Rasa kecewa begitu kental mewarnai wajah Cakra. Si Gemblung seakan tahu kalau majikannya lagi galau, maka ia berlari sekencang-kencangnya untuk segera mencapai tujuan. Keterlambatan adalah kematian bagi Gentong Ketawa dan kawan-kawan. Tapi butuh empat hari perjalanan tanpa istirahat untuk sampai ke istana kerajaan Timur, dan itu tidak mungkin. Cakra terpaksa berhenti dan beristirahat di bawah pohon rindang sehingga terlindung dari hujan gerimis menjelang dini hari. Mereka masih berada di Hutan Gerimis. "Ini dinner untukmu, Gemblung," kata Cakra sambil menyodorkan beberapa potong pizza dengan toping organ intim kuda betina, dan lemonade satu panci penuh. "Selamat menikmati hidangan." "Yang Mulia tidak makan?" tanya si Gemblung. "Aku belum lapar," jawab Cakra sambil duduk bersandar pada batang pohon. "Aku juga heran kenapa aku belum lapar?" "Karena pikiran Yang Mulia lagi galau dan hati lagi pusing." "Terbalik, Gemblung." "Binatang kebalikan dari manusia, Yang Mulia. Kalau manusi
Cakra melemparkan jubah pusaka ke udara dan menghilang. Kemudian Cakra memusatkan pikiran ke jubah pusaka. Pakaian kebesaran Raja Agung itu melesat turun ke arahnya. "Dasar kakek edan," maki Cakra. "Aku kena prank. Aku bisa memanggilnya dengan cara apapun karena jubah itu milikku. Jangan-jangan Tongkat Petir juga sama." Cakra memfokuskan pikiran ke Tongkat Petir. Tongkat emas itu melesat dari udara dan hinggap di tangannya. "Edan! Benar-benar edan! Kapan-kapan pasti kubalas!" Cakra melemparkan kedua benda pusaka itu ke angkasa. Kemudian ia duduk bersandar ke batang pohon dan memejamkan mata. Ada getaran sambung kalbu dari puteri mahkota. Ia membuka pintu kalbu menerimanya. "Kanda tidur di mana?" tanya Dewi Anjani. "Di bawah pohon." Dewi Anjani kaget. "Banyak rumah penduduk kok tidur di Hutan Gerimis?" "Aku mengambil jalan pintas agar segera sampai di jalur perdagangan internasional." "Aku bermalam di kampung dekat Hutan Gerimis, tidur di dalam pedati." "Di situ kan banyak
Jalur perdagangan internasional adalah jalur bebas dilalui rombongan kabilah dari seluruh negeri. Jalur itu semakin ramai semenjak kematian Pangeran Tengkorak dan gurunya. Di sebuah rumah makan di penginapan mewah tampak ramai didatangi tamu. Mereka adalah rombongan kabilah dari kerajaan Bunian. Mereka membicarakan Gentong Ketawa yang mendadak jadi raja setelah memenangkan pertarungan melawan Setan Jagat dan muridnya. "Aku tidak menyangka pelayan puteri mahkota ternyata sakti mandraguna," kata awak kereta berkepala plontos. "Pantas Ratu Purbasari berani melepas puteri mahkota untuk mengembara dengan pengawalan seadanya." "Yang membunuh mereka bukan Gentong Ketawa," tukas Ranggaslawi, pendekar golongan putih dari Kadipaten Timur. "Kalian salah menyirap kabar." "Yang mengangkatnya jadi raja adalah Pendekar Lembah Cemara," ujar saudara kembarnya, Ranggaslawe. "Tokoh muda yang sangat menggemparkan dunia perkelahian." Mereka berdua adalah bagian dari sedikit tokoh tua yang menguasai
"Chan Che Bok." Cakra terkejut mendengar Puteri Rinjani menyebut nama itu. Penasehat istana adalah pejabat yang harus disingkirkan. Ia sudah membuat kekacauan di wilayah Nusa Kencana dengan tujuan licik. Tapi sungguh tak disangka, Chan Che Bok ternyata kerabat dekat dari Ratu Sihir. Apapun perlakuan terhadapnya akan berdampak pada perang dingin antar kerajaan. "Aku dan Anjani sempat akrab saat sekolah mode di Paris," kata Puteri Rinjani. "Kemudian renggang gara-gara Bramantana berusaha memaksakan cinta, padahal Anjani sudah terikat dengan perjanjian leluhur." "Aku merasa tersanjung," kata Cakra seraya menyelesaikan makan. "Aku berangkat duluan." "Kok duluan? Tujuan kita kan sama." Cakra jadi pusing tujuh keliling ketika Puteri Rinjani memaksa pergi bersama. Sementara itu Dewi Anjani hampir tiap waktu melakukan sambung kalbu. Cakra jadi teringat pada Priscillia yang rutin telpon tiap jam apabila ia bepergian. Padahal cuma pergi ke hutan mencari kayu bakar. Alasannya, siapa tahu d
Warga kadipaten perbatasan sangat mendukung perubahan. Banyak peraturan mencekik rakyat dan menguntungkan kaum bangsawan dan penguasa. Mereka berharap pemimpin baru membawa angin segar. Pro rakyat tidak sekedar slogan untuk menarik simpati. Ketika Pangeran Tengkorak dan Setan Jagat tewas di tangan Pendekar Lembah Cemara, rakyat kadipaten pesta sampai pagi. Namun saat terbangun siang hari, mereka dihadapkan pada kenyataan; tidak ada pembesar dan kroni istana yang pantas menduduki tahta untuk mengisi status quo. Mereka hanya beda penampilan, sedangkan otak sama. Semangat mereka hadir kembali tatkala terdengar kabar tentang kemunculan Raja Agung dari Lembah Cemara, dan mengangkat Gentong Ketawa untuk menjadi raja di kerajaan Timur. "Aku senang mendapat kabar rakyat menyambut kedatangannya dengan gegap gempita," kata Cakra. "Adipati juga bahkan turun ke jalan." Adipati kadipaten perbatasan sudah muak dengan kebijakan istana yang banyak merugikan warganya. Pembesar istana mendis
"Kau tidak tahu risikonya," gerutu Puteri Rinjani sambil naik ke atas pelana dan menghela kuda meninggalkan rumah makan. "Ngomong seenak-enaknya." "Kamu sudah sering berkunjung ke negeri manusia," kata Cakra. "Masa baru tahu sekarang kalau manusia suka seenak-enaknya?" "Aku baru ketemu manusia kayak kamu. Aku diam bukannya mikir, malah makin kurang ajar." "Aku salah banget ya?" balik Cakra santai. "Sampai segitu sewotnya?" "Sebutan istri bukan candaan di jazirah ini. Saat kamu bilang aku dan kelima pengawal adalah istrimu, maka benar-benar begitu kenyataannya. Aku tidak mau kena karma dari Raja Sekalian Alam." "Yang ngomong kan aku, masa kamu yang kena karma?" "Karena aku obyeknya." "Oh, jadi di sini obyeknya yang kena tulah, bukan pelakunya?" "Pelakunya wajar kena juga." "Terus aku mesti bagaimana biar kalian tidak kena karma?" "Kamu harus mengadakan ritual penyatuan dengan kami." Cakra melotot. Masa enam-enamnya jadi istri? Alamak! Sungguh kearifan lokal yang sangat memanj
Jalan untuk pulang ke rumah semakin terjal. Cakra menghadapi masalah baru gara-gara bicara sembarangan. Puteri Rinjani tidak mau menunggu tujuh purnama untuk menghilangkan karma dan kutukan. "Urusanku dengan Anjani saja belum selesai," gerutu Cakra. "Selesaikan dulu urusanmu dengannya." "Setelah itu kita melakukan ritual penyatuan?" "Aku sudah bilang kita berendam di Sungai Suci." "Berendam di Sungai Suci semalaman berat banget." "Tahu berat banget, kenapa ngomong sembarangan?" "Kamu itu suka ngulang-ngulang apa yang sudah kejadian. Lama-lama aku jadi ilfeel." "Bodo." "Apakah ada batas waktu untuk jadi pasangan suami istri gara-gara itu?" "Aku tidak mau berbatas waktu. Harapan setiap puteri mahkota adalah satu pangeran untuk selamanya. Tapi tidak mungkin, karena si Anjani lebih dulu hadir di dalam hidupmu. Kau bisa bayangkan bagaimana beratnya hidupku nanti." "Hidupku juga berat." "Kau tinggal mengadakan ritual penyatuan, tidur satu malam, lalu bebas pergi." "Kau pikir i
"Salam sejahtera untuk paduka raja! Semoga panjang umur!" Gentong Ketawa disambut dengan gegap gempita oleh rakyat yang menginginkan perubahan di sepanjang jalan menuju istana. Puncak penyambutan terjadi di Kotaraja. Masyarakat datang berduyun-duyun dan berdiri berjejer di pinggir jalan mengucapkan selamat datang kepada Gentong Ketawa dan rombongan. Ia sampai pegal menganggukkan kepala. Mereka berharap banyak pada raja baru. Gentong Ketawa tersenyum seakan sangat paham penderitaan mereka. Padahal ia menyembunyikan kebingungannya bagaimana menanggulangi persoalan yang demikian menumpuk. "Tugasku selama ini membuat puteri mahkota gembira," kata Gentong Ketawa pelan. "Tentu berbeda dengan membuat rakyat gembira. Sementara aku akan melawak untuk menyenangkan mereka. Mendingan raja jadi pelawak ketimbang pelawak jadi raja." Puteri bangsawan berbondong-bondong keluar dengan dandanan terbaik dan melambaikan tangan menebar pesona. Gentong Ketawa serasa jadi Song Joong Ki, aktor favoritny