Pria yang kupikir akan bodo amat itu, ternyata mendatangiku. Dia mengikutiku tanpa teriak memintaku untuk berhenti. Dia juga membawakan payung. Dia juga rela tubuhnya basah demi menjaga agar tubuhku tidak terpapar air hujan. Aku pun terdiam. Dirga, sungguh membuatku bingung.
"Kenapa masih mempedulikanku?"
"Maaf," lirihnya. Tatapannya tajam dan dalam. Sementara tanganku, tanpa sadar mulai menarik pergelangan tangan Dirga. Rasanya, aku tak ingin pria dihadapanku merasakan dinginnya air hujan di malam hari.
Kali ini, Dirga tak menolak. Ia pasrah saat tubuhnya semakin dekat denganku dan kami pun berada dalam satu payung. Ia tetap menatapku dengan tatapan tajam itu. Seolah menunjukkan rasa maafnya kepadaku.
"CIEE!" Kerumunan orang yang berteduh itu pun menyoraki kami. Membuatku jadi malu. Dengan cepat Dirga menarik tanganku, mengajakku berlari di dekat penjual telur gulung.
"Pak, numpang sebentar ya," ucap Dirga sembari melipat payungnya. Sekarang, kami justru satu payung dengan penjual telur gulung itu. Kalau dipikir, ada lucunya juga. Karena penjual telur gulung itu jadi ikut ketetesan air hujan.
Aku sibuk mengelap beberapa kain yang melekat ditubuhku. Rasanya dingin, bahkan jari jemari tanganku pun mengkerut.
"Pak telur gulung 20 ribu ya," pinta Dirga.
"Siap."
"Pak, panci satunya boleh saya pakai? Saya mau merebus air," ujarnya.
"Oh pakai saja hehe, tenang," jawab sang penjual telur gulung yang mulai asik menyalakan kompor dan memasak pesanan Dirga.
Aku hanya diam. Aku tak berbicara sepatah kata pun meskipun sebenarnya aku penasaran dengan apa yang dilakukan Dirga. Rupanya, pria tinggi semampai itu merebus air dan memasukkan air ke dalam botol. Dia adalah pria yang selalu membawa sarung tangan berbentuk persegi. Rupanya, benda mungil itu berguna juga.
"Ambil," ujarnya sembari menyodorkan botol air hangat yang dibalut dengan sarung tangan. Otakku tentu saja loading, jadi aku masih terdiam.
"Ambilah, kamu tidak boleh jatuh sakit!" Kali ini, dia memaksaku untuk menggenggam botol air hangat itu.
"Kak, telur gulungnya sudah matang." Penjual itu menyodorkan dua bungkus telur gulung yang diwadahi plastik. Saos sambalnya terpisah. Karena lapar dan anti jaga ekspresi wajah, tentu aku makan-makan saja. Toh juga, aku tidak perlu jaga ekspresi wajah di depan Dirga. Pikirku begitu.
Ternyata, wajahku comot semua. Ada saos yang menempel di pipi dan lain sebagainya yang tanpa disadari membuat Dirga tertawa. Ya benar, Dirga tertawa. Untuk pertama kalinya dia tidak memasang wajah jutek saat berada dihadapanku.
"Haha jelek banget ketawa lo Dir. Udah mirip titisan jin iprit aja," ejekku.
"Dari pada lo, dikit dikit baperan."
PLAK
Aku pun memukul punggung Dirga sekencang mungkin.
"Bilang sekali lagi?" tantangku.
"Jin iprit, dasar titisan jin iprit," teriak Dirga.
"KYAAA! Memang minta di pukul." Punggung Dirga pun habis kena pukul tanganku beberapa kali. Sebagai gantinya, dia minta maaf dan membelikanku arum manis. Nama di daerah setiap orang mungkin berbeda, tetapi arum manis adalah makanan yang bahan dasarnya gula. Bentuk dan warnanya pun beragam.
"Eh, ada kue putu ya? ayah suka loh." Tatapanku tertuju pada bunyi khas dari kue putu. Itu adalah jajanan lama yang keberadaannya mulai minim ditemui. Dengan santai, Dirga kembali menggandeng tanganku dan mengajakku beli kue putu.
Hari ini, dia adalah pria yang ku idam-idamkan. Sikapnya sungguh manis. Bahkan, aku nyaris lupa tentang sikap Dirga sebelumnya.
"Sudah. Mau apa lagi? Mumpung lagi di festival pasar malam."
"Mm, bagaimana kalau masuk wahana rumah hantu? Ayah dan bunda selalu sibuk, kami jarang ada waktu bermain di luar, padahal aku ingin menikmati waktu seperti sekarang ini."
Dia menatapku dengan tatapan yang tak mampu ku pahami. Ku pikir, dia akan menolak permintaanku. Ternyata tidak. Dia menuruti semuanya.
"Kenapa baru bilang jika keluargamu jarang ada waktu untukmu," lirih Dirga disaat kami antri tiket wahana rumah hantu. Aku pun tersenyum tipis, bukannya sebelum kejadian ini dia tidak peduli? Lantas untuk apa aku cerita panjang lebar.
"Selama ini, aku bersikap ceria untuk menutupi kesepianku. Sampai aku tak sadar telah memakai topeng itu dalam jangka panjang."
"Tapi tidak masalah, aku terbiasa sendiri dan aku menikmatinya. Jadi aneh jika kamu menemukanku hari ini hehe," ujarku.
Di saku celana Dirga, terdengar jelas getaran telepon.Tetapi, dia terlihat tidak peduli dengan itu.
"Angkat saja," pintaku karena risih dengan telepon yang tak kunjung ia angkat.
Saat Dirga merogoh saku celananya, ia membaca tulisan "Soya" sebagai orang yang menghubunginya.
[Rejected]
[Off]
"Sungguh? Dia menolak panggilan Soya dan bahkan menonaktifkan ponselnya?"
"Demi aku?"
"Yeay, kita sudah dapat tiketnya!"
"Dir? Lo gak papa kan? Lo jangan pura-pura baik ke gue hanya karena lo takut kita cerai." Akhirnya, aku memberanikan diri untuk memastikan pada Dirga.
Kalian tau? Ada satu hal yang menyebalkan di muka bumi ini, versiku. Hal menyebalkan itu adalah ketika orang lain pura-pura baik agar mereka aman.
"Untuk menikah saja, lo juga bisa pura-pura kan?" singgungku.
"Gak! Lo bisa pegang omongan gue," ujarnya.
***
Semalam, kami pulang pulang pukul 23.30. Awalnya memang mau memasuki satu wahana saja, tapi sangat disayangkan jika hanya satu wahana. Dirga mengajakku masuk rumah kaca dan aku mengajaknya naik ke bianglala. Seru, sampai tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sesampainya di rumah, kami berdua pun tidur. Dirga tidur di ruang tamu, dan aku tidur di kamar. Yup, kami sudah memiliki rumah sendiri. Rumah yang berantakan. Botol bekas minum dan jajan ada di dalam kamar. Hanya kamarku yang berantakan. Siapapun yang masuk rumah kami, akan melihat rumah yang rapi dan terawat. Ruang tamu kami sangat rapi, apalagi bagian dapur dan meja makan. Siapa lagi yang membersihkannya kalau bukan Dirga? Ku rasa, itu sifat baik yang menguntungkan. Begitu masuk ke kamar, suasananya langsung berubah. Aku sering menimbun bekas snack dan juga minuman kaleng karena malas keluar kamar, malas melihat Dirga yang pasti ada di luar kamar, entah itu masak di dapur, minum kopi di ruang tamu, atau pun main game di halaman depan.
Ting Tong (bunyi bel rumah)
"Lea, Lea bangun woi"
Sebenarnya aku dengar saat Dirga ketok pintu kamar. Tapi untuk sekedar membuka mata saja, rasanya masih berat.
"Duh lama banget sih, maaf ya, aku masuk," ujar Dirga sembari membuka pintu kamarku.
"E-Eh, apa sih?"
"Ayah sama bunda, mereka ramai-ramai ke sini!"
"WHAT?" Aku langsung bangun meskipun setengah kepalaku terasa pusing.
"Ini hari minggu pertama kita setelah menikah. Mereka pasti penasaran dengan kondisi rumah dan juga rumah tangga kita Lea."
Dirga terlihat panik, dengan membawa celemek, ia mengikatkan tali celemek itu ke pinggangku.
"Pura-pura potong buah saja. Istri kan biasanya kalau pagi masak," ungkapnya.
Aku langsung setuju dan pura-pura ke dapur. Nahasnya, tidak ada yang bisa ku masak. Secepat mungkin aku pun pindah ke depan kulkas. Untung saja ada buah melon, jadi aku memotong buah melon saja. Sementara Dirga, ia pergi membukakan pintu untuk ayah dan bunda.
"Wah rapi banget haha," puji Bunda.
"Lea dimana?"
"Lea sangat rajin, dia lagi di dapur potong buah untuk suaminya," jawab Dirga.
"Lea sayang, bunda datang."
"Eh Bunda? Pagi banget hehe."
"Pagi? Lea baru bangun tidur ya? Ini kan sudah jam 10 Lea," jelas Bunda.
"Leaaaaa, apa-apaan ini?" Ayah kaget begitu membuka pintu kamarku.
"Ayah, tenang dulu yah. Semalam aku dan Lea sedang party," jawab Dirga. Dia sudah paham dengan kelakuan minusku. Dan Dirga, mencoba untuk melindungiku.
"Wuoah, lucu juga pengantin baru yang satu ini."
Berkat Dirga, ayah bisa tepuk tangan dan tertawa lepas. Dan berkat Dirga, aku bisa melihat kedua orang tuaku bahagia. Selama ini, mereka pusing dengan kelakuanku yang ceroboh dan sering pindah sekolah.
Semenjak kemunculan Dirga, mereka bisa tertawa, dan ternayata, melihat mereka tertawa sangatlah menyenangkan.
"Dirga tidak seburuk yang kupikirkan," batinku.
Anak tunggal yang selalu kesepian ini, ternyata bisa duduk dalam satu meja makan dengan kedua orang tua lengkap beserta satu keluarga baru. Ternyata, begini ya rasanya mendapatkan dukungan penuh? Ternyata, tidak seburuk apa yang ada di kepalaku. Sekarang, ayah dan bunda sibuk mengupasi buah. Sementara Dirga mengemas kamarku dengan kecepatan super. Baru setelah semuanya selesai, kami makan bersama. Usai makan, bunda justru bertanya kepadaku, "Jadi bagaimana? Apakah sudah mulai promil?" Program hamil? haha, yang benar saja. Tidur satu ranjang saja tak pernah. "Mohon maaf ayah, bunda, tetapi kami sudah sepakat untuk promil setelah lulus sekolah. Lagi pula, pernikahan ini kan diam-diam, teman-teman kami juga tidak ada yang tahu. Semua ini demi menjaga nama baik aku dan Alea juga," terang Dirga. Gaya bahasanya sungguh kalem dan santai, seolah membius ayah dan bunda agar setuju dengan pernyataan Dirga.Seusai makan, ayah tampak bicara santai dengan Dirga di taman depan rumah. Aku menat
Ku pikir, setelah kejadian kemarin, semuanya berubah menjadi baik-baik saja. Ku pikir, Dirga memang berubah semenjak kejadian yang membuatku kehujanan seolah tidak mempedulikan kesehatanku sendiri. Rupanya salah, bahkan ketika Dirga dipertemukan dengan Soya, imannya kembali goyah dan ia kembali menitikberatkan Soya. "Untuk apa aku menangisi pria gila itu? Sekarang, biarkan dia mencariku sampai ke manapun, aku akan pergi, aku tidak akan masuk ke sekolah, dan aku akan menghilang dari pandangannya sampai dia benar-benar menemukanku." Tekat ini sudah bulat. Pria itu tidak akan pernah menghargai keberadaan seseorang sebelum ia kehilangan seseorang itu. Dan jika kelak Dirga memang sudah tidak mempedulikanku, aku rasa, aku siap jika sewaktu-waktu pernikahan kontrak kami ini bocor ke keluarga besar kami. ***Keesokan harinya, di sekolah, Dirga mencari namaku. Ia pergi ke kelas hanya untuk mencari keberadaanku. Tetapi nihil, aku tidak ditemukan di sudut kelas manapun. Beberapa temanku berta
Untuk pertama kalinya, pria itu mengecupku. Untuk pertama kalinya juga, jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti, hal menyenangkan yang tak dapat ku definisikan lagi. "Em, Ma-Maaf, aku lancang dan melanggar kontrak ya." Dirga langsung menarik mulutnya dari keningku. Ia juga cepat-cepat bangun dan merapikan posisinya. Sementara aku, masih tergeletak di lantai, diam, dan memastikan penyebab jantungku berdegup kencang. "Kenapa jantungku berdegup kencang?" lirihku yang ternyata terdengar sampai ke telinga Dirga."Aku juga," jawabnya.Kami berdua pun kembali saling menatap, rasanya aneh dan sangat tidak mengenakkan. Aku tidak terbiasa dengan situasi yang seperti ini. Akhirnya, aku pun mencoba kabur dan pergi masuk ke dalam villa. Sayangnya, kakiku justru kepleset dan aku kembali terjatuh. Kali ini, Dirga tidak menolongku. Tidak seperti kebanyakan drama dimana si cowok akan menangkap wanitanya."Hahaha." Aku tidak peduli jika Dirga tertawa puas. Maluku sudah sampai di ubun-ubun, j
BRAKK"Auuu, Sialan!" Kotak bekalku melayang di udara. Sandwich itu bertebaran. Padahal, hampir satu jam aku menghiasnya. Kini, punggung seragam sekolahku basah. Jalan yang ku pijak ternyata berlubang dan berisi genangan air bercampur tanah."It's Okay Lea, ayo bangun!" ucapku sembari membersihkan kedua telapak tangan. Baru juga beranjak bangun, ada murid kurang ajar yang mengendarai motor berkecepatan tinggi melintas di sampingku. Motor itu melewati jalanan berlubang dan airnya mengenai sebagian wajahku. BYURSeketika, aku refleks memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Begitulah hidupku. Sangat ceroboh dan sial dalam berbagai situasi. Padahal hari ini aku sedang mencoba beradaptasi dengan tempat baru. Usiaku 17 tahun, menduduki kelas 12 SMA. Telat memang, jika aku pindah sekolah di ujung kelas 12 seperti sekarang. Tetapi ayah dan bunda menyuruhku untuk pindah sekolah demi menghapus rekam jejak burukku di sekolahku yang sebelumnya. Alea Putri Sawan, itulah nama lengkapku
Sesampainya di rumah, sambutan hangat dari MUA membuatku terkejut."Nona Alea akhirnya datang," ucapnya sembari menangkap kedua tanganku dan menggiringnya masuk ke ruang tamu. Tentu saja, aku masih bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku meminta penjelasan pada MUA itu karena ayah dan bunda juga masih belum pulang dari kantor perusahaannya. Setelah ditelusuri, ternyata bunda yang memilihkan MUA itu. Ia ingin aku tampil maksimal di acara makan malam dengan rekan bisnis ayah. Padahal, sebelumnya tidak pernah begini. "Feminim banget bajunya, yang benar saja?" Aku melempar gaun merah panjang itu ke kasur. Buru-buru merogoh ponsel yang masih berada di dalam ransel sekolahku."Halo? Bun? Bunda yakin?" Tak perlu basa-basi lagi."Kenapa sayang?""Bunda tau Lea gak suka pakai dress, kenapa harus dress? Gak bisa pakai blouse atau sweater aja?" Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengenakan pakaian yang nyaman dan santai. Bukan pakaian yang terlalu resmi seperti ini."Lea bisa nurut bunda gak? Nanti
Jalanan malam yang dingin dan sunyi, tepatnya pukul 01.00 dini hari. Dirgantara mengendarai motor besarnya dengan memakai outfit serba hitam. Ia tidak sendirian, di jok belakang motornya ada Soya dengan outfit yang senada dengan Dirga. Mereka memiliki tinggi yang hampir sama. "Gue menepati janji untuk membawa lo keliling jalanan sunyi. Teriaklah sekencang mungkin sayang," ucap Dirga pada Soya. Dirga mengendarai motor di barisan paling depan. Di belakang mereka, ada 6 motor lainnya yang mengiringi Dirga. Terlihat seperti konvoi. Soya pun membentangkan kedua tangannya. Ia tersenyum dan teriak sekencang mungkin untuk melampiaskan beban yang selama ini ia tanggung di pundaknya. "Makasih Dirga. Berkat lo, gue merasa hidup!" Soya pun merangkul Dirga sekuat mungkin. "Gue sayang banget sama lo Dir," ucapnya. *** Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Hanya Dirga yang bisa membantuku untuk membatalkan pernikahan tak masuk akal ini. Berulang kali aku mencoba menghubungi Dirga, tapi
Kami pulang. Padahal, itu adalah tiket yang menjadi salah satu alasanku bertahan hidup. Keindahan santorini, aku selalu membayangkannya dengan memakai pakaian biru yang menyegarkan. Tetapi, harapan itu hilang. Hilang begitu saja akibat Dirgantara yang memutuskan pulang dan menjenguk Soya. "Kalau bukan karena menghargai keinginan ayah, aku tidak akan sudi menjalani kehidupan seperti ini."***Aku tidak banyak tahu tentang Soya. Tapi, karena dari segi pandang keluargaku, aku telah menikah dengan Dirga. Aku pun merasa memiliki kewajiban untuk tahu sedikit demi sedikit tentang Dirga. Dan selama Dirga pulang menemui Soya, aku berusaha menutupi segala keburukan Dirga. Bukan, bukan karena aku mengamankan Dirga. Tetapi, aku mengamankan seluruh situasi. Meskipun hal yang kulakukan, membuatku tersiksa sendirian.[Lo kenal Soya? Boleh gue tau informasi tentang Soya?] Pesan itu pun terkirim. [Iya, gue kenal dekat sama Soya. Tapi, informasinya gak gratis ya.][Haha, lo mau berapa? Gue bisa kasih
Untuk pertama kalinya, pria itu mengecupku. Untuk pertama kalinya juga, jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti, hal menyenangkan yang tak dapat ku definisikan lagi. "Em, Ma-Maaf, aku lancang dan melanggar kontrak ya." Dirga langsung menarik mulutnya dari keningku. Ia juga cepat-cepat bangun dan merapikan posisinya. Sementara aku, masih tergeletak di lantai, diam, dan memastikan penyebab jantungku berdegup kencang. "Kenapa jantungku berdegup kencang?" lirihku yang ternyata terdengar sampai ke telinga Dirga."Aku juga," jawabnya.Kami berdua pun kembali saling menatap, rasanya aneh dan sangat tidak mengenakkan. Aku tidak terbiasa dengan situasi yang seperti ini. Akhirnya, aku pun mencoba kabur dan pergi masuk ke dalam villa. Sayangnya, kakiku justru kepleset dan aku kembali terjatuh. Kali ini, Dirga tidak menolongku. Tidak seperti kebanyakan drama dimana si cowok akan menangkap wanitanya."Hahaha." Aku tidak peduli jika Dirga tertawa puas. Maluku sudah sampai di ubun-ubun, j
Ku pikir, setelah kejadian kemarin, semuanya berubah menjadi baik-baik saja. Ku pikir, Dirga memang berubah semenjak kejadian yang membuatku kehujanan seolah tidak mempedulikan kesehatanku sendiri. Rupanya salah, bahkan ketika Dirga dipertemukan dengan Soya, imannya kembali goyah dan ia kembali menitikberatkan Soya. "Untuk apa aku menangisi pria gila itu? Sekarang, biarkan dia mencariku sampai ke manapun, aku akan pergi, aku tidak akan masuk ke sekolah, dan aku akan menghilang dari pandangannya sampai dia benar-benar menemukanku." Tekat ini sudah bulat. Pria itu tidak akan pernah menghargai keberadaan seseorang sebelum ia kehilangan seseorang itu. Dan jika kelak Dirga memang sudah tidak mempedulikanku, aku rasa, aku siap jika sewaktu-waktu pernikahan kontrak kami ini bocor ke keluarga besar kami. ***Keesokan harinya, di sekolah, Dirga mencari namaku. Ia pergi ke kelas hanya untuk mencari keberadaanku. Tetapi nihil, aku tidak ditemukan di sudut kelas manapun. Beberapa temanku berta
Anak tunggal yang selalu kesepian ini, ternyata bisa duduk dalam satu meja makan dengan kedua orang tua lengkap beserta satu keluarga baru. Ternyata, begini ya rasanya mendapatkan dukungan penuh? Ternyata, tidak seburuk apa yang ada di kepalaku. Sekarang, ayah dan bunda sibuk mengupasi buah. Sementara Dirga mengemas kamarku dengan kecepatan super. Baru setelah semuanya selesai, kami makan bersama. Usai makan, bunda justru bertanya kepadaku, "Jadi bagaimana? Apakah sudah mulai promil?" Program hamil? haha, yang benar saja. Tidur satu ranjang saja tak pernah. "Mohon maaf ayah, bunda, tetapi kami sudah sepakat untuk promil setelah lulus sekolah. Lagi pula, pernikahan ini kan diam-diam, teman-teman kami juga tidak ada yang tahu. Semua ini demi menjaga nama baik aku dan Alea juga," terang Dirga. Gaya bahasanya sungguh kalem dan santai, seolah membius ayah dan bunda agar setuju dengan pernyataan Dirga.Seusai makan, ayah tampak bicara santai dengan Dirga di taman depan rumah. Aku menat
Pria yang kupikir akan bodo amat itu, ternyata mendatangiku. Dia mengikutiku tanpa teriak memintaku untuk berhenti. Dia juga membawakan payung. Dia juga rela tubuhnya basah demi menjaga agar tubuhku tidak terpapar air hujan. Aku pun terdiam. Dirga, sungguh membuatku bingung. "Kenapa masih mempedulikanku?""Maaf," lirihnya. Tatapannya tajam dan dalam. Sementara tanganku, tanpa sadar mulai menarik pergelangan tangan Dirga. Rasanya, aku tak ingin pria dihadapanku merasakan dinginnya air hujan di malam hari. Kali ini, Dirga tak menolak. Ia pasrah saat tubuhnya semakin dekat denganku dan kami pun berada dalam satu payung. Ia tetap menatapku dengan tatapan tajam itu. Seolah menunjukkan rasa maafnya kepadaku."CIEE!" Kerumunan orang yang berteduh itu pun menyoraki kami. Membuatku jadi malu. Dengan cepat Dirga menarik tanganku, mengajakku berlari di dekat penjual telur gulung. "Pak, numpang sebentar ya," ucap Dirga sembari melipat payungnya. Sekarang, kami justru satu payung dengan penjual
Kami pulang. Padahal, itu adalah tiket yang menjadi salah satu alasanku bertahan hidup. Keindahan santorini, aku selalu membayangkannya dengan memakai pakaian biru yang menyegarkan. Tetapi, harapan itu hilang. Hilang begitu saja akibat Dirgantara yang memutuskan pulang dan menjenguk Soya. "Kalau bukan karena menghargai keinginan ayah, aku tidak akan sudi menjalani kehidupan seperti ini."***Aku tidak banyak tahu tentang Soya. Tapi, karena dari segi pandang keluargaku, aku telah menikah dengan Dirga. Aku pun merasa memiliki kewajiban untuk tahu sedikit demi sedikit tentang Dirga. Dan selama Dirga pulang menemui Soya, aku berusaha menutupi segala keburukan Dirga. Bukan, bukan karena aku mengamankan Dirga. Tetapi, aku mengamankan seluruh situasi. Meskipun hal yang kulakukan, membuatku tersiksa sendirian.[Lo kenal Soya? Boleh gue tau informasi tentang Soya?] Pesan itu pun terkirim. [Iya, gue kenal dekat sama Soya. Tapi, informasinya gak gratis ya.][Haha, lo mau berapa? Gue bisa kasih
Jalanan malam yang dingin dan sunyi, tepatnya pukul 01.00 dini hari. Dirgantara mengendarai motor besarnya dengan memakai outfit serba hitam. Ia tidak sendirian, di jok belakang motornya ada Soya dengan outfit yang senada dengan Dirga. Mereka memiliki tinggi yang hampir sama. "Gue menepati janji untuk membawa lo keliling jalanan sunyi. Teriaklah sekencang mungkin sayang," ucap Dirga pada Soya. Dirga mengendarai motor di barisan paling depan. Di belakang mereka, ada 6 motor lainnya yang mengiringi Dirga. Terlihat seperti konvoi. Soya pun membentangkan kedua tangannya. Ia tersenyum dan teriak sekencang mungkin untuk melampiaskan beban yang selama ini ia tanggung di pundaknya. "Makasih Dirga. Berkat lo, gue merasa hidup!" Soya pun merangkul Dirga sekuat mungkin. "Gue sayang banget sama lo Dir," ucapnya. *** Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Hanya Dirga yang bisa membantuku untuk membatalkan pernikahan tak masuk akal ini. Berulang kali aku mencoba menghubungi Dirga, tapi
Sesampainya di rumah, sambutan hangat dari MUA membuatku terkejut."Nona Alea akhirnya datang," ucapnya sembari menangkap kedua tanganku dan menggiringnya masuk ke ruang tamu. Tentu saja, aku masih bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku meminta penjelasan pada MUA itu karena ayah dan bunda juga masih belum pulang dari kantor perusahaannya. Setelah ditelusuri, ternyata bunda yang memilihkan MUA itu. Ia ingin aku tampil maksimal di acara makan malam dengan rekan bisnis ayah. Padahal, sebelumnya tidak pernah begini. "Feminim banget bajunya, yang benar saja?" Aku melempar gaun merah panjang itu ke kasur. Buru-buru merogoh ponsel yang masih berada di dalam ransel sekolahku."Halo? Bun? Bunda yakin?" Tak perlu basa-basi lagi."Kenapa sayang?""Bunda tau Lea gak suka pakai dress, kenapa harus dress? Gak bisa pakai blouse atau sweater aja?" Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengenakan pakaian yang nyaman dan santai. Bukan pakaian yang terlalu resmi seperti ini."Lea bisa nurut bunda gak? Nanti
BRAKK"Auuu, Sialan!" Kotak bekalku melayang di udara. Sandwich itu bertebaran. Padahal, hampir satu jam aku menghiasnya. Kini, punggung seragam sekolahku basah. Jalan yang ku pijak ternyata berlubang dan berisi genangan air bercampur tanah."It's Okay Lea, ayo bangun!" ucapku sembari membersihkan kedua telapak tangan. Baru juga beranjak bangun, ada murid kurang ajar yang mengendarai motor berkecepatan tinggi melintas di sampingku. Motor itu melewati jalanan berlubang dan airnya mengenai sebagian wajahku. BYURSeketika, aku refleks memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Begitulah hidupku. Sangat ceroboh dan sial dalam berbagai situasi. Padahal hari ini aku sedang mencoba beradaptasi dengan tempat baru. Usiaku 17 tahun, menduduki kelas 12 SMA. Telat memang, jika aku pindah sekolah di ujung kelas 12 seperti sekarang. Tetapi ayah dan bunda menyuruhku untuk pindah sekolah demi menghapus rekam jejak burukku di sekolahku yang sebelumnya. Alea Putri Sawan, itulah nama lengkapku