Matahari sudah tidur nyenyak di peraduan. Malam hampir mencapai puncak. Keadaan sekitar sangat lengang. Sejak roh Laraswati pergi dengan penyekaran air mata bidadari, tidak ada lagi keramaian pada tengah malam. "Aku bikin kereta kalau kamu siap jadi kuda," kata Cakra. "Ilmu Cipta Saji Paripurna tidak bisa menciptakan makhluk hidup, meski sekedar tumbuhan." Gentong Ketawa menggerutu, "Kira-kira saja saya jadi kuda, Tuan Muda." "Maka itu hidup jangan mau enaknya saja. Aku menggunakan ilmu Cipta Saji dalam keadaan darurat saja, dan tidak ada ilmu yang sempurna yang bisa mengatasi segalanya." "Tapi bisa kan kalau mengatasi perut lapar?" Mereka berdua terjaga di bawah pohon, berlindung dari rintik hujan yang tinggal sisa-sisanya. Mahameru dan Bagaspati duduk di sekitar tenda puteri mahkota. Mereka mengambil alih tugas jaga karena prajurit kelelahan dan banyak yang terluka. Kereta kuda dari Kadipaten Selatan sebentar lagi tiba, tapi Mahameru memutuskan untuk berangkat esok pagi. Ia
"Kau pura-pura tidak tahu saja," kata Cakra. "Kita tunggu apa yang dilakukan putera mahkota dari kerajaan Sihir." "Baik, Tuan Muda," sahut Mahameru. "Bukankah pesan Ksatria Bayangan ia tidak boleh dibunuh?" Cakra tersenyum. "Aku tidak terpaku pada permintaan. Aku bisa melenyapkan siapapun kalau layak untuk ditumpas." "Tapi Ksatria Bayangan adalah guru Tuan Muda. Permintaannya adalah titah yang wajib dilaksanakan muridnya." "Aku tidak cinta buta pada guruku, di mana harus melakukan apapun yang diperintahkan. Aku hanya mengabulkan permintaan yang sesuai nurani dan kebenaran." "Apakah permintaan untuk tidak membunuh Pangeran Bramantana tidak sesuai dengan nurani dan kebenaran?" Mahameru khawatir jika Cakra tidak mengabulkan permintaan itu, gurunya mengamuk dan mengobrak-abrik kerajaan. Apakah ia sanggup mengatasi? "Maka itu kita tunggu apa yang dilakukan," kata Cakra. "Apakah ia layak untuk hidup?" Mahameru mengingatkan, "Pangeran Bramantana adalah anak kandung leluhur kerajaan."
Ratusan ular berbisa bergerak melata di atas tanah menuju ke bawah pohon besar, di mana Cakra dan Gentong Ketawa berada. Ada bagusnya seluruh pasukan pengawal kena sirep. Mereka pasti heboh jika melihat ratusan ular datang menyerbu mencari mangsa. Cakra memanggil Tongkat Petir, "Prok prok prok! Tolong bantu ya!" Tongkat terbuat dari emas murni muncul dari angkasa secara tiba-tiba, memancarkan cahaya kemilau sehingga suasana di sekitar menjadi terang. Cakra menangkap Tongkat Petir dan mengarahkan ke ratusan ular yang bergerak makin dekat, kemudian berkata, "Ganyang mereka." Cakra melemparkan Tongkat Petir untuk menghadang mereka. Tongkat itu berubah wujud jadi ular sangat besar begitu tergeletak di tanah. Bramantana terkejut saat ratusan ular ciptaannya disantap dengan rakus oleh ular besar sampai habis. Selesai menjalankan tugasnya, ular besar melesat ke dalam genggaman Cakra dalam bentuk tongkat. "Aku belum pernah melihat tongkat sihir seindah itu," gumam Bramantana. "Dari man
Mereka bangun menjelang fajar menyingsing. Mahameru dan Bagaspati tampak kaget. "Pulas sekali kita tidur," kata Mahameru. "Apakah hidangan itu mengandung obat tidur?" "Sepertinya begitu, kakang," sahut Bagaspati. "Aku belum pernah tidur senikmat ini." "Kau sudah kena pengaruh ilmu sirep Bramantana," ujar Cakra. "Kebetulan perut kenyang, jadi bablas tidurnya." Mahameru terkejut. Ilmu sirep adalah ilmu andalan kerajaan Sihir sehingga dapat mengalahkan musuh tanpa jatuh korban. Ia bertanya," Lalu ke mana perginya pangeran itu?" Mahameru melihat kereta kosong, dan di sekitar hanya ada Cakra, dan Gentong Ketawa yang tertidur pulas sambil bersandar ke batang pohon. "Aku sudah mengusir mereka pergi," jawab Cakra. "Baiknya kalian berangkat sekarang, supaya senja hari tiba di perkampungan." "Lalu Tuan Muda bagaimana?" tanya Mahameru. "Aku naik si Gemblung, kuda itu tiba saat kalian pergi tidur. Ia sekarang lagi bercinta di balik semak. Alasannya kedinginan." Kuda jantan dan betina itu
Matahari menampakkan sinarnya dan berkilau menyentuh dedaunan yang berembun. Pagi yang sangat indah dengan langit biru tanpa awan. Iring-iringan kereta melaju cukup kencang melintasi jalan berkerikil. "Apakah kereta ini dapat diterawang dari luar?" tanya Dewi Anjani. Puteri mahkota berada di kereta paling depan bersama Cakra dan empat penumpang yang dipisahkan tirai tebal bersulam emas. Ia mengenakan cadar sehingga wajahnya tidak mudah dikenali. "Kereta opera mencurigakan kalau dipasangi benteng gaib." "Semoga tidak ada yang mengenali kanda." Pendekar golongan hitam dan tokoh istana dari kerajaan sekitar semakin banyak berdatangan ke Hutan Gerimis untuk mencari Cakra. Pendekar golongan hitam untuk menuntut balas atas kematian teman mereka, sedangkan tokoh istana ingin menangkap Cakra untuk jadi pangeran di negerinya. "Kita sudah berbuat ceroboh dengan membiarkan para pengintai membuntuti rombongan kerajaan, sehingga akhirnya menyulitkan perjalanan kita," kata Dewi Anjani.
Cakra menggunakan ilmu Tembus Pandang untuk mengetahui perempuan yang berteriak itu. Kemudian ia membuka tirai tebal di belakangnya, dan berkata, "Kau bohong, Gentong." "Maksudnya apa ya, Tuan Muda?" tanya Gentong Ketawa bingung. "Tidak ada angin tidak ada hujan, Tuan Muda tiba-tiba saja menyebut saya bohong?" Ia duduk di belakang bersama Nirmala, di tengah duduk Mahameru dan Bagaspati. "Kau bilang Tuan Puteri adalah puteri mahkota tercantik di seluruh kerajaan yang ada di jazirah ini." "Nyatanya demikian, Tuan Muda." "Buktinya perempuan yang menghadang kita wajahnya cantik luar biasa, tubuhnya sangat seksi, suaranya demikian merdu bagai buluh perindu. Aku yakin ia bukan bidadari karena tidak bersayap." Dewi Anjani memandangnya dengan muak. "Kanda berani memuji si Rinjani di depan calon permaisuri. Kanda sungguh tidak menghormati aku." "Aku tidak memuji," kilah Cakra santai. "Aku hanya menyampaikan apa yang terlihat." Dewi Anjani makin bernafsu dibakar cemburu. "Jadi wajahku
"Jangan senang dulu kau, Rinjani!" Puteri mahkota Nusa Kencana segera membuka jurus baru, lalu melompat terbang ke pucuk pohon, di mana Puteri Rinjani sudah siap menunggu. Dewi Anjani mengirim pukulan sakti bertubi-tubi. Gerakannya sulit ditangkap mata saking cepatnya. Puteri Rinjani sibuk menangkis dan menghindar. Deg! Sebuah pukulan mendarat dengan telak di tubuh Puteri Rinjani. Ia terpental dan jatuh terjengkang di tanah. Bibirnya mengeluarkan darah segar. "Mereka tidak seharusnya bertarung karena dua-duanya pasti terluka," sesal Mahameru. "Cakra seharusnya melerai pertarungan untuk menghindari jatuh korban, karena mereka memperebutkan dirinya." Sementara itu pengeroyokan yang dilakukan Bagaspati dan kawan-kawan belum membuahkan hasil. Lima tokoh muda dari kerajaan Sihir sangat sulit untuk dikalahkan. Mereka bahkan mampu menumbangkan beberapa prajurit sampai tidak sanggup bangkit lagi. Kemudian keanehan terjadi. "Apa yang terjadi dengan Gentong Ketawa?" Bagaspati bengong
Cakra terkejut melihat perubahan di wajah Mahameru. "Ada apa, Paman Patih? Kau kelihatan ketakutan sekali?" "Tuan Muda dan puteri mahkota sebaiknya lekas pergi," kata Mahameru tercekat. "Makhluk bermata satu itu adalah si Setan Jagat, guru Pangeran Tengkorak yang dibunuh Tuan Muda tempo hari. Ia pasti mau menuntut balas atas kematian muridnya." Muridnya saja sangat sakti, pikir Cakra. Setiap pukulannya mengandung hawa racun sangat mematikan. Ia pasti sudah tewas kalau tidak dilindungi air mata bidadari dan air kehidupan yang bercampur di dalam darahnya. Cakra tidak dapat mengandalkan prajurit kerajaan untuk menghadapinya. Mereka bisa mati konyol. "Kau adalah panglima balatentara," kata Cakra. "Kau seharusnya pantang menunjukkan rasa gentar, siapapun musuh yang dihadapi. Jangan membuat pasukanmu kena mental." "Saya tidak takut mati, Tuan Muda," elak Mahameru. "Saya mengkhawatirkan keselamatan Tuan Puteri. Saya tidak bisa melindunginya dari kekejaman si Setan Jagat yang memiliki