Kembali ke kantor. Rutinitas Gaby akan terus berulang. Setelah dari kampus. Ia kembali ke kantor karena ada beberapa berkas yang membutuhkan tandatangannya. Ia berjalan santai masuk ke lantai ruangannya. Di sepanjang perjalanan. Ia mencium parfum yang tidak asing. Gaby terdiam di depan meja Vina. “Aku sudah menaruh beberapa berkas yang harus ditandatangani.” Vina baru saja kembali dari bawah. Gaby mengangguk dan menatap sebuah parfum yang berada di atas meja. “Parfummu baru kak?” tanya Gaby. “Sudah lama.” Vina meraih parfum itu. “Aku selalu menggunakan parfum ini… sama dengan merek yang kamu pakai. Tapi berbeda aroma saja.” Gaby mengangguk. “Aku boleh minta sedikit?” Vina menyemprotkan pelan parfum itu di pergelangan tangan Gaby. Gaby mengangguk suka. “Harum..” “Aku selalu mengabaikan aroma ini karena kurang cocok denganku. Tapi ternyata harum juga dan lebih pekat aromanya.” Gaby tahu betul merek mewah yang mengeluarkan parfum limited edision. Harganya bisa sangat mahal.
Gaby mengangguk sembari terkekeh. “Kau tidak percaya?” “Sangat tidak percaya..” Laura menatap Gaby. “Kau sungguh akan menikah? Damian?” Gaby mengangguk. “Kau yakin?” tanyanya lagi. “Gab..” lirihnya. “Menikah itu bukan main-main loh. Kau jangan mengambil keputusan terlalu cepat. Bagaimana kalau nanti kau bosan dengan Damian, kau mau selingkuh?” Gaby menghela nafas. Ia duduk dengan santai. “Aku tidak mungkin bosan. Aku sudah mati rasa dengan laki-laki. Aku tidak bisa suka dengan pria lain. pria yang sering aku temui juga rata-rata bajingan..” “Damian pria yang paling selama ini. aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Apalagi dia tidak pernah membatasiku. Aku senang bersamanya, meskipun aku belum sepenuhnya menyukainya…” lirih Gaby. “Gila kau Gab.” Laura menggeleng. “Bagaimana nanti kalau kalian sudah menikah, tapi kau tidak mencintainya. Kau tetap tidak bisa mencintainya meski kalian sudah menghabiskan banyak waktu?” “Kau menakut-nakuti aku?” tanya Gaby. Laura menggeleng. “
2 jam kemudian. Perlahan tapi pasti. Gaby membuka mata. Melihat sekitar ternyata berada di ruangan bercat kream. Punggung tangannya diinfus. Gaby membuka matanya lebar dan akhirnya mendengar suara ibu dan ayahnya. “Mama… Gaby di mana?” tanya Gaby pelan. “Di rumah sakit. Jangan bergerak dulu sayang.” Aluna mengusap puncak kepala anaknya. Sudah berjam-jam menangisi keadaan anaknya yang babak belur. Gaby menatap mamanya. “Siapa yang membawa Gaby ke sini?” tanyanya. “Ada orang yang menelepon kami. Pria yang memukul kamu sudah ditangkap.” Aluna mengambil tangan Gaby. “Sudah jangan dipikirkan yang penting kamu baik-baik saja.” Aluna mengusap pelan punggung anaknya. “Papa akan buat pria itu mendekam seumur hidup di penjara,” ucap Ethan. “Berani-beraninya menyakiti anakku.” Gio yang menyandarkan di sofa hanya mengangguk saja. “Motifnya katanya tidak diterima di putuskan oleh Gaby.” Ethan berkacak pinggang. “Tidak terima? Sudah bagus putriku yang cantik ini pernah mau
Waktu berlalu. Gaby sudah pulih. Ia akan ikut berangkat ke study trip. Gaby berada di kursi yang sama dengan Firly. Saat ini mereka berada di pesawat dan dalam perjalanan ke Jepang. “Kau sungguh baik-baik saja?” tanya Firly pada Gaby. Gaby memejamkan mata dan mengangguk saja. “Kalau sakit beritahu aku saja.” Firly menatap Gaby lagi karena takut perempuan itu masih sakit tapi ditahan. “Aku baik-baik saja.” Gaby masih memejamkan mata. “Kau dengar dari berita aku sakit?” “Iya, beritamu menyebar begitu cepat. Kau diberitakan di mana-mana. lagipula siapa yang tidak heboh, keturunan Winston diserang pria sampai masuk rumah sakit.” Gaby terkekeh. “Aku tidak sepenuhnya kalah. aku sempat melawan. Dia memukulnya beberapa kali hingga dia jatuh dan kesakitan.” Firly menggeleng pelan. heran dengan Gaby yang membahas kejadian itu dengan tenang. Tanpa merasa trauma sedikitpun. “Kau tidak takut? tidak trauma?” Gaby membuka mata. “Ada trauma yang lebih menyeramkan dari ini…” lirihnya. F
Malam hari sampai di hotel. Gaby berada di dalam kamar yang sama dengan Firly. Sudah tidak heran dengen kehebohan wanita itu. “Aku keluar dulu.” Gaby keluar dari kamarnya. “Kau mau ke mana?” teriak Firly. Namun sudah tidak dihiraukan oleh Gaby. Gaby berjalan keluar. Ia malah pergi ke bar yang ada di hotel ini. Setelah itu duduk di pinggir dan memesan minuman. Gaby mengeluarkan vapenya—menghirupnya dan mengeluarkannya ke atas. Ia memejamkan mata dan menyugar rambutnya pelan. “Gaby?” tanya Pak Royin yang tiba-tiba datang dari belakangnya. Gaby menoleh. Ia menunduk sebentar. “Kamu di sini sendiri?” tanya dosennya itu. “Iya pak..” Gaby tersenyum. Dari belakang pak Royin, Haven muncul dan berjalan mendekati mereka. “Jangan hiraukan saya. Kalian bisa menikmati waktu di sini. anggap saja saya tidak ada..” ucap Gaby. Haven menatap Gaby sebentar. Pandangannya tertuju pada minuman dan juga alat vape di atas meja. “Baiklah. Jangan lupa istirahat..” Pak Royin pergi
Gaby menatap Haven yang terdiam dengan ucapannya. Haven mundur satu langkah. Memberikan jarak antara dirinya dan Gaby. “Aku pergi,” ucap Gaby. Bukannya membiarkan Gaby pergi. Haven justru menarik tengkuk Gaby dan mencium bibir wanita itu. Gaby yang awalnya menolak dan berusaha mendorong pria itu. kini malah terdiam. Terbuai dengan ciuman pria itu. Haven mengecup bibir Gaby lembut.. Memberikan kenyaman pada wanita itu. Sampai akhirnya Gaby tidak melawannya dan membuatnya tersenyum di sela-sela ciumannya. Haven mengusap pinggang Gaby dan memperdalam ciumannya. Dugh! “Akh!” Suara orang yang terjatuh membuat Gaby tersadar dan mendorog Haven. Haven dan Gaby menoleh dan menemukan satu orang yang tengah menatap mereka. “Firly…” lirih Gaby. Firly terkekeh. “Teruskan saja.. anggap saja aku tidak ada.” Buru-buru pergi. Firly berlari dan pergi meninggalkan mereka berdua. Lagipula salah siapa ciuman di lorong sehingga orang lain bisa melihat mereka dengan mudah.
Pagi harinya. Pergi ke sebuah tempat bersejarah. Gaby jalan-jalan dengan ceria bersama Firly mereka berkeliling sesekali saling foto. Sampai akhirnya berada di sebuah jembatan kecil. Di sanalah Gaby terdiam sejenak menatap ke bawah. Air yang jernih dan beberapa ikan yang cantik. Setelah memotret ikan-ikan lucu itu. Gaby menoleh ketika Firly memanggilnya. “Kembali Gab!”Gaby memasukkan ponselnya. Namun tiba-tiba ada gerombolan wanita yang mencegahnya pergi. “Gaby tolong foto kami dengan pak Haven.” Belum sempat berbicara untuk menolak. tapi wanita itu sudah memberikan ponselnya pada Gaby. Gaby menghela nafas sebelum mengarahkan kamera ke arah mereka. “Sedikit jauh jangan terlalu dekat.” Oke, kali ini Gaby harus lebih bersabar untuk menghadapi ibu-ibu ini. Ia melangkah lebih jauh untuk memotret mereka. Mengambil angel lebih bagus agar mereka puas.Gaby mundur. Namun pada saat ia mundur sialnya ia malah tersandung dan berakhir terjatuh. “Akh!” “Gabriella!” teriak Haven s
“Hati-hati.” Haven masih memeluk pinggang Gaby. Gaby terdiam. jarak mereka terlalu dekat. Ia bahkan bisa merasakan deru nafas Haven. Haven masih diam. Ia tidak akan menyingkir jika Gaby tidak mendorongnya lebih dulu. Tangannya terangkat mengusap kening Gaby. “Bagaimana kabarmu?” Gaby mengernyit. “Kabarmu selama ini…” lanjut Haven. “Kabarmu setelah kita berpisah. Kabarmu beberapa tahun ini… apa kau bahagia?” Gaby mengepalkan tangannya. “Kenapa kau tanya seperti itu?” “Karena aku..” Haven menatap Gaby. “Aku hancur saat kau pergi.” “Aku menyesal berkali-kali kenapa melepaskanmu begitu saja.” Gaby mendongak. “Lalu kau sadar betapa kau mencintaiku? Betapa aku berharga bagimu? Dan tidak pantas untuk dibuat bahan mainan?” “Kau sadar aku bukan bahan pelampiasanmu? Kau sadar aku bukan bahan untuk melupakan mantanmu itu?” Haven terdiam sejenak. “Aku menyadari semua itu. Maafkan aku Gab. Aku memang bodoh. Kau boleh memakiku lagi. Kau boleh..” “Tidak ada gunanya.” Gaby mendorong pel
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men