Dua nenek keriput itu terkejut melihat pemuda yang keluar dari dalam pedati raksasa. Ia tampak sangat gagah dengan pakaian pendekar. "Cakra...!" seru Minarti terpukau. "Apakah aku tidak salah lihat?" Cakra melongo. Ia biasanya tersohor di kalangan perempuan cantik. Sebuah keajaiban ada nenek-nenek mengenal dirinya. "Aku Minarti." Nyai Penghasut Birahi tersenyum. "Kau pasti tidak mengenalku dengan rupa seperti ini." Mereka terakhir kali bertemu di Puri Mentari dalam pagelaran tari striptis. Sebuah pertunjukan yang tidak ingin ditontonnya lagi, kecuali gratis! Cakra hapal suaranya, meski baru dua kali bertemu. Pada pertemuan pertama Minarti menyamar sebagai pengungsi, padahal lagi mengadakan acara ritual sebelum pertunjukan. Sebuah ritual aneh. Beda bangsa beda budaya. "Kau lagi mengadakan acara ritual?" tanya Cakra. "Ada pagelaran di mana lagi? Laris sekali! Tapi ... bukankah di Kadipaten Barat saja kau boleh menari tanpa busana?" "Jadi kau masih ingat pertunjukan itu?" senyum M
Dewi Anjani masuk lagi ke dalam kereta pedati raksasa tanpa ekspresi berlebihan. Ia berusaha menyembunyikan cemburunya di hadapan dayang dan para prajurit. Nirmala heran, ia bertanya, "Kok kembali lagi, Tuan Puteri?" "Tidak ada kejadian apa-apa di luar," jawab Dewi Anjani tenang, seolah tidak mempedulikan bara yang membakar hatinya. "Tuan Muda lagi berbincang dengan Minarti dan Gagak Betina." "Mengapa begitu lama? Ada kepentingan apakah mereka dengan Tuan Muda?" "Bibi Nirmala kan tahu kalau Gagak Betina pernah mempunyai rasa kepada Paman Patih. Nah, sekarang mereka bertemu, senangnya pasti tidak terbayangkan." "Lalu Minarti?" "Aku tidak tahu di mana Tuan Muda pernah bertemu, sehingga mereka kelihatan begitu akrab." Nirmala tahu puteri mahkota memendam kecewa. Keakraban Tuan Muda dan pemilik Puri Mentari pasti diawali dengan pertemuan romantis. Pendekar binal itu adalah penyedia jasa prostitusi untuk kaum bangsawan. Puteri mahkota merasa direndahkan karena bukan perempuan perta
"Kau pikir si Rinjani suka om-om?" teriak Pratiwi. "Maka itu kau puji-puji!" Mahameru terkejut mendengar teriakan Pratiwi yang demikian menggelegar. Ia juga tahu isi percakapan mereka. Puteri mahkota dari kerajaan Selatan kiranya memiliki ilmu Serap Bunyi sangat tinggi sehingga mampu mendengar suara mereka padahal sangat pelan, para prajurit yang duduk di belakang saja tidak mendengar. "Mau apa si Pratiwi menghadang jalan kita?" cetus Dewi Anjani tak habis pikir. "Apakah ia juga menginginkan calon garwaku?" "Baiknya kita keluar," kata Mahameru. "Sungguh di luar dugaan kalau puteri mahkota dari kerajaan Selatan ikut dalam perburuan Raja Agung." Mereka keluar dari pedati raksasa menemui perempuan yang berkacak pinggang di depan kereta. Di antara puteri mahkota, Pratiwi memiliki ilmu kanuragan paling tinggi. Ia mewarisi semua ilmu Ratu Selatan dan pernah berguru pada Setan Jagat. Usianya beberapa tahun lebih tua dari Dewi Anjani, sehingga wajar jadi tokoh muda yang menggetarkan duni
Cakra tiba-tiba saja jadi trending topik di kampung terdekat. Pendekar Lembah Cemara telah mengangkat Gentong Ketawa menjadi penguasa di kerajaan Timur, dan ia berasal dari kampung ini. "Aku sangat bangga meski Gentong Ketawa bukan sanak familiku, bahkan kenal saja tidak," kata penduduk. "Bukti nyata kalau kid slebew sangat pro rakyat." Kebanggaan mereka tidak menjadi penyesalan walau pengangkatan itu berdampak buruk pada situasi kampung. Makhluk di dataran ini ternyata sangat banyak yang tidak suka rakyat kecil jadi penguasa, dengan modus beraneka ragam. Kampung yang semula tenteram dan damai mendadak banyak terjadi kekacauan akibat ulah sekelompok pendekar yang mengaku relawan Pangeran Tengkorak dan Setan Jagat. "Aku minta seluruh pendekar lokal untuk merapatkan barisan," kata kepala dukuh. "Bahu membahu dengan penduduk untuk menjaga keamanan kampung." Kepala dukuh pusing tujuh keliling. Bantuan keamanan dari kadipaten sangat kurang karena luasnya wilayah, semenara bantuan dari
Kedatangan kereta pedati raksasa disambut penduduk dengan antusias. Mereka berdiri di sepanjang jalan melambaikan tangan kepada puteri mahkota yang muncul di jendela. Rombongan kerajaan memutuskan untuk tidak menyamar setelah mengetahui kampung di tepi Hutan Gerimis dalam situasi kurang aman. Kehadiran puteri mahkota menghibur rakyat sehingga termotivasi untuk menggalang kekuatan menghadapi para pengacau. Warga kampung sebenarnya kecewa tidak menemukan Cakra dalam rombongan. Pendekar Lembah Cemara telah mengharumkan nama kampung dengan mengangkat Gentong Ketawa jadi penguasa tertinggi di kerajaan Timur. "Kita bermalam di kampung ini," kata Mahameru. "Kuda penarik kereta buruh istirahat setelah seharian melakukan perjalanan." "Ya," sahut Dewi Anjani singkat." "Patik sudah menghubungi penginapan terbaik di kampung ini, sebentar lagi kita sampai." "Aku memilih beristirahat di pedati raksasa untuk memudahkan penjagaan." Mahameru terpaksa menyewa perlengkapan tidur dari penginapan. P
Rasa kecewa begitu kental mewarnai wajah Cakra. Si Gemblung seakan tahu kalau majikannya lagi galau, maka ia berlari sekencang-kencangnya untuk segera mencapai tujuan. Keterlambatan adalah kematian bagi Gentong Ketawa dan kawan-kawan. Tapi butuh empat hari perjalanan tanpa istirahat untuk sampai ke istana kerajaan Timur, dan itu tidak mungkin. Cakra terpaksa berhenti dan beristirahat di bawah pohon rindang sehingga terlindung dari hujan gerimis menjelang dini hari. Mereka masih berada di Hutan Gerimis. "Ini dinner untukmu, Gemblung," kata Cakra sambil menyodorkan beberapa potong pizza dengan toping organ intim kuda betina, dan lemonade satu panci penuh. "Selamat menikmati hidangan." "Yang Mulia tidak makan?" tanya si Gemblung. "Aku belum lapar," jawab Cakra sambil duduk bersandar pada batang pohon. "Aku juga heran kenapa aku belum lapar?" "Karena pikiran Yang Mulia lagi galau dan hati lagi pusing." "Terbalik, Gemblung." "Binatang kebalikan dari manusia, Yang Mulia. Kalau manusi
Cakra melemparkan jubah pusaka ke udara dan menghilang. Kemudian Cakra memusatkan pikiran ke jubah pusaka. Pakaian kebesaran Raja Agung itu melesat turun ke arahnya. "Dasar kakek edan," maki Cakra. "Aku kena prank. Aku bisa memanggilnya dengan cara apapun karena jubah itu milikku. Jangan-jangan Tongkat Petir juga sama." Cakra memfokuskan pikiran ke Tongkat Petir. Tongkat emas itu melesat dari udara dan hinggap di tangannya. "Edan! Benar-benar edan! Kapan-kapan pasti kubalas!" Cakra melemparkan kedua benda pusaka itu ke angkasa. Kemudian ia duduk bersandar ke batang pohon dan memejamkan mata. Ada getaran sambung kalbu dari puteri mahkota. Ia membuka pintu kalbu menerimanya. "Kanda tidur di mana?" tanya Dewi Anjani. "Di bawah pohon." Dewi Anjani kaget. "Banyak rumah penduduk kok tidur di Hutan Gerimis?" "Aku mengambil jalan pintas agar segera sampai di jalur perdagangan internasional." "Aku bermalam di kampung dekat Hutan Gerimis, tidur di dalam pedati." "Di situ kan banyak
Jalur perdagangan internasional adalah jalur bebas dilalui rombongan kabilah dari seluruh negeri. Jalur itu semakin ramai semenjak kematian Pangeran Tengkorak dan gurunya. Di sebuah rumah makan di penginapan mewah tampak ramai didatangi tamu. Mereka adalah rombongan kabilah dari kerajaan Bunian. Mereka membicarakan Gentong Ketawa yang mendadak jadi raja setelah memenangkan pertarungan melawan Setan Jagat dan muridnya. "Aku tidak menyangka pelayan puteri mahkota ternyata sakti mandraguna," kata awak kereta berkepala plontos. "Pantas Ratu Purbasari berani melepas puteri mahkota untuk mengembara dengan pengawalan seadanya." "Yang membunuh mereka bukan Gentong Ketawa," tukas Ranggaslawi, pendekar golongan putih dari Kadipaten Timur. "Kalian salah menyirap kabar." "Yang mengangkatnya jadi raja adalah Pendekar Lembah Cemara," ujar saudara kembarnya, Ranggaslawe. "Tokoh muda yang sangat menggemparkan dunia perkelahian." Mereka berdua adalah bagian dari sedikit tokoh tua yang menguasai