"Kau sudah menghancurkan jimatku!" Setan Jagat mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan rasa nyeri di selangkangan. Darah rembes membasahi celana. "Aku minta kau pergi dari hadapanku," kata Cakra sambil duduk di kursi kereta yang terbuka, karena atap dan dinding lepas terbawa angin. "Anggap saja kau memperoleh pengampunan." Setan Jagat tidak sudi untuk pergi, ia berkata dengan murka, "Kau belum menang, anak muda! Aku tidak akan pergi sebelum membalas perbuatanmu!" Makhluk bermata satu mengeluarkan jurus pamungkas yang dimilikinya. Gerakan tangan dan kaki menimbulkan deru hebat, pertanda ia mengerahkan seluruh tenaga dalam. Kedua tangannya secara perlahan berubah ungu. Dewi Anjani yang menunggu di balik pohon tampak gelisah melihat Cakra duduk tenang-tenang saja. Ia tidak tahu jurus apa yang dikeluarkan si Setan Jagat, tapi pasti sangat luar biasa. Mahameru mendatangi tempat persembunyian puteri mahkota, dan berkata, "Setan Jagat adalah tokoh sakti pemilik jurus langka, tap
"Diam di tempat kalian! Daerah ini berbahaya!" Cakra melarang mereka keluar dari persembunyian. Udara di areal bekas pertarungan belum bersih dari racun akibat pukulan Badai Salju dari Setan Jagat. Mereka bisa mati mengenaskan kalau sampai menghirupnya. Cakra melesat terbang dari kursi kereta sambil membawa mahkota bersusun tiga, dan berlari dengan cepat di angkasa laksana burung rajawali memburu mangsa, lalu melayang turun di hadapan mereka. "Di tanganku ini tiara asli tahta kerajaan Timur," kata Cakra. "Barang siapa memakainya, maka ia berhak menjadi raja di Timur." Semua mata memandang takjub. Cakra telah mampu melenyapkan tokoh sakti mandraguna dari kerajaan Timur, pendekar sesat yang paling ditakuti semua ratu, karena pukulan Racun Bumi yang bisa menjadikan mereka nenek renta dalam sekejap. "Mana Gentong Ketawa?" Cakra berdiri dengan gagah dan berwibawa, ekspresi wajahnya memancarkan aura Raja Agung yang membuat seluruh mata tidak berani menatapnya. "Saya Tuan Muda." "Be
Pedati raksasa berbentuk rumah kayu meluncur cukup cepat di jalan berkerikil dengan enam kuda penarik. Guncangan kecil sangat terasa oleh para prajurit yang duduk di alas kayu berkilau. Mereka berpakaian rakyat awam. Keempat petinggi istana berdiri di dekat jendela sambil memperhatikan situasi di luar dengan berpakaian pendekar. "Hutan Gerimis sebentar lagi menjadi hutan yang ramah bagi pengembara," kata Dewi Anjani. "Bagi kabilah juga." Putik buah bermekaran di sepanjang jalan menyuguhkan pemandangan yang menyegarkan mata. Pengelana rimba tidak perlu kuatir kekurangan sumber air dan makanan. Hutan ini menghidangkan segalanya. Seluruh jendela pedati dibuka untuk pergantian angin sehingga di dalam tidak kekurangan udara segar. "Sejuk sekali udaranya," desah puteri mahkota. "Atau karena di sisiku ada kanda?" Cakra sebenarnya ingin membawa puteri mahkota untuk pergi lebih dulu ke perkampungan. Berjalan kaki dengan gin kang tentu lebih cepat sampai. Tapi meninggalkan pengawal melan
"Para bedebah itu seolah tidak ada kapoknya," geram Dewi Anjani. "Mereka pasti ingin menculik dirimu." "Barangkali mereka belum mendengar kabar nasib pendekar sebelumnya," ujar Cakra. "Aku bersyukur bertemu dengan Ksatria Bayangan. Jadi ada bekal untuk mengatasi rintangan yang sebenarnya ingin kuhindari." Puteri mahkota bangkit dari kursinya sambil berkata, "Kau baiknya istirahat saja, biar aku menemani Paman Patih untuk menghadapi mereka." "Aku kira tidak perlu," cegah Cakra. "Cukup Mahameru." "Para bedebah itu adalah tanggung jawabku," sanggah Dewi Anjani. "Aku tidak bisa duduk berleha-leha." "Jangan merasa bertanggung jawab gara-gara diriku calon pangeran. Mereka belum tentu ingin menangkapku." "Mereka pasti ingin menangkapmu!" sambar Dewi Anjani keras kepala. "Untuk itu mereka berada di Hutan Gerimis!" "Berarti mereka berurusan denganku, jadi aku hadapi sendiri." Mahameru memotong, "Biar saya saja, Tuan Muda. Kondisi Tuan Muda belum pulih betul." "Seharusnya kau sudah perg
Dua nenek keriput itu terkejut melihat pemuda yang keluar dari dalam pedati raksasa. Ia tampak sangat gagah dengan pakaian pendekar. "Cakra...!" seru Minarti terpukau. "Apakah aku tidak salah lihat?" Cakra melongo. Ia biasanya tersohor di kalangan perempuan cantik. Sebuah keajaiban ada nenek-nenek mengenal dirinya. "Aku Minarti." Nyai Penghasut Birahi tersenyum. "Kau pasti tidak mengenalku dengan rupa seperti ini." Mereka terakhir kali bertemu di Puri Mentari dalam pagelaran tari striptis. Sebuah pertunjukan yang tidak ingin ditontonnya lagi, kecuali gratis! Cakra hapal suaranya, meski baru dua kali bertemu. Pada pertemuan pertama Minarti menyamar sebagai pengungsi, padahal lagi mengadakan acara ritual sebelum pertunjukan. Sebuah ritual aneh. Beda bangsa beda budaya. "Kau lagi mengadakan acara ritual?" tanya Cakra. "Ada pagelaran di mana lagi? Laris sekali! Tapi ... bukankah di Kadipaten Barat saja kau boleh menari tanpa busana?" "Jadi kau masih ingat pertunjukan itu?" senyum M
Dewi Anjani masuk lagi ke dalam kereta pedati raksasa tanpa ekspresi berlebihan. Ia berusaha menyembunyikan cemburunya di hadapan dayang dan para prajurit. Nirmala heran, ia bertanya, "Kok kembali lagi, Tuan Puteri?" "Tidak ada kejadian apa-apa di luar," jawab Dewi Anjani tenang, seolah tidak mempedulikan bara yang membakar hatinya. "Tuan Muda lagi berbincang dengan Minarti dan Gagak Betina." "Mengapa begitu lama? Ada kepentingan apakah mereka dengan Tuan Muda?" "Bibi Nirmala kan tahu kalau Gagak Betina pernah mempunyai rasa kepada Paman Patih. Nah, sekarang mereka bertemu, senangnya pasti tidak terbayangkan." "Lalu Minarti?" "Aku tidak tahu di mana Tuan Muda pernah bertemu, sehingga mereka kelihatan begitu akrab." Nirmala tahu puteri mahkota memendam kecewa. Keakraban Tuan Muda dan pemilik Puri Mentari pasti diawali dengan pertemuan romantis. Pendekar binal itu adalah penyedia jasa prostitusi untuk kaum bangsawan. Puteri mahkota merasa direndahkan karena bukan perempuan perta
"Kau pikir si Rinjani suka om-om?" teriak Pratiwi. "Maka itu kau puji-puji!" Mahameru terkejut mendengar teriakan Pratiwi yang demikian menggelegar. Ia juga tahu isi percakapan mereka. Puteri mahkota dari kerajaan Selatan kiranya memiliki ilmu Serap Bunyi sangat tinggi sehingga mampu mendengar suara mereka padahal sangat pelan, para prajurit yang duduk di belakang saja tidak mendengar. "Mau apa si Pratiwi menghadang jalan kita?" cetus Dewi Anjani tak habis pikir. "Apakah ia juga menginginkan calon garwaku?" "Baiknya kita keluar," kata Mahameru. "Sungguh di luar dugaan kalau puteri mahkota dari kerajaan Selatan ikut dalam perburuan Raja Agung." Mereka keluar dari pedati raksasa menemui perempuan yang berkacak pinggang di depan kereta. Di antara puteri mahkota, Pratiwi memiliki ilmu kanuragan paling tinggi. Ia mewarisi semua ilmu Ratu Selatan dan pernah berguru pada Setan Jagat. Usianya beberapa tahun lebih tua dari Dewi Anjani, sehingga wajar jadi tokoh muda yang menggetarkan duni
Cakra tiba-tiba saja jadi trending topik di kampung terdekat. Pendekar Lembah Cemara telah mengangkat Gentong Ketawa menjadi penguasa di kerajaan Timur, dan ia berasal dari kampung ini. "Aku sangat bangga meski Gentong Ketawa bukan sanak familiku, bahkan kenal saja tidak," kata penduduk. "Bukti nyata kalau kid slebew sangat pro rakyat." Kebanggaan mereka tidak menjadi penyesalan walau pengangkatan itu berdampak buruk pada situasi kampung. Makhluk di dataran ini ternyata sangat banyak yang tidak suka rakyat kecil jadi penguasa, dengan modus beraneka ragam. Kampung yang semula tenteram dan damai mendadak banyak terjadi kekacauan akibat ulah sekelompok pendekar yang mengaku relawan Pangeran Tengkorak dan Setan Jagat. "Aku minta seluruh pendekar lokal untuk merapatkan barisan," kata kepala dukuh. "Bahu membahu dengan penduduk untuk menjaga keamanan kampung." Kepala dukuh pusing tujuh keliling. Bantuan keamanan dari kadipaten sangat kurang karena luasnya wilayah, semenara bantuan dari