Setelah mengganti pakaian masing-masing. Gaby berbaring di atas kasurnya. Namun ia merasa tidak enak karena Damian memilih tidur di luar. Di sofa. padahal ukuran sofanya kecil. Tidak bisa sepenuhnya menampung tubuh Damian yang besar. Padahal ada kamar tamu, tapi katanya letak kamarnya terlalu jauh dengan letak kamar Gaby. Sehingga Damian memilih untuk tidur di sofa dekat kamar Gaby. Gaby merubah posisinya menjadi menyamping. Tapi kemudian ia memutuskan untuk bangun. Benar saja Damian kini berbaring di atas sofa. Ia mendekat. Kemudian berjongkok dan menatap wajah tampan kekasihnya. “Kamu kenapa belum tidur?” tanya Damian kemudian membuka mata. “Aku kepikiran kamu.” Damian tersenyum pelan dan menarik tubuh Gaby hingga jatuh di atasnya. “Tidur saja, jangan pikirkan aku. Besok—” “Besok libur.” Gaby tertawa pelan.” “Mau ke mana?” tanya Damian. “Mau jalan-jalan?” Gaby mengerucutkan bibirnya. “Jangan mengajakku jika tiba-tiba kamu harus bekerja. Jangan membuatk
Lagi-lagi Damian berhasil membuat Gaby tersenyum. Kata-kata indah pria itu membuat dirinya merasa benar-benar dihargai. Gaby mendongak. “Ayo menikah.” “Kamu siap?” tanya Damian. Ia terbelalak karena sungguh kaget dengan ucapan Gaby yang begitu tiba-tiba. Gaby mengangguk. tidak bisa menahan tawanya karena Damian yang terlihat begitu terkejut. Damian menunduk dan mengecup dahi Gaby beberapa detik. Ia bangkit. pria itu pergi ke kamar Gaby—mengambil satu jasnya. Kemudian mengambil satu kotak berwarna hitam, membawanya mendekat ke arah calon istrinya itu. “Ayo menikah..” Damian membuka kotak kecil itu. Sehingga sebuah cincin berwarna silver itu bisa dilihat oleh Gaby. Gaby tidak bisa menahan keterkejutannya. Ia masih diam duduk di atas sofa sembari menatap Damian yang sudah berlutut di hadapannya. “Menikahlah denganku Gabriella Mona Winston.” Gaby menatap Damian sebentar sebelum mengangguk. Damian memasang cincin di jari manis Gaby. Apa yang dipikirkan Gaby selain menerima
Setelah memutuskan untuk menikah. Gaby dan Damian menemui keluarga mereka masing-masing secara bersama. Mereka semua setuju. Apalagi dengan menikahnya mereka berdua, akan membuka jalan bisnis antar perusahaan. Gaby menghela nafas berkali-kali di hadapan cermin. Ia berada di rumah orang tuanya. Menatap dirinya di hadapan cermin yang berada di depan wastafel. “Kau sungguh yakin ingin menikah dengan Damian?” tanya Gio yang tiba-tiba datang. Padahal terkenal sibuk, tapi ketika Gaby memberitahukan rencananya akan menikah, kakaknya itu langsung datang. “Kenapa? kau tidak yakin denganku?” tanya Gaby memutar tubuhnya. ia bersindekap—menatap kakaknya yang juga menatapnya. Namun Gio menatapnya tidak yakin. “Menikah itu keputusan besar…” Gio menghela nafas. “Kau akan bersama Damian selama seumur hidup. Mentalmu harus kuat. Pemikiranmu juga harus dewasa. Selesaikan setiap pertengkaran kalian dengan baik.” “Damian baik. dia pria yang baik, kak.” Gaby mendongak. “Aku bahkan tidak pernah
“Karena aku ingin kamu nanti fokus dengan keluarga kita.” Damian menunduk. “Tapi kalau kamu masih ingin berkarir aku tidak masalah.” Damian mengusap pipi Gaby. “Yang terpenting kita bisa membagi waktu untuk keluarga kita nanti.” Gaby mendongak. “Tapi sebenarnya kamu ingin aku di rumah saja?” Damian terdiam. Gaby menyenggol lengan Damian. “Jawab…” rengeknya. “Ya.” Damian mengangguk. “Tidak usah dipikirkan. Kita fokus saja pada pernikahan kita.” Sejak pembicaraan itu, Gaby terus berpikir haruskah ia menghentikan aktivitas bisnisnya. Kemudian fokus pada rumah. Fokus pada keluarga, anak dan suaminya. Apakah ia bisa? Gaby menghela nafas. Ia mendongak ke atas. Dari balkon kamarnya ia bisa melihat langit yang gelap. Akhirnya ia mengambil vapenya. Menghirupnya dan mengepulkan ke udara begitu saja. “Tidak..” Gaby menggeleng. “Aku harus tetap mengikuti keinginanku sendiri. aku tidak ingin hanya diam di rumah..” Gaby berkacak pinggang. “Perusahaanku sedang berada di puncak. Aku tida
Kembali ke kantor. Rutinitas Gaby akan terus berulang. Setelah dari kampus. Ia kembali ke kantor karena ada beberapa berkas yang membutuhkan tandatangannya. Ia berjalan santai masuk ke lantai ruangannya. Di sepanjang perjalanan. Ia mencium parfum yang tidak asing. Gaby terdiam di depan meja Vina. “Aku sudah menaruh beberapa berkas yang harus ditandatangani.” Vina baru saja kembali dari bawah. Gaby mengangguk dan menatap sebuah parfum yang berada di atas meja. “Parfummu baru kak?” tanya Gaby. “Sudah lama.” Vina meraih parfum itu. “Aku selalu menggunakan parfum ini… sama dengan merek yang kamu pakai. Tapi berbeda aroma saja.” Gaby mengangguk. “Aku boleh minta sedikit?” Vina menyemprotkan pelan parfum itu di pergelangan tangan Gaby. Gaby mengangguk suka. “Harum..” “Aku selalu mengabaikan aroma ini karena kurang cocok denganku. Tapi ternyata harum juga dan lebih pekat aromanya.” Gaby tahu betul merek mewah yang mengeluarkan parfum limited edision. Harganya bisa sangat mahal.
Gaby mengangguk sembari terkekeh. “Kau tidak percaya?” “Sangat tidak percaya..” Laura menatap Gaby. “Kau sungguh akan menikah? Damian?” Gaby mengangguk. “Kau yakin?” tanyanya lagi. “Gab..” lirihnya. “Menikah itu bukan main-main loh. Kau jangan mengambil keputusan terlalu cepat. Bagaimana kalau nanti kau bosan dengan Damian, kau mau selingkuh?” Gaby menghela nafas. Ia duduk dengan santai. “Aku tidak mungkin bosan. Aku sudah mati rasa dengan laki-laki. Aku tidak bisa suka dengan pria lain. pria yang sering aku temui juga rata-rata bajingan..” “Damian pria yang paling selama ini. aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Apalagi dia tidak pernah membatasiku. Aku senang bersamanya, meskipun aku belum sepenuhnya menyukainya…” lirih Gaby. “Gila kau Gab.” Laura menggeleng. “Bagaimana nanti kalau kalian sudah menikah, tapi kau tidak mencintainya. Kau tetap tidak bisa mencintainya meski kalian sudah menghabiskan banyak waktu?” “Kau menakut-nakuti aku?” tanya Gaby. Laura menggeleng. “
2 jam kemudian. Perlahan tapi pasti. Gaby membuka mata. Melihat sekitar ternyata berada di ruangan bercat kream. Punggung tangannya diinfus. Gaby membuka matanya lebar dan akhirnya mendengar suara ibu dan ayahnya. “Mama… Gaby di mana?” tanya Gaby pelan. “Di rumah sakit. Jangan bergerak dulu sayang.” Aluna mengusap puncak kepala anaknya. Sudah berjam-jam menangisi keadaan anaknya yang babak belur. Gaby menatap mamanya. “Siapa yang membawa Gaby ke sini?” tanyanya. “Ada orang yang menelepon kami. Pria yang memukul kamu sudah ditangkap.” Aluna mengambil tangan Gaby. “Sudah jangan dipikirkan yang penting kamu baik-baik saja.” Aluna mengusap pelan punggung anaknya. “Papa akan buat pria itu mendekam seumur hidup di penjara,” ucap Ethan. “Berani-beraninya menyakiti anakku.” Gio yang menyandarkan di sofa hanya mengangguk saja. “Motifnya katanya tidak diterima di putuskan oleh Gaby.” Ethan berkacak pinggang. “Tidak terima? Sudah bagus putriku yang cantik ini pernah mau
Waktu berlalu. Gaby sudah pulih. Ia akan ikut berangkat ke study trip. Gaby berada di kursi yang sama dengan Firly. Saat ini mereka berada di pesawat dan dalam perjalanan ke Jepang. “Kau sungguh baik-baik saja?” tanya Firly pada Gaby. Gaby memejamkan mata dan mengangguk saja. “Kalau sakit beritahu aku saja.” Firly menatap Gaby lagi karena takut perempuan itu masih sakit tapi ditahan. “Aku baik-baik saja.” Gaby masih memejamkan mata. “Kau dengar dari berita aku sakit?” “Iya, beritamu menyebar begitu cepat. Kau diberitakan di mana-mana. lagipula siapa yang tidak heboh, keturunan Winston diserang pria sampai masuk rumah sakit.” Gaby terkekeh. “Aku tidak sepenuhnya kalah. aku sempat melawan. Dia memukulnya beberapa kali hingga dia jatuh dan kesakitan.” Firly menggeleng pelan. heran dengan Gaby yang membahas kejadian itu dengan tenang. Tanpa merasa trauma sedikitpun. “Kau tidak takut? tidak trauma?” Gaby membuka mata. “Ada trauma yang lebih menyeramkan dari ini…” lirihnya. F