Hari ini Gaby ada jam kelas untuk Studinya S2nya. Ia melangkah pelan menuju ruangannya. Gaby tidak yakin dengan kelas hari ini karena tidak terlalu melihat jadwal. Gaby tidak mempunyai teman. Ia menganggap teman kampus hanyalah sebatas formalitas. Apalagi kebanyakan dari mereka merupakan pekerja yang sama-sama sibuk. Gaby mengambil duduk di bangku paling terdepan. Gaby yang sibuk mengeluarkan tabletnya sampai tidak sadar bahwa dosennya sudah masuk. “Perkenalkan saya Dosen tamu dan akan mengajar selama setengah semester.” Tunggu! Gaby tidak asing dengan suara orang itu. Benar saja ketika ia mendongak. kedua matanya berhadapan dengan mata elang seorang pria yang sudah lama tidak ia lihat. Gaby membeku untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Haven tersenyum miring padanya. “Perkenalkan saya Haven Edison, saya adalah pemimpin Edison Corp. Saya lulusan Harvard university jurusan management bussines. Saya harap saya bisa memberikan ilmu kepada kalian.” Gaby menyipitkan ma
Gaby menunduk mengambil buku-bukunya. Ia terhenti ketika sebuah tangan mengambil bukunya. Gaby terdiam—untuk sesaat pandangan mereka bertemu. Gaby memutuskan untuk mengabaikannya. “Gabriella..” panggil Haven pelan. Gaby mendongak. “ada yang ingin anda katakan pak?” Haven menggeram pelan. “Gaby bisakah kita mengobrol sebentar?” Gaby menggeleng sembari menatap jam di tangannya. “Sebentar lagi saya harus bertemu dengan klien.” Haven menghela sebentar. “Saya pergi, pak..” Gaby pergi setelah menegaskan hubungan mereka.Ia tidak ingin berhubungan lagi dengan pria itu. apalagi memberi kesempatan pada mereka untuk lebih dekat lagi. Haven menggeleng pelan. Akhirnya ia menangkap pergelangan tangan Gaby. “Tunggu.” “Apa yang anda inginkan?” Gaby mengangkat salah satu alisnya ke atas. Jika bertanya bagaimana perasaannya? Gaby tidak bisa mendeskripsikannya. Yang pasti Haven masih seperti dulu. Tampan. Dan yang pasti juga semakin dewasa. Gaby menyadarkan diri untuk tidak jatuh ke
Damian menepati janjinya. Setelah melakukan perjalanan bisnis, pria itu benar-benar pulang dan langsung menemui Gaby. Gaby menyambut kedatangan kekasihnya itu dengan senang hati. Gaby langsung memeluk Damian ketika membuka pintu penthousenya. “Aku merindukanmu!” ucap Gaby dengan antusias. Damian mengecup beberapa kali puncak kepala Gaby. Gaby menarik Damian masuk. “Kamu beli apa?” tanya Gaby melihat paper bag yang dibawa oleh Damian. Damian menaruh paper bag itu di atas meja. “Apa yaa…” sembari membuka paper bag itu. Gaby tersenyum. Damian membuka paper bag itu dan mengambil satu buah jam tangan. Jam tangan vintage. Bukan jam tangan dengan merek mahal. Melainkan jam tangan kuno yang sepertinya berharga. “Untukku?” tanya Gaby. “Modelnya untuk wanita. Aku beli karena mengingat kamu. karena kamu suka jam tangan.” Damian memasangkan jam tangan itu di tangan Gaby. “Katanya jam tangan ini dulu adalah milik ratu kerajaan. Aku langsung beli karena mengingat ada ratuku yaitu kamu.
“Silahkan tuan putriku.” Damian membukakan pintu. Gaby tersenyum sembari masuk ke dalam mobil. Hari ini ia menggunakan dress cantik berwarna hitam. Sedikit terbuka di bagian dada. Its fine. Kata Damnian yang penting Gaby nyaman. Kalau tidak nyaman nanti bisa ditutup dengan jasnya. Damian menyetir satu tangan dengan satu tangan lagi menggenggam tangan Gaby. Cekrek! Gaby memotret Damian Damian dari samping. “My hot boyfriend,” lirih Gaby sembari terkikik geli. “Post kalau berani.” Gaby berdecak. “Hanya post saja kan? Siapa takut.” “Post wajahku dengan jelas kalau berani.” Gaby menggeleng. “Privat but not secret baby.” Mengecup pipi Damian. Gaby memiliki banyak sekali pengikut, hal itu yang sekarang membuatnya berhati-hati saat memposting sesuatu. Sedangkan Damian sosial medianya dikunci dan hanya diikuti oleh orang terdekat saja. Sehingga pria itu begitu leluasa memposting foto-foto kebersamaan mereka. Damian mengecup punggung tangan Gaby pelan. Tidak m
“Maaf,” lirih Damian. Ia mengecup pelan pipi Gaby dari samping. “Aku meninggalkan kamu terlalu lama.” Gaby mendongak. “Tidak masalah.” Gaby hendak berbicara namun ia ragu. “Kamu…” Ia melirik seorang pria yang kini sibuk berbicara. “Kamu akrab dengannya?” tanya Gaby menunjuk Haven dengan dagunya. “Aku pernah tidak sengaja bertemu dengannya di beberepa acara.” Damian menangkup wajah Gaby. “Aku tahu. Aku pernah dengar kamu pernah menjalin hubungan dengannya.” Damian menghela nafas. “Tapi aku tidak tahu apapun tentangmu dan dia. Karena kamu yang tidak pernah menceritakan apa-apa padaku.” Damian mengusap pipi Gaby. “Sampai saat ini aku hanya menganggapnya sebagai kenalan bisnis. bukan sebagai mantan kekasihku..” Gaby mendongak. ia tahu, ini memang kesalahannya yang tidak memberitahu apapun pada Damian tentang masa lalunya. Tapi ia tidak pernah membahas masa lalu karena ingin fokus pada hubungannya saat ini.“Maaf,” lirih Gaby. “Aku hanya ingin melupakan masa laluku.” Damian men
“Kau masih merokok?” seorang pria yang diam-diam mengikuti Gaby. Gaby menghela nafas. “Jangan mengikutiku sialan!” Gaby berbalik. Ia berjalan ingin pergi dan meninggalkan Haven. Namun pria itu lagi-lagi mencegahnya. Pria itu mencekal pergelangan tangannya. “Aku minta maaf,” ucap Haven. “Untuk apa?” Gaby mendongak. “Atas kesalahanku dulu.” Gaby bersindekap. “Memangnya apa kesalahanmu?” “Aku membuatmu menderita. Aku tidak bisa memberimu kepastian tentang hubungan kita. Maaf, karena aku dulu berniat menjadikanmu mainanku. Maaf karena aku berniat jahat padamu. Dan maaf atas semua tindakanku yang membuatmu sakit hati.” Gaby memejamkan mata sebentar. “Brengsek!” umpat Gaby begitu keras. “Aku menyesal. Tidak seharusnya aku melakukan semua itu padamu.” Haven meraih tangan Gaby dan menggenggamnya. “Maafkan aku Gabriella. Aku janji aku tidak akan menyakitimu..” Gaby mendongak. “KENAPA KAU BARU MINTA MAAF SEKARANG? KEMANA SAJA LIMA TAHU INI?” “Kau tidak tahu betapa hanc
Gaby mengibaskan tangan Haven. “Kau bisa bangun sendiri kan?” tanya Gaby. Ia berdiri dan tidak berniat membantu Haven untuk berdiri. Tapi Haven meraih tangan Gaby untuk berdiri. Hingga Gaby hampir saja oleng jika satu tangan Haven tidak menangkap pinggangnya. “Setidaknya kau harus bertanggung jawab atas lukaku ini.” Gaby menyingkir. Menjaga jarak dengan Haven. “Kau punya banyak uang. Pergilah ke rumah sakit sendiri.” Gaby mengernyit. Ia menatap Haven dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ternyata luka yang dibuatnya cukup banyak juga. Rahang Haven, sudut bibir pria itu berdarah. Untung saja Gaby tidak meninju hidung mancung Haven. Jika iya, sudah pasti akan patah dan pasti akan mendapatkan operasi. “Rasakan…” lirih Gaby sembari tersenyum puas. Haven terdiam. Akhirnya ia bisa melihat senyum Gaby kembali. Senyum natural yang tidak dipaksa sama sekali. “Kenapa kau terdiam?” tanya Gaby menyipitkan mata curiga. Terlalu curiga karena takut Haven pingsan. “Akhirnya aku meliha
Gaby mendorong Haven hingga pangutan bibir mereka bisa terlepas. Jika dibiarkan ia tidak tahu apakah bisa mengendalikan dirinya atau tidak. Gaby mendongak. “Brengsek!” “Panggil aku jika kau membutuhkanku.” Haven mendekat. Reflek Gaby menjaga jarak dari pria itu. “Jangan mendekat.” Haven menghela nafas. jemarinya mengusap sudut bibirnya yang masih terasa perih. “Aku tidak bercanda dengan ucapanku. Kau bisa menjadikanku selingkuhan.” Gaby mengernyit. “Kau gila!” Gaby melangkah pergi. tidak menoleh ke belakang lagi dan memilih untuk segera pergi dari sana. Gaby langsung pulang ke rumahnya dengan perasaan yang kacau. ~~ Pagi harinya. Gaby sudah berangkat ke kantor. Ia tidak langsung masuk melainkan menatap sebuah tas yang berada di atas meja. Tas mewah yang hanya bisa dibeli di luar negeri. Tapi Vina memilikinya? “Oh anda sudah datang,” ucap Vina yang baru saja kembali dari toilet. Vina tersenyum—ia meraih tas itu dan memilih menaruhnya ke bawah. “Tasmu b
“Apa anda tahu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di rumah kakak ipar Agatha?” tanya Gio di sambungan telepon. Ia sedang melakukan panggilan dengan pak Rudi. Pak Rudi tidak datang menjenguk Agatha. karena Gio melarangnya, ia menyuruh pak Rudi untuk bersembunyi dan melindungi diri sendiri. Ia takut jika mereka menyakiti orang-orang yang membantu Agatha. “Iya aku tahu. Aku dan Agatha yang mengaturnya.” Gio berkacak pinggang. “Pastikan semua orang-orang yang menjaga di rumah itu semua berpihak pada Agatha. Jessika bilang, dia curiga pada ibu mertuanya.” “Bukankah mereka masih satu rumah?” “Iya. Aku akan mengaturnya,” balas Pak Rudi. “Kalau memang berbahaya. Aku akan menyiapkan tempat untuk mereka tinggal.” “Saya pastikan dulu, Sir. Nanti saya akan mengabari anda. Saya juga takut jika orang-orang itu mencelakai Jessika dan anak-anaknya.” Setelah itu Gio menutup sambungan telepon itu. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Anton yang kini sedang memilih es kr
Agatha mengalami koma. Kecelakaan itu berat. membuat hampir seluruh tubuh Agatha terluka. Gio berada di luar ruangan Agatha. menatap perempuan itu dari sebuah kaca. Gio berkacak pinggang. Menyalahkan diri sendiri karena tidak menangkap penjahat itu. seharusnya ia membawa penjahat itu, mengurungnya… Bukan malah menyerahkan pada polisi. Sehingga tahanan itu kabur. Gio mengangkat sambungan telepon. “Aku tidak mau tahu. Malam ini bajingan itu harus ketemu. Bawa bajingan itu ke tempat yang sudah aku kirimkan padamu.” “Baik sir. Saat ini anak buah saya masih mengejar pria itu.” Gio menutup sambungan teleponnya dan melihat Agatha sebentar sebelum duduk. Gio menunduk—mengusap wajahnya kasar. ada tangan mungil yang memberikannya sebuah es krim. Gio mengangkat kepalanya. menatap seorang anak laki-laki. Anak itu tersenyum. “Uncle jangan menangis.” bocah itu berbicara dengan jelas. Dilihat dari postur tubuhnya memang sudah besar, tapi masih terlihat anak kecil. “Bagaimana keadaan Ag
Agatha keluar dari rumah sakit. Setelah memastikan Gio beristirahat dengan tenang. Agatha berhenti pada sebuah cermin. Menatap lehernya yang memerah. Merogoh sebuah syal yang berada di tasnya. Kemudian melingkarnnya di lehernya. Bibirnya mengembangkan senyuman. Masih tergambar dengan jelas ciuman mereka tadi. Saling memangut dan meluapkan rasa rindu. Agatha kembali berjalan dan menaiki mobil untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Agatha tidak berhenti melamun. Ada banyak yang ia pikirkan. Meski ia sudah menjadi pemimpin…. Ada banyak hal yang belum ia selesaikan. Mencari pelaku yang membunuh ayah dan kakaknya. Mencari pelaku sebenarnya yang menyerang Gio. Mencari pelaku yang berusaha membunuhnya juga. Lalu… Pikirannya juga penuh memikirkan hubungannya dengan Gio setelah ini. Ia hampir mencapai tujuannya. Yang artinya perjanjian mereka akan segera berakhir. Lantas, jika berakhir. apakah hubungannya dengan Gio juga akan berakhir begitu saja. Seharusnya
“Bagaiamana keadaanmu.” Agatha menatap Gio. “Aku baik-baik saja. tapi aku harus kembali ke rumah sakit.” Gio mengambil tangan Agatha dan menggenggamnya. “Kau ikut denganku.” Agatha berhenti. “Aku tidak bisa bersamamu dulu.” “Aku tidak bisa menerimanya.” Gio tetap menggandeng tangan Agatha. Tapi Agatha tetap kekeh dengan ucapannya yang ia katakan pada keluarga Gio. “Tidak, Gio. Aku tidak bisa…” Agatha mendongak. “Aku akan menemuimu sampai keadaan benar-benar aman.” Gio menghela napas. “Sampai kapan?” “Besok? Lusa? Bulan depan?” tanya Gio. Agatha terdiam. karena dirinya sendiri juga tidak tahu. Tapi setidaknya sampai kekuasaan benar berada di dalam genggamannya. Sampai orang-orang yang mencelekainya ditangkap. “Aduh…” Gio memegang perutnya. “Bagaimana ini… perutku..” Gio menyipitkan mata. “Anda harus ke rumah sakit segera Sir..” dokter mendekat. ia juga khawatir dengan keadaan Gio. Namun diam-diam Gio memberi petunjuk bahwa ia sedang berpura-pura. “Adu duh..”
Beberapa hari yang lalu. Gio tersadar dari komanya. Pertama kali orang yang ia cari adalah Agatha. Ibunya bilang, Agatha pulang. Agatha berjanji tidak akan menemuinya sampai keadaan benar-benar aman. Marah. Tentu saja, neneknya yang membuat Agatha pergi. Gio masih membutuhkan perawatan intensif. Untuk bergerak saja ia tidak bisa. Untuk itu ia mengerahkan orang-orangnya untuk membantunya. Dari pada seperti ini, sudah terlanjur. Maka ia akan meneruskannya saja. Ia akan berpura-pura tidak berhubungan dengan Agatha dahulu sampai Rapat itu dimulai. Pada awalnya ia akan datang awal rapat. Tapi sekali lagi keadaannya tidak memungkinkan. Perutnya masih terasa keram. Alhasil ia datang terlambat—namun masih melihat perkembangan rapat itu lewat kamera kecil. Kamera itu terpasang di pakaian orang yang mewakilinya di sana. “Banyak orang yang menghianatiku juga.” Gio berada di dalam mobil. Melihat orang-orang yang tidak mengangkat tangan untuk Agatha. Orang-orang yang tela
“Tapi Agatha Ethelind Harper baru saja terjun ke dunia bisnis. kinerjanya di dalam perusahaan baru mencapai tahun pertama.” Agatha tersenyum sinis. Menggunakan pengalamannya yang baru sebentar untuk menjatuhkannya. Agatha masih menahan senyumnya—ingin tertawa padahal. Kekurangannya yang diumbar di depan banyak investor. Sedangkan kekuarangan Levin disembunyikan. Agatha menjadi satu-satunya wanita yang berada di dalam ruangan ini. “Siapa yang mendukung Agatha Harper Ethelind menjadi pemimpin sementara?” Satu persatu orang-orang yang mendukung Agatha mengangkat tangan. Sekitar 3… Lalu satu orang mengangkat tangannya… Ternyata Pak Beni… Pak Beni tersenyum sembari mengangguk pada Agatha. Sedangkan pak Robert? Jangan tanya. Pria itu bahkan tidak berani menatap Agatha. seolah tidak mengenal. Tidak seperti tadi… Ternyata… si Mafia itu tidak mendukungnya. Memang, di dalam dunia bisnis tidak bisa ditebak mana yang benar-benar teman. Dan mana yang musuh. Setidaknya
“maaf nona. Hal seperti ini saya pasti tidak akan terulang lagi.” satu bodyguard maju menghadap Agatha. Ada dua mobil yang dicoba dijalankan. Hanya satu yang remnya blong. Mobil yang selalu digunakan oleh Agatha. Agatha berkacak pinggang. ia tidak ingin menghabiskan energinya untuk hal tidak masuk akal seperti ini. Tapi semua ini menyangkut nyawanya. “Sebagai ketua. Kau harus mencari tahu siapa anak buahmu yang berhianat. Aku memberimu waktu sampai jam istirahat makan siang. jika kau tidak bisa menemukan penghianat itu.” Agatha menghela napas. “Ganti semua bodyguard yang mengawalku.” Akhirnya Agatha masuk ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, Agatha tidak berhenti cemas. Untuk siapapun yang berusaha membunuhnya. Agatha pastikan akan segera menangkap orang itu. Hidupnya tidak bisa tenang dan dihantui oleh kematian. Akhirnya mobil sampai juga di kantor. Dengan selamat! Agatha masuk ke dalam ruang—disambut oleh sekretarisnya. “Rapat akan dilaksanakan pukul 1
“Sial.” Agatha tidak berhenti mengumpat setelah keluar dari ruang penyidikan. “Aku yakin ada yang menyuruhnya untuk membunuhku.” Agatha mengatakannya pada polisi. Namun polisi itu menghela napas dan terlihat lelah. “Kami sudah menyelidikinya. Kami sudah datang ke tempat tinggalnya. Tidak ada tanda-tanda disuruh orang….” “Tidak mungkin.” Agatha menggeleng. “Pasti ada petunjuk… Aku sering diteror. Tidak mungkin kalau dia hanya menyukaiku. aku yakin dia memang punya niat buruk dan disuruh orang lain.” “Tenanglah..” polisi itu hanya menepuh pelan bahu Agatha. Agatha ingin melayangkan protes tapi ia ditarik oleh seseorang. Pengacara Gio. Akhirnya Agatha dan pengacara Gio berada di dalam mobil untuk berbicara. “tidak ada gunanya berbicara pada polisi. Bukti tidak ada. Mereka juga tidak akan menggap kasus ini serius.” Pengacara Gio memberikan dokumen pada Agatha. Agatha membukanya. Melihat isinya sembari dijelaskan. “Pria itu sudah 2 tahun belakangan mengincar wanita c
Agatha pulang. Berjalan gontai masuk ke dalam penthouse. Tadi.. di rumah sakit. Karena dirinya semuanya malah bertengkar. Orang tua Gio memang berpihak padanya. tapi tidak dengan nenek Gio yang begitu membencinya. Tadi di rumah sakit…. “Jangan lakukan hal itu, Mom.” Aluna lagi-lagi menarik margaret agar menjauh dari Agatha. “Gio bukan anak kecil. Dia dewasa dan dia bisa menentukan apa yang dia inginkan. Dia ingin melindungi Agatha. aku sebagai orang tua tidak bisa mencegahnya dan akan mendukungnya.” “Kamu gila? setelah melihat anakmuu sekarat kamu mengatakan hal ini?” tanya Margaret memegang lengan Aluna. “Sadarlah Aluna, Gio ditusuk pria yang mengincar wanita itu.” margaret menatap Agatha begitu benci. Aluna memijjit keningnya. “Jangan membahas hal ini lebih dulu. Kita tunggu Gio..” “Gio tahu apa yang harus dilakukannya.” Margaret menatap Ethan. “Apa yang kamu lakukan?” “Semua keputusan ada di tangan Gio. Aku sebagai orang tua tidak bisa memaksanya. Begitupun