"Chan Che Bok." Cakra terkejut mendengar Puteri Rinjani menyebut nama itu. Penasehat istana adalah pejabat yang harus disingkirkan. Ia sudah membuat kekacauan di wilayah Nusa Kencana dengan tujuan licik. Tapi sungguh tak disangka, Chan Che Bok ternyata kerabat dekat dari Ratu Sihir. Apapun perlakuan terhadapnya akan berdampak pada perang dingin antar kerajaan. "Aku dan Anjani sempat akrab saat sekolah mode di Paris," kata Puteri Rinjani. "Kemudian renggang gara-gara Bramantana berusaha memaksakan cinta, padahal Anjani sudah terikat dengan perjanjian leluhur." "Aku merasa tersanjung," kata Cakra seraya menyelesaikan makan. "Aku berangkat duluan." "Kok duluan? Tujuan kita kan sama." Cakra jadi pusing tujuh keliling ketika Puteri Rinjani memaksa pergi bersama. Sementara itu Dewi Anjani hampir tiap waktu melakukan sambung kalbu. Cakra jadi teringat pada Priscillia yang rutin telpon tiap jam apabila ia bepergian. Padahal cuma pergi ke hutan mencari kayu bakar. Alasannya, siapa tahu d
Warga kadipaten perbatasan sangat mendukung perubahan. Banyak peraturan mencekik rakyat dan menguntungkan kaum bangsawan dan penguasa. Mereka berharap pemimpin baru membawa angin segar. Pro rakyat tidak sekedar slogan untuk menarik simpati. Ketika Pangeran Tengkorak dan Setan Jagat tewas di tangan Pendekar Lembah Cemara, rakyat kadipaten pesta sampai pagi. Namun saat terbangun siang hari, mereka dihadapkan pada kenyataan; tidak ada pembesar dan kroni istana yang pantas menduduki tahta untuk mengisi status quo. Mereka hanya beda penampilan, sedangkan otak sama. Semangat mereka hadir kembali tatkala terdengar kabar tentang kemunculan Raja Agung dari Lembah Cemara, dan mengangkat Gentong Ketawa untuk menjadi raja di kerajaan Timur. "Aku senang mendapat kabar rakyat menyambut kedatangannya dengan gegap gempita," kata Cakra. "Adipati juga bahkan turun ke jalan." Adipati kadipaten perbatasan sudah muak dengan kebijakan istana yang banyak merugikan warganya. Pembesar istana mendis
"Kau tidak tahu risikonya," gerutu Puteri Rinjani sambil naik ke atas pelana dan menghela kuda meninggalkan rumah makan. "Ngomong seenak-enaknya." "Kamu sudah sering berkunjung ke negeri manusia," kata Cakra. "Masa baru tahu sekarang kalau manusia suka seenak-enaknya?" "Aku baru ketemu manusia kayak kamu. Aku diam bukannya mikir, malah makin kurang ajar." "Aku salah banget ya?" balik Cakra santai. "Sampai segitu sewotnya?" "Sebutan istri bukan candaan di jazirah ini. Saat kamu bilang aku dan kelima pengawal adalah istrimu, maka benar-benar begitu kenyataannya. Aku tidak mau kena karma dari Raja Sekalian Alam." "Yang ngomong kan aku, masa kamu yang kena karma?" "Karena aku obyeknya." "Oh, jadi di sini obyeknya yang kena tulah, bukan pelakunya?" "Pelakunya wajar kena juga." "Terus aku mesti bagaimana biar kalian tidak kena karma?" "Kamu harus mengadakan ritual penyatuan dengan kami." Cakra melotot. Masa enam-enamnya jadi istri? Alamak! Sungguh kearifan lokal yang sangat memanj
Jalan untuk pulang ke rumah semakin terjal. Cakra menghadapi masalah baru gara-gara bicara sembarangan. Puteri Rinjani tidak mau menunggu tujuh purnama untuk menghilangkan karma dan kutukan. "Urusanku dengan Anjani saja belum selesai," gerutu Cakra. "Selesaikan dulu urusanmu dengannya." "Setelah itu kita melakukan ritual penyatuan?" "Aku sudah bilang kita berendam di Sungai Suci." "Berendam di Sungai Suci semalaman berat banget." "Tahu berat banget, kenapa ngomong sembarangan?" "Kamu itu suka ngulang-ngulang apa yang sudah kejadian. Lama-lama aku jadi ilfeel." "Bodo." "Apakah ada batas waktu untuk jadi pasangan suami istri gara-gara itu?" "Aku tidak mau berbatas waktu. Harapan setiap puteri mahkota adalah satu pangeran untuk selamanya. Tapi tidak mungkin, karena si Anjani lebih dulu hadir di dalam hidupmu. Kau bisa bayangkan bagaimana beratnya hidupku nanti." "Hidupku juga berat." "Kau tinggal mengadakan ritual penyatuan, tidur satu malam, lalu bebas pergi." "Kau pikir i
"Salam sejahtera untuk paduka raja! Semoga panjang umur!" Gentong Ketawa disambut dengan gegap gempita oleh rakyat yang menginginkan perubahan di sepanjang jalan menuju istana. Puncak penyambutan terjadi di Kotaraja. Masyarakat datang berduyun-duyun dan berdiri berjejer di pinggir jalan mengucapkan selamat datang kepada Gentong Ketawa dan rombongan. Ia sampai pegal menganggukkan kepala. Mereka berharap banyak pada raja baru. Gentong Ketawa tersenyum seakan sangat paham penderitaan mereka. Padahal ia menyembunyikan kebingungannya bagaimana menanggulangi persoalan yang demikian menumpuk. "Tugasku selama ini membuat puteri mahkota gembira," kata Gentong Ketawa pelan. "Tentu berbeda dengan membuat rakyat gembira. Sementara aku akan melawak untuk menyenangkan mereka. Mendingan raja jadi pelawak ketimbang pelawak jadi raja." Puteri bangsawan berbondong-bondong keluar dengan dandanan terbaik dan melambaikan tangan menebar pesona. Gentong Ketawa serasa jadi Song Joong Ki, aktor favoritny
"Kita menginap di sini, Paman Patih." Dewi Anjani dan rombongan tiba di penginapan pinggiran Kotaraja. Mereka berdandan layaknya pelancong. "Sudah cukup malam untuk masuk Kotaraja." "Baiknya begitu, Tuan Puteri," kata Mahameru. "Untuk menghindari kecurigaan petugas pintu masuk." Penginapan itu sangat megah dan indah dengan lampu lampion berwarna-warni. Di lantai bawah terdapat restoran dengan interior unik dan antik. Tamu kebanyakan pelancong dari mancanegara berkantong tebal karena tarifnya sangat mahal. Ada beberapa tamu kongkow-kongkow sambil menikmati hidangan makan malam dengan menu spesial dari bangsa manusia, yang menjadi daya tarik utama penginapan. Puteri Rinjani dan kelima pengawalnya duduk satu meja di dekat pintu masuk. "Ahai, puteri manja sudah tiba rupanya," seru puteri mahkota dari kerajaan Sihir. "Tamasya apa pindahan bawa rombongan banyak banget?" "Puteri gengges lagi apa di mari?" sindir Dewi Anjani sinis. "Biasanya menjajakan diri di kawasan kuliner." "Nama
Gentong Ketawa berkuda didampingi Sepasang Gagak Putih dan kawan-kawan. Penduduk Kotaraja berjejer sepanjang jalan mengelu-elukan sang raja. "Selamat datang, Yang Mulia!" Teriakan kegembiraan berkumandang menyambut kedatangan raja. Mereka begitu berharap akan adanya pembaharuan. Mereka sudah lama ingin terbebas dari oligarki yang sangat menyengsarakan rakyat kecil. Sebuah harapan yang terbang menjadi mimpi karena tak ada gerakan untuk memperjuangkan. Kekejaman balatentara menangkap dan mengeksekusi rakyat yang bersuara vokal dengan dibungkus bermacam predikat untuk melegalkan, serta dukungan penuh dari para penjilat istana, membuat keadilan berhembus seperti angin, dan benih-benih baru mati sebelum berkembang. "Semoga sejahtera, Yang Mulia!" "Panjang Umur, Yang Mulia!" Saat jarak ke pintu gerbang istana tinggal beberapa ratus hasta lagi, jalan mulai sepi, tidak ada masyarakat menyambut. "Istana seolah rumah hantu yang sangat menakutkan bagi mereka," kata Gentong Ketawa
Suara bergemuruh mengangkasa dari ungkapan kaget ribuan prajurit. Gentong Ketawa memeriksa mahkota tiara. Wajahnya mendadak pucat. "Mereka telah menukarnya...!" Pendekar Tak Bernama dan teman-temannya terkejut. Kecuali Gagak Jantan, ia tersenyum dan memandang Tanurangga. "Bagaimana kau bisa yakin kalau mahkota yang dipakai sahabatku adalah palsu?" tanya Gagak Jantan. "Padahal mahkota itu adalah yang dipakai Setan Jagat saat terbunuh?" Tanurangga terdiam merasa terpojok. "Saat itu Setan Jagat adalah raja yang menggantikan muridnya," kata Gagak Jantan. "Kau tahu apa hukumannya memberikan mahkota palsu kepada sang raja? Hukuman gantung bagi pejabat yang bertanggung jawab terhadap keamanan mahkota!" Suara bergemuruh prajurit kembali berkumandang membenarkan ucapannya. Tanurangga pucat seketika. Ia menoleh ke arah penasehat istana untuk minta bantuan. Pria tinggi kurus itu batuk-batuk sebentar, lalu menjawab, "Begini, sebelum pergi menuntut balas atas kematian muridnya, Setan Jagat