawab setelah aku mengirim pesan singkat itu pada Dirga. [Dir, besok pagi mereka bakalan ngajak kita fitting. Ini urusan bisnis yang gue masih belum paham.] 5 panggilan tak terjawab setelah aku mengirim pesan ke dua pada Dirga. Keesokan harinya, Dirga menjemputku dan dia terlihat bersikap ramah pada orang tuaku. Tetapi kali ini, Dirga mengendarai mobil, bukan motor. "Gue sengaja pakai mobil biar kita bisa ngomong," jelasnya. Dirga menatapku. Dia melihat mataku yang sembab setelah semalaman menangis. Bibirku juga pucat karena untuk sekedar memakai liptint pun, aku sangat tak bergairah. Tidak ada lagi yang menarik, bahkan bicara dengan kedua orang tuaku juga menjadi hal yang tak menarik. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa orang tua menjodohkan anaknya? Apa mereka tidak berpikir jika anaknya bisa menemukan jodohnya sendiri? Belum lagi, alasan perjodohan ini sangat tidak masuk akal. Perihal bisnis, katanya. Agar hidupku jauh lebih sejahtera dan perusahaan kedua orang tua kami semakin jaya. Tetapi, ku rasa mereka melupakan satu hal, yaitu mendengarkan isi hati anaknya. "Libur semester nanti," terangku. "Kenapa lo gak jawab pesan gue semalam?" imbuhku. "Gue lagi di jalan sampai jam 3 dini hari." "Lo ngapain aja?" "Gue ketua geng motor dan gue suka hura-hura di jalan. Itu sisi lain gue," terang Dirga. "Gue gak peduli. Tapi yang jelas, gimana cara kita membatalkan pernikahan ini?" desakku. Ternyata, ada satu hal yang tidak bisa membuat Dirga membatalkan pernikahan ini, yaitu ayahnya. Dirga berjanji, sampai kapanpun itu ia tidak akan melawan ayahnya. Dirga menceritakan kejadian apa yang membuatnya bersikap demikian. Rupanya, SMA kelas 10 dulu, Dirga mengalami kecelakaan motor parah yang membuatnya membutuhkan bantuan donor darah dalam jumlah banyak. Ayahnya, adalah orang yang wira wiri mencari donor darah dan ia juga membayar semua kerugian yang diakibatkan oleh kelakuan Dirga. Merasa punya hutang budi, Dirga akan membalasnya dengan menuruti keinginan sang ayah. Termasuk, menjadi calon CEO muda dan menikah denganku. "Kok lo egois banget?" "Egois? Kalau gue egois, gue gak akan mau nikah sama lo! Gue gini demi ayah gue." "Dan lo gak mikirin perasaan gue? Nikah itu seumur hidup Dir!" serangku. "Kita bisa nikah kontrak tanpa sepengetahuan mereka," terang Dirga. Tetapi, nikah kontrak juga bukan pilihan yang baik menurutku. Karena apapun yang kita sembunyikan, pasti akan terungkap. Entah cepat atau lambat. Aku pun menolak saran Dirga. Balas budi ayahnya tidak ada kaitannya denganku dan aku merasa berhak menolak karena itu menyangkut kehidupanku sendiri. Penolakan itu bahkan terdengar di telinga ayah dan bunda saat aku pulang sekolah. Tetapi, yang paling kaget dengan penolakanku adalah ayah. Ayah sampai masuk rumah sakit dan terkena serangan jantung. Ia merasa kaget memiliki anak semata wayang yang pembangkang sepertiku. *** "Lebih baik ayah mati daripada harus melihat anak yang tak nurut sepertimu," lirih Ayah saat aku mengunjunginya di rumah sakit. "Ayah, maafkan Lea, tapi Lea tidak yakin menikah dengan Dirga." Aku menggenggam tangan ayah sekuat tenaga sembari menangis di dekat ayah. "Kamu belum mengenal Dirga nak. Dia anak yang baik kok," imbuh Bunda. Belum selesai 1 menit setelah bunda menjelaskan sekilas tentang Dirga, ayah menunjukkan gejala penurunan kondisi. Ini membuatku panik. Kehilangan orang tua tak pernah ada dipikiranku dan rasanya juga tak akan sanggup. Padahal, andai ayah tau Dirga bukanlah pria sebaik yang ia kira. Dirga tak luput dari geng geng motor yang terkadang juga berbuat onar di jalanan. "Ah, dada Ayah sakit," rintihnya. "Ayah, ayah dengarkan Lea. Lea mau menikah dengan Dirga yah. Ayah jangan berpikiran macam-macam lagi, maafkan Lea yah," ujarku. Demikianlah pernikahan konyol itu terjadi. Libur semester terasa begitu cepat dan penderitaanku terasa semakin dekat. Dua bulan berjalan, aku merasa tak ada kecocokan dengan Dirga. Dia hanyalah pria dingin yang perfeksionis. Dan karena kami akan nikah kontrak, dia mengajakku makan malam dan membahas semuanya mulai dari A sampai Z. Di pernikahan kontrak ini, kita hanyalah dua insan yang terjebak di sangkar orang tua kita masing-masing. Tidak ada adegan tidur satu ranjang yang sama. Tidak ada pertanyaan privasi satu sama lain. Dan juga, tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain. Kami akan tetap sekolah seperti biasa dan tidak boleh ada yang tahu kalau kami telah menikah. Sampai akhirnya, pernikahan tertutup itu pun di gelar di gedung lantai 7. Hanya para pengusaha besar yang mendapatkan undangan. Dan untuk pertama kalinya, kami memiliki satu foto dengan jas dan gaun pernikahan sembari tersenyum manis. Senyum palsuku bersanding dengan senyum palsu Dirga. "Ayah bangga sama kalian," ucap Ayah sembari memelukku dan Dirga di atas panggung pernikahan kami. Satu perusahaan sesuai janji ayah diserahkan padaku dan Dirga. Tidak hanya itu, kami mendapatkan satu rumah lengkap dengan furniture yang akan menjadi tempat tinggal kami. 2 tiket berlibur ke Santorini juga diserahkan pada kami. *** Hari ini, kami tiba di bandara. Melanjutkan berlibur ke Santorini bersama pria yang sebenarnya tidak ku sukai. Dan ku rasa, dia pun demikian. "Kita memang menikah kontrak, tapi kalau kamu butuh sesuatu, kamu harus tetap mengabariku dan aku akan tetap mendahuluimu diatas kepentinganku sendiri," ujar Dirga sembari menarik koperku ke sebelahnya. Jadi kini, posisi Dirga membawa dua koper besar. Ucapannya juga jadi lembut dibandingkan sebelumnya. Jika kemarin bahasa yang digunakan adalah "Lo Gue" sekarang berubah menjadi "Aku Kamu" "Untuk pertama kalinya, Dirga bicara lebih sopan kepadaku. Sikapnya membuatku bingung. Dia bisa sangat menyebalkan, tetapi juga bisa sangat menyenangkan. Dia membuatku merasa aman di perjalanan panjang kami kedepannya." Tanpa sadar, aku tersenyum simpul. Bunyi telepon berdering, Dirga cepat-cepat mengangkatnya dan menjauh dariku. Sekilas, aku melihat nama "Soya". Kami memiliki janji atau suatu kontrak untuk merahasiakan pernikahan ini, termasuk pada seluruh teman sekolah. Apalagi, pernikahan ini tidak lebih dari sekedar bisnis saling menguntungkan kedua orang tua kami. Tetapi, apakah perasaanku bisa baik-baik saja selama menjalani kontrak pernikahan? Yang keluargaku tau, kami menikah secara sah, dan yang teman kami tau, kami hanyalah sahabat saling kenal saja, tetapi, yang sebenarnya terjadi adalah, kami sedang menjalankan pernikahan kontrak. Hidup dalam kepura-puraan, bukanlah hidup yang kuinginkan. Tetapi, semua terjadi begitu saja, seperti mimpi. Iseng-iseng, aku melihat tas kecil yang digantungkan di atas koper Dirga. Rasanya penasaran, aku pun memberanikan diri untuk mengintip isi dari tas kecil itu. "Isinya kotak banget sih, memangnya apa yang dia bawa?" batinku. Ternyata ada kotak jam tangan branded milik perempuan. Iseng, aku pun membukanya. Ada secarik kartu ucapan yang menarik perhatianku. Dan karena penasaran, aku pun membukanya. [Burung kolibri] tulis Dirga. "D-Dia memberikanku hadiah? Apa ini hadiah pernikahan untukku?" "Kita pulang!" Dirga lari dan mengucapkan kalimat itu. Untung saja aku sudah selesai mengemas barang yang sempat ku intip tadi. "Pulang?" "Soya sakit!" ujarnya dengan mata berbinar.Kami pulang. Padahal, itu adalah tiket yang menjadi salah satu alasanku bertahan hidup. Keindahan santorini, aku selalu membayangkannya dengan memakai pakaian biru yang menyegarkan. Tetapi, harapan itu hilang. Hilang begitu saja akibat Dirgantara yang memutuskan pulang dan menjenguk Soya. "Kalau bukan karena menghargai keinginan ayah, aku tidak akan sudi menjalani kehidupan seperti ini."***Aku tidak banyak tahu tentang Soya. Tapi, karena dari segi pandang keluargaku, aku telah menikah dengan Dirga. Aku pun merasa memiliki kewajiban untuk tahu sedikit demi sedikit tentang Dirga. Dan selama Dirga pulang menemui Soya, aku berusaha menutupi segala keburukan Dirga. Bukan, bukan karena aku mengamankan Dirga. Tetapi, aku mengamankan seluruh situasi. Meskipun hal yang kulakukan, membuatku tersiksa sendirian.[Lo kenal Soya? Boleh gue tau informasi tentang Soya?] Pesan itu pun terkirim. [Iya, gue kenal dekat sama Soya. Tapi, informasinya gak gratis ya.][Haha, lo mau berapa? Gue bisa kasih
Pria yang kupikir akan bodo amat itu, ternyata mendatangiku. Dia mengikutiku tanpa teriak memintaku untuk berhenti. Dia juga membawakan payung. Dia juga rela tubuhnya basah demi menjaga agar tubuhku tidak terpapar air hujan. Aku pun terdiam. Dirga, sungguh membuatku bingung. "Kenapa masih mempedulikanku?""Maaf," lirihnya. Tatapannya tajam dan dalam. Sementara tanganku, tanpa sadar mulai menarik pergelangan tangan Dirga. Rasanya, aku tak ingin pria dihadapanku merasakan dinginnya air hujan di malam hari. Kali ini, Dirga tak menolak. Ia pasrah saat tubuhnya semakin dekat denganku dan kami pun berada dalam satu payung. Ia tetap menatapku dengan tatapan tajam itu. Seolah menunjukkan rasa maafnya kepadaku."CIEE!" Kerumunan orang yang berteduh itu pun menyoraki kami. Membuatku jadi malu. Dengan cepat Dirga menarik tanganku, mengajakku berlari di dekat penjual telur gulung. "Pak, numpang sebentar ya," ucap Dirga sembari melipat payungnya. Sekarang, kami justru satu payung dengan penjual
Anak tunggal yang selalu kesepian ini, ternyata bisa duduk dalam satu meja makan dengan kedua orang tua lengkap beserta satu keluarga baru. Ternyata, begini ya rasanya mendapatkan dukungan penuh? Ternyata, tidak seburuk apa yang ada di kepalaku. Sekarang, ayah dan bunda sibuk mengupasi buah. Sementara Dirga mengemas kamarku dengan kecepatan super. Baru setelah semuanya selesai, kami makan bersama. Usai makan, bunda justru bertanya kepadaku, "Jadi bagaimana? Apakah sudah mulai promil?" Program hamil? haha, yang benar saja. Tidur satu ranjang saja tak pernah. "Mohon maaf ayah, bunda, tetapi kami sudah sepakat untuk promil setelah lulus sekolah. Lagi pula, pernikahan ini kan diam-diam, teman-teman kami juga tidak ada yang tahu. Semua ini demi menjaga nama baik aku dan Alea juga," terang Dirga. Gaya bahasanya sungguh kalem dan santai, seolah membius ayah dan bunda agar setuju dengan pernyataan Dirga.Seusai makan, ayah tampak bicara santai dengan Dirga di taman depan rumah. Aku menat
Ku pikir, setelah kejadian kemarin, semuanya berubah menjadi baik-baik saja. Ku pikir, Dirga memang berubah semenjak kejadian yang membuatku kehujanan seolah tidak mempedulikan kesehatanku sendiri. Rupanya salah, bahkan ketika Dirga dipertemukan dengan Soya, imannya kembali goyah dan ia kembali menitikberatkan Soya. "Untuk apa aku menangisi pria gila itu? Sekarang, biarkan dia mencariku sampai ke manapun, aku akan pergi, aku tidak akan masuk ke sekolah, dan aku akan menghilang dari pandangannya sampai dia benar-benar menemukanku." Tekat ini sudah bulat. Pria itu tidak akan pernah menghargai keberadaan seseorang sebelum ia kehilangan seseorang itu. Dan jika kelak Dirga memang sudah tidak mempedulikanku, aku rasa, aku siap jika sewaktu-waktu pernikahan kontrak kami ini bocor ke keluarga besar kami. ***Keesokan harinya, di sekolah, Dirga mencari namaku. Ia pergi ke kelas hanya untuk mencari keberadaanku. Tetapi nihil, aku tidak ditemukan di sudut kelas manapun. Beberapa temanku berta
Untuk pertama kalinya, pria itu mengecupku. Untuk pertama kalinya juga, jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti, hal menyenangkan yang tak dapat ku definisikan lagi. "Em, Ma-Maaf, aku lancang dan melanggar kontrak ya." Dirga langsung menarik mulutnya dari keningku. Ia juga cepat-cepat bangun dan merapikan posisinya. Sementara aku, masih tergeletak di lantai, diam, dan memastikan penyebab jantungku berdegup kencang. "Kenapa jantungku berdegup kencang?" lirihku yang ternyata terdengar sampai ke telinga Dirga."Aku juga," jawabnya.Kami berdua pun kembali saling menatap, rasanya aneh dan sangat tidak mengenakkan. Aku tidak terbiasa dengan situasi yang seperti ini. Akhirnya, aku pun mencoba kabur dan pergi masuk ke dalam villa. Sayangnya, kakiku justru kepleset dan aku kembali terjatuh. Kali ini, Dirga tidak menolongku. Tidak seperti kebanyakan drama dimana si cowok akan menangkap wanitanya."Hahaha." Aku tidak peduli jika Dirga tertawa puas. Maluku sudah sampai di ubun-ubun, j
BRAKK"Auuu, Sialan!" Kotak bekalku melayang di udara. Sandwich itu bertebaran. Padahal, hampir satu jam aku menghiasnya. Kini, punggung seragam sekolahku basah. Jalan yang ku pijak ternyata berlubang dan berisi genangan air bercampur tanah."It's Okay Lea, ayo bangun!" ucapku sembari membersihkan kedua telapak tangan. Baru juga beranjak bangun, ada murid kurang ajar yang mengendarai motor berkecepatan tinggi melintas di sampingku. Motor itu melewati jalanan berlubang dan airnya mengenai sebagian wajahku. BYURSeketika, aku refleks memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Begitulah hidupku. Sangat ceroboh dan sial dalam berbagai situasi. Padahal hari ini aku sedang mencoba beradaptasi dengan tempat baru. Usiaku 17 tahun, menduduki kelas 12 SMA. Telat memang, jika aku pindah sekolah di ujung kelas 12 seperti sekarang. Tetapi ayah dan bunda menyuruhku untuk pindah sekolah demi menghapus rekam jejak burukku di sekolahku yang sebelumnya. Alea Putri Sawan, itulah nama lengkapku
Sesampainya di rumah, sambutan hangat dari MUA membuatku terkejut."Nona Alea akhirnya datang," ucapnya sembari menangkap kedua tanganku dan menggiringnya masuk ke ruang tamu. Tentu saja, aku masih bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku meminta penjelasan pada MUA itu karena ayah dan bunda juga masih belum pulang dari kantor perusahaannya. Setelah ditelusuri, ternyata bunda yang memilihkan MUA itu. Ia ingin aku tampil maksimal di acara makan malam dengan rekan bisnis ayah. Padahal, sebelumnya tidak pernah begini. "Feminim banget bajunya, yang benar saja?" Aku melempar gaun merah panjang itu ke kasur. Buru-buru merogoh ponsel yang masih berada di dalam ransel sekolahku."Halo? Bun? Bunda yakin?" Tak perlu basa-basi lagi."Kenapa sayang?""Bunda tau Lea gak suka pakai dress, kenapa harus dress? Gak bisa pakai blouse atau sweater aja?" Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengenakan pakaian yang nyaman dan santai. Bukan pakaian yang terlalu resmi seperti ini."Lea bisa nurut bunda gak? Nanti
Untuk pertama kalinya, pria itu mengecupku. Untuk pertama kalinya juga, jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti, hal menyenangkan yang tak dapat ku definisikan lagi. "Em, Ma-Maaf, aku lancang dan melanggar kontrak ya." Dirga langsung menarik mulutnya dari keningku. Ia juga cepat-cepat bangun dan merapikan posisinya. Sementara aku, masih tergeletak di lantai, diam, dan memastikan penyebab jantungku berdegup kencang. "Kenapa jantungku berdegup kencang?" lirihku yang ternyata terdengar sampai ke telinga Dirga."Aku juga," jawabnya.Kami berdua pun kembali saling menatap, rasanya aneh dan sangat tidak mengenakkan. Aku tidak terbiasa dengan situasi yang seperti ini. Akhirnya, aku pun mencoba kabur dan pergi masuk ke dalam villa. Sayangnya, kakiku justru kepleset dan aku kembali terjatuh. Kali ini, Dirga tidak menolongku. Tidak seperti kebanyakan drama dimana si cowok akan menangkap wanitanya."Hahaha." Aku tidak peduli jika Dirga tertawa puas. Maluku sudah sampai di ubun-ubun, j
Ku pikir, setelah kejadian kemarin, semuanya berubah menjadi baik-baik saja. Ku pikir, Dirga memang berubah semenjak kejadian yang membuatku kehujanan seolah tidak mempedulikan kesehatanku sendiri. Rupanya salah, bahkan ketika Dirga dipertemukan dengan Soya, imannya kembali goyah dan ia kembali menitikberatkan Soya. "Untuk apa aku menangisi pria gila itu? Sekarang, biarkan dia mencariku sampai ke manapun, aku akan pergi, aku tidak akan masuk ke sekolah, dan aku akan menghilang dari pandangannya sampai dia benar-benar menemukanku." Tekat ini sudah bulat. Pria itu tidak akan pernah menghargai keberadaan seseorang sebelum ia kehilangan seseorang itu. Dan jika kelak Dirga memang sudah tidak mempedulikanku, aku rasa, aku siap jika sewaktu-waktu pernikahan kontrak kami ini bocor ke keluarga besar kami. ***Keesokan harinya, di sekolah, Dirga mencari namaku. Ia pergi ke kelas hanya untuk mencari keberadaanku. Tetapi nihil, aku tidak ditemukan di sudut kelas manapun. Beberapa temanku berta
Anak tunggal yang selalu kesepian ini, ternyata bisa duduk dalam satu meja makan dengan kedua orang tua lengkap beserta satu keluarga baru. Ternyata, begini ya rasanya mendapatkan dukungan penuh? Ternyata, tidak seburuk apa yang ada di kepalaku. Sekarang, ayah dan bunda sibuk mengupasi buah. Sementara Dirga mengemas kamarku dengan kecepatan super. Baru setelah semuanya selesai, kami makan bersama. Usai makan, bunda justru bertanya kepadaku, "Jadi bagaimana? Apakah sudah mulai promil?" Program hamil? haha, yang benar saja. Tidur satu ranjang saja tak pernah. "Mohon maaf ayah, bunda, tetapi kami sudah sepakat untuk promil setelah lulus sekolah. Lagi pula, pernikahan ini kan diam-diam, teman-teman kami juga tidak ada yang tahu. Semua ini demi menjaga nama baik aku dan Alea juga," terang Dirga. Gaya bahasanya sungguh kalem dan santai, seolah membius ayah dan bunda agar setuju dengan pernyataan Dirga.Seusai makan, ayah tampak bicara santai dengan Dirga di taman depan rumah. Aku menat
Pria yang kupikir akan bodo amat itu, ternyata mendatangiku. Dia mengikutiku tanpa teriak memintaku untuk berhenti. Dia juga membawakan payung. Dia juga rela tubuhnya basah demi menjaga agar tubuhku tidak terpapar air hujan. Aku pun terdiam. Dirga, sungguh membuatku bingung. "Kenapa masih mempedulikanku?""Maaf," lirihnya. Tatapannya tajam dan dalam. Sementara tanganku, tanpa sadar mulai menarik pergelangan tangan Dirga. Rasanya, aku tak ingin pria dihadapanku merasakan dinginnya air hujan di malam hari. Kali ini, Dirga tak menolak. Ia pasrah saat tubuhnya semakin dekat denganku dan kami pun berada dalam satu payung. Ia tetap menatapku dengan tatapan tajam itu. Seolah menunjukkan rasa maafnya kepadaku."CIEE!" Kerumunan orang yang berteduh itu pun menyoraki kami. Membuatku jadi malu. Dengan cepat Dirga menarik tanganku, mengajakku berlari di dekat penjual telur gulung. "Pak, numpang sebentar ya," ucap Dirga sembari melipat payungnya. Sekarang, kami justru satu payung dengan penjual
Kami pulang. Padahal, itu adalah tiket yang menjadi salah satu alasanku bertahan hidup. Keindahan santorini, aku selalu membayangkannya dengan memakai pakaian biru yang menyegarkan. Tetapi, harapan itu hilang. Hilang begitu saja akibat Dirgantara yang memutuskan pulang dan menjenguk Soya. "Kalau bukan karena menghargai keinginan ayah, aku tidak akan sudi menjalani kehidupan seperti ini."***Aku tidak banyak tahu tentang Soya. Tapi, karena dari segi pandang keluargaku, aku telah menikah dengan Dirga. Aku pun merasa memiliki kewajiban untuk tahu sedikit demi sedikit tentang Dirga. Dan selama Dirga pulang menemui Soya, aku berusaha menutupi segala keburukan Dirga. Bukan, bukan karena aku mengamankan Dirga. Tetapi, aku mengamankan seluruh situasi. Meskipun hal yang kulakukan, membuatku tersiksa sendirian.[Lo kenal Soya? Boleh gue tau informasi tentang Soya?] Pesan itu pun terkirim. [Iya, gue kenal dekat sama Soya. Tapi, informasinya gak gratis ya.][Haha, lo mau berapa? Gue bisa kasih
Jalanan malam yang dingin dan sunyi, tepatnya pukul 01.00 dini hari. Dirgantara mengendarai motor besarnya dengan memakai outfit serba hitam. Ia tidak sendirian, di jok belakang motornya ada Soya dengan outfit yang senada dengan Dirga. Mereka memiliki tinggi yang hampir sama. "Gue menepati janji untuk membawa lo keliling jalanan sunyi. Teriaklah sekencang mungkin sayang," ucap Dirga pada Soya. Dirga mengendarai motor di barisan paling depan. Di belakang mereka, ada 6 motor lainnya yang mengiringi Dirga. Terlihat seperti konvoi. Soya pun membentangkan kedua tangannya. Ia tersenyum dan teriak sekencang mungkin untuk melampiaskan beban yang selama ini ia tanggung di pundaknya. "Makasih Dirga. Berkat lo, gue merasa hidup!" Soya pun merangkul Dirga sekuat mungkin. "Gue sayang banget sama lo Dir," ucapnya. *** Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Hanya Dirga yang bisa membantuku untuk membatalkan pernikahan tak masuk akal ini. Berulang kali aku mencoba menghubungi Dirga, tapi
Sesampainya di rumah, sambutan hangat dari MUA membuatku terkejut."Nona Alea akhirnya datang," ucapnya sembari menangkap kedua tanganku dan menggiringnya masuk ke ruang tamu. Tentu saja, aku masih bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku meminta penjelasan pada MUA itu karena ayah dan bunda juga masih belum pulang dari kantor perusahaannya. Setelah ditelusuri, ternyata bunda yang memilihkan MUA itu. Ia ingin aku tampil maksimal di acara makan malam dengan rekan bisnis ayah. Padahal, sebelumnya tidak pernah begini. "Feminim banget bajunya, yang benar saja?" Aku melempar gaun merah panjang itu ke kasur. Buru-buru merogoh ponsel yang masih berada di dalam ransel sekolahku."Halo? Bun? Bunda yakin?" Tak perlu basa-basi lagi."Kenapa sayang?""Bunda tau Lea gak suka pakai dress, kenapa harus dress? Gak bisa pakai blouse atau sweater aja?" Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengenakan pakaian yang nyaman dan santai. Bukan pakaian yang terlalu resmi seperti ini."Lea bisa nurut bunda gak? Nanti
BRAKK"Auuu, Sialan!" Kotak bekalku melayang di udara. Sandwich itu bertebaran. Padahal, hampir satu jam aku menghiasnya. Kini, punggung seragam sekolahku basah. Jalan yang ku pijak ternyata berlubang dan berisi genangan air bercampur tanah."It's Okay Lea, ayo bangun!" ucapku sembari membersihkan kedua telapak tangan. Baru juga beranjak bangun, ada murid kurang ajar yang mengendarai motor berkecepatan tinggi melintas di sampingku. Motor itu melewati jalanan berlubang dan airnya mengenai sebagian wajahku. BYURSeketika, aku refleks memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Begitulah hidupku. Sangat ceroboh dan sial dalam berbagai situasi. Padahal hari ini aku sedang mencoba beradaptasi dengan tempat baru. Usiaku 17 tahun, menduduki kelas 12 SMA. Telat memang, jika aku pindah sekolah di ujung kelas 12 seperti sekarang. Tetapi ayah dan bunda menyuruhku untuk pindah sekolah demi menghapus rekam jejak burukku di sekolahku yang sebelumnya. Alea Putri Sawan, itulah nama lengkapku