Gaby mendorong Haven hingga pangutan bibir mereka bisa terlepas. Jika dibiarkan ia tidak tahu apakah bisa mengendalikan dirinya atau tidak. Gaby mendongak. “Brengsek!” “Panggil aku jika kau membutuhkanku.” Haven mendekat. Reflek Gaby menjaga jarak dari pria itu. “Jangan mendekat.” Haven menghela nafas. jemarinya mengusap sudut bibirnya yang masih terasa perih. “Aku tidak bercanda dengan ucapanku. Kau bisa menjadikanku selingkuhan.” Gaby mengernyit. “Kau gila!” Gaby melangkah pergi. tidak menoleh ke belakang lagi dan memilih untuk segera pergi dari sana. Gaby langsung pulang ke rumahnya dengan perasaan yang kacau. ~~ Pagi harinya. Gaby sudah berangkat ke kantor. Ia tidak langsung masuk melainkan menatap sebuah tas yang berada di atas meja. Tas mewah yang hanya bisa dibeli di luar negeri. Tapi Vina memilikinya? “Oh anda sudah datang,” ucap Vina yang baru saja kembali dari toilet. Vina tersenyum—ia meraih tas itu dan memilih menaruhnya ke bawah. “Tasmu b
Kelas yang sedikit membosankan. Gaby masih menyimak Haven yang berbicara di depan. Banyak mahasiswi yang terpesona dengan ketampanan Haven. Memang tidak bisa diragukan lagi pesona pria matang berusia 35 tahun itu sungguh menggoda. Untungnya Gaby tidak lagi terpesona. Bukan tidak lagi, tapi mencoba untuk tidak terpesona. “Jika masih bingung dengan tugas yang saya berikan, bisa menghubungi saya.” Haven menutup kelas. Tentu saja diakhiri dengan pemberian tugas. Gaby menghela nafas. Gampang! Hanya tugas saja ia bisa menyelesaikannya dalam semalam. Yang terpenting harus ada referensi buku dulu. Gaby pergi ke perpustakaan untuk mencari buku. Ia menyusuri rak-rak untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Haven. Ada satu buku yang letaknya begitu tinggi. Gaby mencoba berjinjit, tapi tetap tidak bisa menggapainya. Sampai ada tubuh yang berada di belakangnya kemudian membantunya mengambil buku itu. “Sudah lima tahu berlalu tapi kau tidak bertumbuh juga.” Haven menyerahkan buku
Gaby berlari menyusul Haven. Ia langsung masuk ke dalam mobil pria itu tanpa berkata apa-apa lagi. Haven hanya tersenyum, setelah itu masuk ke dalam mobilnya. Duduk di kursi penumpang. Menjalankan mobilnya pelan. “Mau ke mana?” “Aku tidak tahu rumahmu.” Haven tidak berbohong. Ia memang tidak tahu rumah Gaby. Yang pasti ia sudah mencari tahu tapi tidak menemukannya. Mungkin saja wanita itu memang sengaja menyembunyikannya, agar tidak diketahui orang banyak. Apalagi Gaby juga terkenal di media sosial. “Ke restoran.” “Kau lapar?” Gaby mengangguk. kemudian menoleh dan tersenyum. “Pacarku sudah menunggu di restoran. Kita sudah berencana untuk dinner..” Haven terdiam. Tidak berbicara lagi setelah Gaby mengatakan itu. Gaby bersindekap menatap lurus ke depan. “Sudah cukup hubungan ini. aku tidak ingin terlibat denganmu lagi.” Haven menoleh ke samping sebentar. “Aku tidak mau berhubungan denganmu lagi. Aku akan menganggapmu sebagai dosenku. Tidak
“Aku mencium aroma parfum perempuan di tubuh kamu.” Gaby mendongak. Jemarinya terangkat mengusap dada Damian. “Berkumpul lagi dengan teman-temanmu?” “Tidak.” Damian menggeleng. “Aku tidak sengaja bertemu dengan temanku tadi. Kita mengobrol sebentar.. mungkin itu.” Gaby hanya mengangguk sekilas kemudian mengambil duduk. Damian merengkuh pinggang Gaby. “Apa kamu marah?” “Tidak.” Gaby menggeleng. “Aku lelah.” “Kamu selalu lelah setelah kuliah. Apa yang terjadi?” tanya Damian merangkul pinggang Gaby. Mengusapnya perlahan. Gaby menyandarkan kepalanya di bahu bidang Damian. “Aku hanya.. entahlah. Mungkin karena pekerjaan yang banyak. Aku sedikit kualahan.” “Mau cuti dulu?” Gaby mendongak. “Apakah aku harus melakukannya?” “Bisa saja. cuti satu semester kalau kamu lelah.” Damian tersenyuum. Ia mengusap dahi Gaby pelan. Lantas pria seperti apa yang dicari Gaby. Damian begitu sempurna. Pengertian tentunya. Tampan, kaya… dan cerdas. Lalu kenapa Gaby merasa ia b
Setelah mengganti pakaian masing-masing. Gaby berbaring di atas kasurnya. Namun ia merasa tidak enak karena Damian memilih tidur di luar. Di sofa. padahal ukuran sofanya kecil. Tidak bisa sepenuhnya menampung tubuh Damian yang besar. Padahal ada kamar tamu, tapi katanya letak kamarnya terlalu jauh dengan letak kamar Gaby. Sehingga Damian memilih untuk tidur di sofa dekat kamar Gaby. Gaby merubah posisinya menjadi menyamping. Tapi kemudian ia memutuskan untuk bangun. Benar saja Damian kini berbaring di atas sofa. Ia mendekat. Kemudian berjongkok dan menatap wajah tampan kekasihnya. “Kamu kenapa belum tidur?” tanya Damian kemudian membuka mata. “Aku kepikiran kamu.” Damian tersenyum pelan dan menarik tubuh Gaby hingga jatuh di atasnya. “Tidur saja, jangan pikirkan aku. Besok—” “Besok libur.” Gaby tertawa pelan.” “Mau ke mana?” tanya Damian. “Mau jalan-jalan?” Gaby mengerucutkan bibirnya. “Jangan mengajakku jika tiba-tiba kamu harus bekerja. Jangan membuatk
Lagi-lagi Damian berhasil membuat Gaby tersenyum. Kata-kata indah pria itu membuat dirinya merasa benar-benar dihargai. Gaby mendongak. “Ayo menikah.” “Kamu siap?” tanya Damian. Ia terbelalak karena sungguh kaget dengan ucapan Gaby yang begitu tiba-tiba. Gaby mengangguk. tidak bisa menahan tawanya karena Damian yang terlihat begitu terkejut. Damian menunduk dan mengecup dahi Gaby beberapa detik. Ia bangkit. pria itu pergi ke kamar Gaby—mengambil satu jasnya. Kemudian mengambil satu kotak berwarna hitam, membawanya mendekat ke arah calon istrinya itu. “Ayo menikah..” Damian membuka kotak kecil itu. Sehingga sebuah cincin berwarna silver itu bisa dilihat oleh Gaby. Gaby tidak bisa menahan keterkejutannya. Ia masih diam duduk di atas sofa sembari menatap Damian yang sudah berlutut di hadapannya. “Menikahlah denganku Gabriella Mona Winston.” Gaby menatap Damian sebentar sebelum mengangguk. Damian memasang cincin di jari manis Gaby. Apa yang dipikirkan Gaby selain menerima
Setelah memutuskan untuk menikah. Gaby dan Damian menemui keluarga mereka masing-masing secara bersama. Mereka semua setuju. Apalagi dengan menikahnya mereka berdua, akan membuka jalan bisnis antar perusahaan. Gaby menghela nafas berkali-kali di hadapan cermin. Ia berada di rumah orang tuanya. Menatap dirinya di hadapan cermin yang berada di depan wastafel. “Kau sungguh yakin ingin menikah dengan Damian?” tanya Gio yang tiba-tiba datang. Padahal terkenal sibuk, tapi ketika Gaby memberitahukan rencananya akan menikah, kakaknya itu langsung datang. “Kenapa? kau tidak yakin denganku?” tanya Gaby memutar tubuhnya. ia bersindekap—menatap kakaknya yang juga menatapnya. Namun Gio menatapnya tidak yakin. “Menikah itu keputusan besar…” Gio menghela nafas. “Kau akan bersama Damian selama seumur hidup. Mentalmu harus kuat. Pemikiranmu juga harus dewasa. Selesaikan setiap pertengkaran kalian dengan baik.” “Damian baik. dia pria yang baik, kak.” Gaby mendongak. “Aku bahkan tidak pernah
“Karena aku ingin kamu nanti fokus dengan keluarga kita.” Damian menunduk. “Tapi kalau kamu masih ingin berkarir aku tidak masalah.” Damian mengusap pipi Gaby. “Yang terpenting kita bisa membagi waktu untuk keluarga kita nanti.” Gaby mendongak. “Tapi sebenarnya kamu ingin aku di rumah saja?” Damian terdiam. Gaby menyenggol lengan Damian. “Jawab…” rengeknya. “Ya.” Damian mengangguk. “Tidak usah dipikirkan. Kita fokus saja pada pernikahan kita.” Sejak pembicaraan itu, Gaby terus berpikir haruskah ia menghentikan aktivitas bisnisnya. Kemudian fokus pada rumah. Fokus pada keluarga, anak dan suaminya. Apakah ia bisa? Gaby menghela nafas. Ia mendongak ke atas. Dari balkon kamarnya ia bisa melihat langit yang gelap. Akhirnya ia mengambil vapenya. Menghirupnya dan mengepulkan ke udara begitu saja. “Tidak..” Gaby menggeleng. “Aku harus tetap mengikuti keinginanku sendiri. aku tidak ingin hanya diam di rumah..” Gaby berkacak pinggang. “Perusahaanku sedang berada di puncak. Aku tida