Jalan untuk pulang ke rumah semakin terjal. Cakra menghadapi masalah baru gara-gara bicara sembarangan. Puteri Rinjani tidak mau menunggu tujuh purnama untuk menghilangkan karma dan kutukan. "Urusanku dengan Anjani saja belum selesai," gerutu Cakra. "Selesaikan dulu urusanmu dengannya." "Setelah itu kita melakukan ritual penyatuan?" "Aku sudah bilang kita berendam di Sungai Suci." "Berendam di Sungai Suci semalaman berat banget." "Tahu berat banget, kenapa ngomong sembarangan?" "Kamu itu suka ngulang-ngulang apa yang sudah kejadian. Lama-lama aku jadi ilfeel." "Bodo." "Apakah ada batas waktu untuk jadi pasangan suami istri gara-gara itu?" "Aku tidak mau berbatas waktu. Harapan setiap puteri mahkota adalah satu pangeran untuk selamanya. Tapi tidak mungkin, karena si Anjani lebih dulu hadir di dalam hidupmu. Kau bisa bayangkan bagaimana beratnya hidupku nanti." "Hidupku juga berat." "Kau tinggal mengadakan ritual penyatuan, tidur satu malam, lalu bebas pergi." "Kau pikir i
"Salam sejahtera untuk paduka raja! Semoga panjang umur!" Gentong Ketawa disambut dengan gegap gempita oleh rakyat yang menginginkan perubahan di sepanjang jalan menuju istana. Puncak penyambutan terjadi di Kotaraja. Masyarakat datang berduyun-duyun dan berdiri berjejer di pinggir jalan mengucapkan selamat datang kepada Gentong Ketawa dan rombongan. Ia sampai pegal menganggukkan kepala. Mereka berharap banyak pada raja baru. Gentong Ketawa tersenyum seakan sangat paham penderitaan mereka. Padahal ia menyembunyikan kebingungannya bagaimana menanggulangi persoalan yang demikian menumpuk. "Tugasku selama ini membuat puteri mahkota gembira," kata Gentong Ketawa pelan. "Tentu berbeda dengan membuat rakyat gembira. Sementara aku akan melawak untuk menyenangkan mereka. Mendingan raja jadi pelawak ketimbang pelawak jadi raja." Puteri bangsawan berbondong-bondong keluar dengan dandanan terbaik dan melambaikan tangan menebar pesona. Gentong Ketawa serasa jadi Song Joong Ki, aktor favoritny
"Kita menginap di sini, Paman Patih." Dewi Anjani dan rombongan tiba di penginapan pinggiran Kotaraja. Mereka berdandan layaknya pelancong. "Sudah cukup malam untuk masuk Kotaraja." "Baiknya begitu, Tuan Puteri," kata Mahameru. "Untuk menghindari kecurigaan petugas pintu masuk." Penginapan itu sangat megah dan indah dengan lampu lampion berwarna-warni. Di lantai bawah terdapat restoran dengan interior unik dan antik. Tamu kebanyakan pelancong dari mancanegara berkantong tebal karena tarifnya sangat mahal. Ada beberapa tamu kongkow-kongkow sambil menikmati hidangan makan malam dengan menu spesial dari bangsa manusia, yang menjadi daya tarik utama penginapan. Puteri Rinjani dan kelima pengawalnya duduk satu meja di dekat pintu masuk. "Ahai, puteri manja sudah tiba rupanya," seru puteri mahkota dari kerajaan Sihir. "Tamasya apa pindahan bawa rombongan banyak banget?" "Puteri gengges lagi apa di mari?" sindir Dewi Anjani sinis. "Biasanya menjajakan diri di kawasan kuliner." "Nama
Gentong Ketawa berkuda didampingi Sepasang Gagak Putih dan kawan-kawan. Penduduk Kotaraja berjejer sepanjang jalan mengelu-elukan sang raja. "Selamat datang, Yang Mulia!" Teriakan kegembiraan berkumandang menyambut kedatangan raja. Mereka begitu berharap akan adanya pembaharuan. Mereka sudah lama ingin terbebas dari oligarki yang sangat menyengsarakan rakyat kecil. Sebuah harapan yang terbang menjadi mimpi karena tak ada gerakan untuk memperjuangkan. Kekejaman balatentara menangkap dan mengeksekusi rakyat yang bersuara vokal dengan dibungkus bermacam predikat untuk melegalkan, serta dukungan penuh dari para penjilat istana, membuat keadilan berhembus seperti angin, dan benih-benih baru mati sebelum berkembang. "Semoga sejahtera, Yang Mulia!" "Panjang Umur, Yang Mulia!" Saat jarak ke pintu gerbang istana tinggal beberapa ratus hasta lagi, jalan mulai sepi, tidak ada masyarakat menyambut. "Istana seolah rumah hantu yang sangat menakutkan bagi mereka," kata Gentong Ketawa
Suara bergemuruh mengangkasa dari ungkapan kaget ribuan prajurit. Gentong Ketawa memeriksa mahkota tiara. Wajahnya mendadak pucat. "Mereka telah menukarnya...!" Pendekar Tak Bernama dan teman-temannya terkejut. Kecuali Gagak Jantan, ia tersenyum dan memandang Tanurangga. "Bagaimana kau bisa yakin kalau mahkota yang dipakai sahabatku adalah palsu?" tanya Gagak Jantan. "Padahal mahkota itu adalah yang dipakai Setan Jagat saat terbunuh?" Tanurangga terdiam merasa terpojok. "Saat itu Setan Jagat adalah raja yang menggantikan muridnya," kata Gagak Jantan. "Kau tahu apa hukumannya memberikan mahkota palsu kepada sang raja? Hukuman gantung bagi pejabat yang bertanggung jawab terhadap keamanan mahkota!" Suara bergemuruh prajurit kembali berkumandang membenarkan ucapannya. Tanurangga pucat seketika. Ia menoleh ke arah penasehat istana untuk minta bantuan. Pria tinggi kurus itu batuk-batuk sebentar, lalu menjawab, "Begini, sebelum pergi menuntut balas atas kematian muridnya, Setan Jagat
"Hemat tenaga kalian! Jangan terpancing!" Gagak Jantan mengingatkan para sahabatnya agar jangan terlalu bernafsu karena mereka baru menghadapi pendekar kroco. Ia tahu tokoh utama istana belum keluar dan ada beberapa yang membuat mereka harus memeras keringat. Setelah pendekar kelas teri menghilang, beberapa tokoh utama mulai keluar dan langsung menyerang dengan jurus andalan. Sementara si Golok Santet dan empat kawannya sibuk melayani prajurit yang tak henti berdatangan. Mereka sulit mengeluarkan pukulan sakti karena medan pertarungan tidak memungkinkan. "Aku hadapi mereka! Kau cepat masuk!" Gagak Jantan menghajar musuh yang bermunculan dari dalam dengan gagah berani untuk memberi kesempatan kepada Pendekar Tak Bernama menerobos masuk lewat jendela. Gagak Betina sibuk meladeni beberapa pendekar perempuan berilmu tinggi. "Kita susah untuk masuk," keluh Gagak Betina. "Di dalam banyak pendekar bayaran menunggu giliran." Tanurangga rupanya sudah menyiapkan strategi secara
Pasukan pemanah bermunculan di atas wuwungan di beberapa bangunan. Lalu puluhan panah melesat dari berbagai arah menebar ancaman maut yang sulit dihindari. Sedikit lagi mencapai sasaran, Cakra mengibaskan jubah menghalau serangan. Seluruh mata melotot saat panah-panah itu tidak berjatuhan tapi seolah memantul dan melesat kembali ke arah pemiliknya. Cakra sendiri takjub menyaksikan jubah Raja Agung mampu mengembalikan serangan. Ia memanfaatkan momen itu untuk menggertak mereka. "Jendral Perang!" teriak Cakra. "Kalau kau biarkan pasukanmu, maka kupastikan semakin banyak korban berjatuhan! Kau seharusnya sudah bisa mengambil sikap siapa raja yang mesti diumumkan!" "Tuan Muda!" seru Gentong Ketawa. "Adakah bukti nyata kalau mahkota yang diberikan padaku adalah mahkota yang dipakai Setan Jagat, untuk meyakinkan Jendral Perang dan semua prajurit?" "Ucapanku adalah bukti nyata, Raja Gentong!" "Maafkan aku sudah lancang, Tuan Muda!" "Tapi untuk meyakinkan Jendral Perang dan semua praju
Penculikan di Kampung Sedayu semakin merajalela. Prajurit kadipaten seakan tidak berdaya mengatasi keadaan. Padahal pelaku hanya satu, namun licin bagai belut. Tamu penginapan pun jadi incaran. Penculik bertopeng seolah meledek dengan menculik perempuan di depan mata petugas patroli. Pelancong banyak yang menggagalkan rencana berlibur di kampung yang terkenal dengan keindahan alamnya itu. Penginapan jadi sepi. "Kalau begini caranya usahaku bisa gulung tikar," gerutu pemilik penginapan bernama Indragiri di depan para pembesar kampung. "Prajurit kerajaan sungguh tak berguna." Penginapan Indragiri adalah penginapan terbesar dan termewah di Kampung Sedayu, terletak di tepi Hutan Gerimis. Penginapan paling romantis untuk pasangan bulan madu, dan ramai dikunjungi tamu. Tapi beberapa hari ini kamar hanya terisi separuh, padahal penginapan terbilang aman. Ia sudah menyewa beberapa pendekar bayaran berilmu tinggi. Beberapa penginapan sudah sepi pengunjung meski tarif sewa sudah diskon.