Share

Dia, Menghargai Hal-Hal Kecil

Pria yang kupikir akan bodo amat itu, ternyata mendatangiku. Dia mengikutiku tanpa teriak memintaku untuk berhenti. Dia juga membawakan payung. Dia juga rela tubuhnya basah demi menjaga agar tubuhku tidak terpapar air hujan. Aku pun terdiam. Dirga, sungguh membuatku bingung. 

"Kenapa masih mempedulikanku?"

"Maaf," lirihnya. Tatapannya tajam dan dalam. Sementara tanganku, tanpa sadar mulai menarik pergelangan tangan Dirga. Rasanya, aku tak ingin pria dihadapanku merasakan dinginnya air hujan di malam hari. 

Kali ini, Dirga tak menolak. Ia pasrah saat tubuhnya semakin dekat denganku dan kami pun berada dalam satu payung. Ia tetap menatapku dengan tatapan tajam itu. Seolah menunjukkan rasa maafnya kepadaku.

"CIEE!" Kerumunan orang yang berteduh itu pun menyoraki kami. Membuatku jadi malu. Dengan cepat Dirga menarik tanganku, mengajakku berlari di dekat penjual telur gulung. 

"Pak, numpang sebentar ya," ucap Dirga sembari melipat payungnya. Sekarang, kami justru satu payung dengan penjual telur gulung itu. Kalau dipikir, ada lucunya juga. Karena penjual telur gulung itu jadi ikut ketetesan air hujan. 

Aku sibuk mengelap beberapa kain yang melekat ditubuhku. Rasanya dingin, bahkan jari jemari tanganku pun mengkerut. 

"Pak telur gulung 20 ribu ya," pinta Dirga.

"Siap."

"Pak, panci satunya boleh saya pakai? Saya mau merebus air," ujarnya.

"Oh pakai saja hehe, tenang," jawab sang penjual telur gulung yang mulai asik menyalakan kompor dan memasak pesanan Dirga.

Aku hanya diam. Aku tak berbicara sepatah kata pun meskipun sebenarnya aku penasaran dengan apa yang dilakukan Dirga. Rupanya, pria tinggi semampai itu merebus air dan memasukkan air ke dalam botol. Dia adalah pria yang selalu membawa sarung tangan berbentuk persegi. Rupanya, benda mungil itu berguna juga. 

"Ambil," ujarnya sembari menyodorkan botol air hangat yang dibalut dengan sarung tangan. Otakku tentu saja loading, jadi aku masih terdiam.

"Ambilah, kamu tidak boleh jatuh sakit!" Kali ini, dia memaksaku untuk menggenggam botol air hangat itu. 

"Kak, telur gulungnya sudah matang." Penjual itu menyodorkan dua bungkus telur gulung yang diwadahi plastik. Saos sambalnya terpisah. Karena lapar dan anti jaga ekspresi wajah, tentu aku makan-makan saja. Toh juga, aku tidak perlu jaga ekspresi wajah di depan Dirga. Pikirku begitu. 

Ternyata, wajahku comot semua. Ada saos yang menempel di pipi dan lain sebagainya yang tanpa disadari membuat Dirga tertawa. Ya benar, Dirga tertawa. Untuk pertama kalinya dia tidak memasang wajah jutek saat berada dihadapanku. 

"Haha jelek banget ketawa lo Dir. Udah mirip titisan jin iprit aja," ejekku.

"Dari pada lo, dikit dikit baperan."

PLAK

Aku pun memukul punggung Dirga sekencang mungkin. 

"Bilang sekali lagi?" tantangku.

"Jin iprit, dasar titisan jin iprit," teriak Dirga.

"KYAAA! Memang minta di pukul." Punggung Dirga pun habis kena pukul tanganku beberapa kali. Sebagai gantinya, dia minta maaf dan membelikanku arum manis. Nama di daerah setiap orang mungkin berbeda, tetapi arum manis adalah makanan yang bahan dasarnya gula. Bentuk dan warnanya pun beragam. 

"Eh, ada kue putu ya? ayah suka loh." Tatapanku tertuju pada bunyi khas dari kue putu. Itu adalah jajanan lama yang keberadaannya mulai minim ditemui. Dengan santai, Dirga kembali menggandeng tanganku dan mengajakku beli kue putu.

Hari ini, dia adalah pria yang ku idam-idamkan. Sikapnya sungguh manis. Bahkan, aku nyaris lupa tentang sikap Dirga sebelumnya. 

"Sudah. Mau apa lagi? Mumpung lagi di festival pasar malam."

"Mm, bagaimana kalau masuk wahana rumah hantu? Ayah dan bunda selalu sibuk, kami jarang ada waktu bermain di luar, padahal aku ingin menikmati waktu seperti sekarang ini." 

Dia menatapku dengan tatapan yang tak mampu ku pahami. Ku pikir, dia akan menolak permintaanku. Ternyata tidak. Dia menuruti semuanya.

"Kenapa baru bilang jika keluargamu jarang ada waktu untukmu," lirih Dirga disaat kami antri tiket wahana rumah hantu. Aku pun tersenyum tipis, bukannya sebelum kejadian ini dia tidak peduli? Lantas untuk apa aku cerita panjang lebar.

"Selama ini, aku bersikap ceria untuk menutupi kesepianku. Sampai aku tak sadar telah memakai topeng itu dalam jangka panjang."

"Tapi tidak masalah, aku terbiasa sendiri dan aku menikmatinya. Jadi aneh jika kamu menemukanku hari ini hehe," ujarku.  

Di saku celana Dirga, terdengar jelas getaran telepon.Tetapi, dia terlihat tidak peduli dengan itu.

"Angkat saja," pintaku karena risih dengan telepon yang tak kunjung ia angkat.

Saat Dirga merogoh saku celananya, ia membaca tulisan "Soya" sebagai orang yang menghubunginya. 

[Rejected] 

[Off]

"Sungguh? Dia menolak panggilan Soya dan bahkan menonaktifkan ponselnya?"

"Demi aku?" 

"Yeay, kita sudah dapat tiketnya!" 

"Dir? Lo gak papa kan? Lo jangan pura-pura baik ke gue hanya karena lo takut kita cerai." Akhirnya, aku memberanikan diri untuk memastikan pada Dirga.

Kalian tau? Ada satu hal yang menyebalkan di muka bumi ini, versiku. Hal menyebalkan itu adalah ketika orang lain pura-pura baik agar mereka aman.

"Untuk menikah saja, lo juga bisa pura-pura kan?" singgungku.

"Gak! Lo bisa pegang omongan gue," ujarnya.

***

Semalam, kami pulang pulang pukul 23.30. Awalnya memang mau memasuki satu wahana saja, tapi sangat disayangkan jika hanya satu wahana. Dirga mengajakku masuk rumah kaca dan aku mengajaknya naik ke bianglala. Seru, sampai tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sesampainya di rumah, kami berdua pun tidur. Dirga tidur di ruang tamu, dan aku tidur di kamar. Yup, kami sudah memiliki rumah sendiri. Rumah yang berantakan. Botol bekas minum dan jajan ada di dalam kamar. Hanya kamarku yang berantakan. Siapapun yang masuk rumah kami, akan melihat rumah yang rapi dan terawat. Ruang tamu kami sangat rapi, apalagi bagian dapur dan meja makan. Siapa lagi yang membersihkannya kalau bukan Dirga? Ku rasa, itu sifat baik yang menguntungkan. Begitu masuk ke kamar, suasananya langsung berubah. Aku sering menimbun bekas snack dan juga minuman kaleng karena malas keluar kamar, malas melihat Dirga yang pasti ada di luar kamar, entah itu masak di dapur, minum kopi di ruang tamu, atau pun main game di halaman depan.

Ting Tong (bunyi bel rumah)

"Lea, Lea bangun woi" 

Sebenarnya aku dengar saat Dirga ketok pintu kamar. Tapi untuk sekedar membuka mata saja, rasanya masih berat.

"Duh lama banget sih, maaf ya, aku masuk," ujar Dirga sembari membuka pintu kamarku.

"E-Eh, apa sih?" 

"Ayah sama bunda, mereka ramai-ramai ke sini!"

"WHAT?" Aku langsung bangun meskipun setengah kepalaku terasa pusing.

"Ini hari minggu pertama kita setelah menikah. Mereka pasti penasaran dengan kondisi rumah dan juga rumah tangga kita Lea." 

Dirga terlihat panik, dengan membawa celemek, ia mengikatkan tali celemek itu ke pinggangku.

"Pura-pura potong buah saja. Istri kan biasanya kalau pagi masak," ungkapnya.

Aku langsung setuju dan pura-pura ke dapur. Nahasnya, tidak ada yang bisa ku masak. Secepat mungkin aku pun pindah ke depan kulkas. Untung saja ada buah melon, jadi aku memotong buah melon saja. Sementara Dirga, ia pergi membukakan pintu untuk ayah dan bunda.

"Wah rapi banget haha," puji Bunda.

"Lea dimana?"

"Lea sangat rajin, dia lagi di dapur potong buah untuk suaminya," jawab Dirga.

"Lea sayang, bunda datang." 

"Eh Bunda? Pagi banget hehe."

"Pagi? Lea baru bangun tidur ya? Ini kan sudah jam 10 Lea," jelas Bunda.

"Leaaaaa, apa-apaan ini?" Ayah kaget begitu membuka pintu kamarku.

"Ayah, tenang dulu yah. Semalam aku dan Lea sedang party," jawab Dirga. Dia sudah paham dengan kelakuan minusku. Dan Dirga, mencoba untuk melindungiku.

"Wuoah, lucu juga pengantin baru yang satu ini."

Berkat Dirga, ayah bisa tepuk tangan dan tertawa lepas. Dan berkat Dirga, aku bisa melihat kedua orang tuaku bahagia. Selama ini, mereka pusing dengan kelakuanku yang ceroboh dan sering pindah sekolah.

Semenjak kemunculan Dirga, mereka bisa tertawa, dan ternayata, melihat mereka tertawa sangatlah menyenangkan. 

"Dirga tidak seburuk yang kupikirkan," batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status