Gaby menunduk mengambil buku-bukunya. Ia terhenti ketika sebuah tangan mengambil bukunya. Gaby terdiam—untuk sesaat pandangan mereka bertemu. Gaby memutuskan untuk mengabaikannya. “Gabriella..” panggil Haven pelan. Gaby mendongak. “ada yang ingin anda katakan pak?” Haven menggeram pelan. “Gaby bisakah kita mengobrol sebentar?” Gaby menggeleng sembari menatap jam di tangannya. “Sebentar lagi saya harus bertemu dengan klien.” Haven menghela sebentar. “Saya pergi, pak..” Gaby pergi setelah menegaskan hubungan mereka.Ia tidak ingin berhubungan lagi dengan pria itu. apalagi memberi kesempatan pada mereka untuk lebih dekat lagi. Haven menggeleng pelan. Akhirnya ia menangkap pergelangan tangan Gaby. “Tunggu.” “Apa yang anda inginkan?” Gaby mengangkat salah satu alisnya ke atas. Jika bertanya bagaimana perasaannya? Gaby tidak bisa mendeskripsikannya. Yang pasti Haven masih seperti dulu. Tampan. Dan yang pasti juga semakin dewasa. Gaby menyadarkan diri untuk tidak jatuh ke
Damian menepati janjinya. Setelah melakukan perjalanan bisnis, pria itu benar-benar pulang dan langsung menemui Gaby. Gaby menyambut kedatangan kekasihnya itu dengan senang hati. Gaby langsung memeluk Damian ketika membuka pintu penthousenya. “Aku merindukanmu!” ucap Gaby dengan antusias. Damian mengecup beberapa kali puncak kepala Gaby. Gaby menarik Damian masuk. “Kamu beli apa?” tanya Gaby melihat paper bag yang dibawa oleh Damian. Damian menaruh paper bag itu di atas meja. “Apa yaa…” sembari membuka paper bag itu. Gaby tersenyum. Damian membuka paper bag itu dan mengambil satu buah jam tangan. Jam tangan vintage. Bukan jam tangan dengan merek mahal. Melainkan jam tangan kuno yang sepertinya berharga. “Untukku?” tanya Gaby. “Modelnya untuk wanita. Aku beli karena mengingat kamu. karena kamu suka jam tangan.” Damian memasangkan jam tangan itu di tangan Gaby. “Katanya jam tangan ini dulu adalah milik ratu kerajaan. Aku langsung beli karena mengingat ada ratuku yaitu kamu.
“Silahkan tuan putriku.” Damian membukakan pintu. Gaby tersenyum sembari masuk ke dalam mobil. Hari ini ia menggunakan dress cantik berwarna hitam. Sedikit terbuka di bagian dada. Its fine. Kata Damnian yang penting Gaby nyaman. Kalau tidak nyaman nanti bisa ditutup dengan jasnya. Damian menyetir satu tangan dengan satu tangan lagi menggenggam tangan Gaby. Cekrek! Gaby memotret Damian Damian dari samping. “My hot boyfriend,” lirih Gaby sembari terkikik geli. “Post kalau berani.” Gaby berdecak. “Hanya post saja kan? Siapa takut.” “Post wajahku dengan jelas kalau berani.” Gaby menggeleng. “Privat but not secret baby.” Mengecup pipi Damian. Gaby memiliki banyak sekali pengikut, hal itu yang sekarang membuatnya berhati-hati saat memposting sesuatu. Sedangkan Damian sosial medianya dikunci dan hanya diikuti oleh orang terdekat saja. Sehingga pria itu begitu leluasa memposting foto-foto kebersamaan mereka. Damian mengecup punggung tangan Gaby pelan. Tidak m
“Maaf,” lirih Damian. Ia mengecup pelan pipi Gaby dari samping. “Aku meninggalkan kamu terlalu lama.” Gaby mendongak. “Tidak masalah.” Gaby hendak berbicara namun ia ragu. “Kamu…” Ia melirik seorang pria yang kini sibuk berbicara. “Kamu akrab dengannya?” tanya Gaby menunjuk Haven dengan dagunya. “Aku pernah tidak sengaja bertemu dengannya di beberepa acara.” Damian menangkup wajah Gaby. “Aku tahu. Aku pernah dengar kamu pernah menjalin hubungan dengannya.” Damian menghela nafas. “Tapi aku tidak tahu apapun tentangmu dan dia. Karena kamu yang tidak pernah menceritakan apa-apa padaku.” Damian mengusap pipi Gaby. “Sampai saat ini aku hanya menganggapnya sebagai kenalan bisnis. bukan sebagai mantan kekasihku..” Gaby mendongak. ia tahu, ini memang kesalahannya yang tidak memberitahu apapun pada Damian tentang masa lalunya. Tapi ia tidak pernah membahas masa lalu karena ingin fokus pada hubungannya saat ini.“Maaf,” lirih Gaby. “Aku hanya ingin melupakan masa laluku.” Damian men
“Kau masih merokok?” seorang pria yang diam-diam mengikuti Gaby. Gaby menghela nafas. “Jangan mengikutiku sialan!” Gaby berbalik. Ia berjalan ingin pergi dan meninggalkan Haven. Namun pria itu lagi-lagi mencegahnya. Pria itu mencekal pergelangan tangannya. “Aku minta maaf,” ucap Haven. “Untuk apa?” Gaby mendongak. “Atas kesalahanku dulu.” Gaby bersindekap. “Memangnya apa kesalahanmu?” “Aku membuatmu menderita. Aku tidak bisa memberimu kepastian tentang hubungan kita. Maaf, karena aku dulu berniat menjadikanmu mainanku. Maaf karena aku berniat jahat padamu. Dan maaf atas semua tindakanku yang membuatmu sakit hati.” Gaby memejamkan mata sebentar. “Brengsek!” umpat Gaby begitu keras. “Aku menyesal. Tidak seharusnya aku melakukan semua itu padamu.” Haven meraih tangan Gaby dan menggenggamnya. “Maafkan aku Gabriella. Aku janji aku tidak akan menyakitimu..” Gaby mendongak. “KENAPA KAU BARU MINTA MAAF SEKARANG? KEMANA SAJA LIMA TAHU INI?” “Kau tidak tahu betapa hanc
Gaby mengibaskan tangan Haven. “Kau bisa bangun sendiri kan?” tanya Gaby. Ia berdiri dan tidak berniat membantu Haven untuk berdiri. Tapi Haven meraih tangan Gaby untuk berdiri. Hingga Gaby hampir saja oleng jika satu tangan Haven tidak menangkap pinggangnya. “Setidaknya kau harus bertanggung jawab atas lukaku ini.” Gaby menyingkir. Menjaga jarak dengan Haven. “Kau punya banyak uang. Pergilah ke rumah sakit sendiri.” Gaby mengernyit. Ia menatap Haven dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ternyata luka yang dibuatnya cukup banyak juga. Rahang Haven, sudut bibir pria itu berdarah. Untung saja Gaby tidak meninju hidung mancung Haven. Jika iya, sudah pasti akan patah dan pasti akan mendapatkan operasi. “Rasakan…” lirih Gaby sembari tersenyum puas. Haven terdiam. Akhirnya ia bisa melihat senyum Gaby kembali. Senyum natural yang tidak dipaksa sama sekali. “Kenapa kau terdiam?” tanya Gaby menyipitkan mata curiga. Terlalu curiga karena takut Haven pingsan. “Akhirnya aku meliha
Gaby mendorong Haven hingga pangutan bibir mereka bisa terlepas. Jika dibiarkan ia tidak tahu apakah bisa mengendalikan dirinya atau tidak. Gaby mendongak. “Brengsek!” “Panggil aku jika kau membutuhkanku.” Haven mendekat. Reflek Gaby menjaga jarak dari pria itu. “Jangan mendekat.” Haven menghela nafas. jemarinya mengusap sudut bibirnya yang masih terasa perih. “Aku tidak bercanda dengan ucapanku. Kau bisa menjadikanku selingkuhan.” Gaby mengernyit. “Kau gila!” Gaby melangkah pergi. tidak menoleh ke belakang lagi dan memilih untuk segera pergi dari sana. Gaby langsung pulang ke rumahnya dengan perasaan yang kacau. ~~ Pagi harinya. Gaby sudah berangkat ke kantor. Ia tidak langsung masuk melainkan menatap sebuah tas yang berada di atas meja. Tas mewah yang hanya bisa dibeli di luar negeri. Tapi Vina memilikinya? “Oh anda sudah datang,” ucap Vina yang baru saja kembali dari toilet. Vina tersenyum—ia meraih tas itu dan memilih menaruhnya ke bawah. “Tasmu b
Kelas yang sedikit membosankan. Gaby masih menyimak Haven yang berbicara di depan. Banyak mahasiswi yang terpesona dengan ketampanan Haven. Memang tidak bisa diragukan lagi pesona pria matang berusia 35 tahun itu sungguh menggoda. Untungnya Gaby tidak lagi terpesona. Bukan tidak lagi, tapi mencoba untuk tidak terpesona. “Jika masih bingung dengan tugas yang saya berikan, bisa menghubungi saya.” Haven menutup kelas. Tentu saja diakhiri dengan pemberian tugas. Gaby menghela nafas. Gampang! Hanya tugas saja ia bisa menyelesaikannya dalam semalam. Yang terpenting harus ada referensi buku dulu. Gaby pergi ke perpustakaan untuk mencari buku. Ia menyusuri rak-rak untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Haven. Ada satu buku yang letaknya begitu tinggi. Gaby mencoba berjinjit, tapi tetap tidak bisa menggapainya. Sampai ada tubuh yang berada di belakangnya kemudian membantunya mengambil buku itu. “Sudah lima tahu berlalu tapi kau tidak bertumbuh juga.” Haven menyerahkan buku