Share

Dirgantara

Sesampainya di rumah, sambutan hangat dari MUA membuatku terkejut.

"Nona Alea akhirnya datang," ucapnya sembari menangkap kedua tanganku dan menggiringnya masuk ke ruang tamu. 

Tentu saja, aku masih bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku meminta penjelasan pada MUA itu karena ayah dan bunda juga masih belum pulang dari kantor perusahaannya. Setelah ditelusuri, ternyata bunda yang memilihkan MUA itu. Ia ingin aku tampil maksimal di acara makan malam dengan rekan bisnis ayah. Padahal, sebelumnya tidak pernah begini. 

"Feminim banget bajunya, yang benar saja?" Aku melempar gaun merah panjang itu ke kasur. Buru-buru merogoh ponsel yang masih berada di dalam ransel sekolahku.

"Halo? Bun? Bunda yakin?" Tak perlu basa-basi lagi.

"Kenapa sayang?"

"Bunda tau Lea gak suka pakai dress, kenapa harus dress? Gak bisa pakai blouse atau sweater aja?" Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengenakan pakaian yang nyaman dan santai. Bukan pakaian yang terlalu resmi seperti ini.

"Lea bisa nurut bunda gak? Nanti bunda kasih tiket liburan ke Santorini."

"SAN? SANTORINI?" Mataku terbuka lebar. Tiket ke Santorini ditebus dengan ajakan makan malam bersama rekan bisnis ayah? Tentu itu adalah hal yang mudah bagiku. Dan tanpa penolakan sedikitpun, aku mengiyakan permintaan bunda.

Memakai dress merah dengan MUA pilihan bunda, rasanya seperti berkamuflase. Seperti bukan diriku yang biasanya kulihat di cermin. 

"CANTIK BANGET," batinku. Ternyata, tampil cantik membuatku jauh lebih percaya diri. 

"Ayo Alea, kita harus totalitas!" Aku pun mengambil salah satu koleksi high heels di lemari.  Beberapa kali mencoba jalan dengan anggun. Sesekali juga memutar tubuhku dan membiarkan gaun elegan ini menari mengikuti ayunan tubuhku. 

***

Aku pun sampai di lokasi, Coffee and Asian Food Place yang terletak di gedung lantai 7. Pemandangan yang disuguhkan adalah gemerlap lampu jalanan dan kendaraan, belum lagi alunan instrumental yang menambah suasana semakin intim. 

"Alea, sini!" 

Suara itu sangat ku kenal. Siapa lagi kalau bukan bunda? Aku pun berjalan pelan sembari menyapa rekan bisnis ayah. 

"Tunggu, kok wajahnya gak asing?" pikirku. 

"Alea," sapaku pada Dirgantara.

"Dirgantara."

"Sial, dia seolah tidak mengenalku? Apa-apaan ini?"  

Aku pun mencoba mengikuti aturan main pria menyebalkan itu. Tetapi jujur, hari ini dia memang terlihat tampan. Setelan jas dengan dasi merah, membuatnya lebih dewasa daripada usia aslinya. Sampai, jamuan makan malam pun tiba di meja. Tidak ada yang aneh. Kami makan seperti biasa. Dan aku, makan dengan lahap. 

Jika kebanyakan perempuan akan makan sedikit dan jaga mimik wajah, itu sama sekali tidak berlaku untukku.  

"Makan ya makan saja. Kalau pengen nambah ya nambah saja."

Bersikap bodo amat seperti itu, berhasil membantuku melawan pikiran negatif orang disekitarku. Semakin ke sini, memang harus semakin bodo amat kan?

"Oh iya, hari ini sebenarnya ada yang ingin dibahas seputar anak kita masing-masing." Ayah meletakkan sendok dan garpu dengan posisi tengkurep.  

"Alea dan Dirgantara kan sudah sama-sama kenal, gimana kalau mulai besok berangkat sekolahnya bareng?" imbuh Ayah.

"TIDAK!" dengan tegas, aku dan Dirga mengeluarkan satu suara yang sama.

"Tidak hehe, tidak usah,"  sambungku.

"Dia itu seben...," ucapan Dirga kuhentikan dengan membungkam mulutnya. 

"I-Iya, kita akan berangkat sekolah bareng." Rasanya tidak memiliki pilihan lain. Karena jika aku menolak, ayah dan bunda pasti akan curiga dan secara tidak langsung, pasti akan mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di antara kami. 

"Hahaha, lucu sekali. Lihatlah mereka berdua, begitu imut dan menggemaskan," puji ayah dari Dirgantara. Belum lagi bunda dari Dirgantara yang menyambung kalimat ayahnya.

"Serasi, bisa nih kalau menikah dalam waktu dekat ini."

Menikah? Dengan pria konyol ini? Tentu aku tidak akan mau. Seumur hidup pun tidak akan mau. 

***

Tetapi, kejadian makan malam itu membuat semuanya berubah. Dirgantara terlihat semakin tidak menyukaiku. Mungkin, karena aku mengiyakan ajakan berangkat dan pulang bersama. Padahal, dia tentu risih dengan kehadiranku. Sementara keluarga kami, mereka terus berupaya agar kami semakin hari bisa semakin dekat. 

Setiap berangkat dan pulang sekolah, Dirgantara memang mengantarku, tetapi kami tidak pernah bicara dan aku juga tidak mau memulai pembicaraan. Yang menyebalkannya lagi, saat berangkat sekolah, Dirga tidak menurunkanku sampai parkiran, melainkan menurunkanku di radius 200 meter. Dia seperti sedang jaga jarak denganku. Seolah, agar orang lain tidak ada yang mengetahui dengan siapa Dirga datang dan pulang sekolah setiap harinya. 

Satu atau dua hari, masih bisa ku maklumi. Tetapi, memasuki hari ke tiga, rasanya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Aku pun memberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya. 

"Heh, lo itu nganggep gue ada gak sih?" tanyaku.

Dirga menoleh, menatapku dengan tangan yang masih berada di saku celana. Posisi kami adalah perjalanan menuju parkiran untuk pulang ke rumah.

"Lo sok baik di depan keluarga, seolah lo memperlakukan gue dengan bener. Tapi lihat, lo gak pernah ngajak gue ngobrol!"

"Lo berharap gue ngobrol?" tanya Dirga.

Aku pun terdiam. Salah ya? Salah jika aku ingin diperlakukan selayaknya teman?

"Lo itu kecil dan berisik kayak burung kolibri!" 

Tak terima, aku pun melempar ranselku saat dia tetap berjalan ke depan dengan wajahnya yang tak pernah merasa bersalah.

BRUK

Bukannya kena punggung Dirga, ranselku malah nyungsep ke atas pohon. Sepertinya, aku melempar ransel dengan kebencian maksimal, tenaganya terlalu kuat, sampai melampaui batas posisi Dirga saat ini.

Sekilas, aku melihat Dirga menahan senyum. Dan saat ku hampiri, wajahnya justru sama sekali tidak tersenyum. Padahal, menurutku ini kejadian lucu tetapi memalukan.

"Dirga, lo bisa bantuin gue ngambil tas gak? Nyangkut," rengekku. 

Pria itu hanya menatapku dengan tatapan dingin. Selang beberapa waktu, ada wanita yang posturnya tinggi dan kurus menghampiri kami. Saat melihat name tag, namanya Soya. 

"Dirga? Kamu ngapain? Malam ini kita jadi keluar kan?" Soya merangkul lengan Dirga. Dan tidak ada penolakan dari Dirga.

"Eh, dia kenapa sih?" Soya menatapku dengan tatapan aneh. 

"Tasnya nyangkut karena ulahnya sendiri. Kamu bisa mengambilnya sendiri kan? Aku tinggal dulu ya, ayok Soya kita pergi."

Aku pun menghela napas panjang dan dalam. Benar, tidak ada yang bisa dipercayai dan tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri kita sendiri. Dan sejak kejadian ini terjadi, Dirga adalah pria yang sangat ku benci sampai kapanpun itu. Aku berjanji akan menolak segala ajakan yang melibatkan Dirga. Bagiku, dia bukanlah pria sejati. Pria sejati tidak akan pernah membiarkan wanita dalam kesusahan. 

Dengan bersusah payah, aku pun mengambil ranselku menggunakan tongkat tukang kebun yang biasanya dipakai untuk memetik mangga. Saat ranselku berada didekapan, terdengar dering telepon.

"Bunda?"

"Ya, ada apa bunda?" tanyaku.

"Tiket ke Santorini sudah bunda belikan. Kamu bisa ke sana saat libur semester," ujar Bunda.

"BENARKAH? YEAY, TERIMA KASIH BUNDA!" Aku teriak sekencang mungkin. Rasanya begitu bahagia memiliki bunda yang sangat pengertian.

"Tunggu, masih ada satu misi yang harus kamu selesaikan sayang."

"A-Apa itu?"

"Pernikahan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status