"Jangan senang dulu kau, Rinjani!" Puteri mahkota Nusa Kencana segera membuka jurus baru, lalu melompat terbang ke pucuk pohon, di mana Puteri Rinjani sudah siap menunggu. Dewi Anjani mengirim pukulan sakti bertubi-tubi. Gerakannya sulit ditangkap mata saking cepatnya. Puteri Rinjani sibuk menangkis dan menghindar. Deg! Sebuah pukulan mendarat dengan telak di tubuh Puteri Rinjani. Ia terpental dan jatuh terjengkang di tanah. Bibirnya mengeluarkan darah segar. "Mereka tidak seharusnya bertarung karena dua-duanya pasti terluka," sesal Mahameru. "Cakra seharusnya melerai pertarungan untuk menghindari jatuh korban, karena mereka memperebutkan dirinya." Sementara itu pengeroyokan yang dilakukan Bagaspati dan kawan-kawan belum membuahkan hasil. Lima tokoh muda dari kerajaan Sihir sangat sulit untuk dikalahkan. Mereka bahkan mampu menumbangkan beberapa prajurit sampai tidak sanggup bangkit lagi. Kemudian keanehan terjadi. "Apa yang terjadi dengan Gentong Ketawa?" Bagaspa
Cakra terkejut melihat perubahan di wajah Mahameru. "Ada apa, Paman Patih? Kau kelihatan ketakutan sekali?" "Tuan Muda dan puteri mahkota sebaiknya lekas pergi," kata Mahameru tercekat. "Makhluk bermata satu itu adalah si Setan Jagat, guru Pangeran Tengkorak yang dibunuh Tuan Muda tempo hari. Ia pasti mau menuntut balas atas kematian muridnya." Muridnya saja sangat sakti, pikir Cakra. Setiap pukulannya mengandung hawa racun sangat mematikan. Ia pasti sudah tewas kalau tidak dilindungi air mata bidadari dan air kehidupan yang bercampur di dalam darahnya. Cakra tidak dapat mengandalkan prajurit kerajaan untuk menghadapinya. Mereka bisa mati konyol. "Kau adalah panglima balatentara," kata Cakra. "Kau seharusnya pantang menunjukkan rasa gentar, siapapun musuh yang dihadapi. Jangan membuat pasukanmu kena mental." "Saya tidak takut mati, Tuan Muda," elak Mahameru. "Saya mengkhawatirkan keselamatan Tuan Puteri. Saya tidak bisa melindunginya dari kekejaman si Setan Jagat yang memiliki
"Kau sudah menghancurkan jimatku!" Setan Jagat mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan rasa nyeri di selangkangan. Darah rembes membasahi celana. "Aku minta kau pergi dari hadapanku," kata Cakra sambil duduk di kursi kereta yang terbuka, karena atap dan dinding lepas terbawa angin. "Anggap saja kau memperoleh pengampunan." Setan Jagat tidak sudi untuk pergi, ia berkata dengan murka, "Kau belum menang, anak muda! Aku tidak akan pergi sebelum membalas perbuatanmu!" Makhluk bermata satu mengeluarkan jurus pamungkas yang dimilikinya. Gerakan tangan dan kaki menimbulkan deru hebat, pertanda ia mengerahkan seluruh tenaga dalam. Kedua tangannya secara perlahan berubah ungu. Dewi Anjani yang menunggu di balik pohon tampak gelisah melihat Cakra duduk tenang-tenang saja. Ia tidak tahu jurus apa yang dikeluarkan si Setan Jagat, tapi pasti sangat luar biasa. Mahameru mendatangi tempat persembunyian puteri mahkota, dan berkata, "Setan Jagat adalah tokoh sakti pemilik jurus langka, tap
"Diam di tempat kalian! Daerah ini berbahaya!" Cakra melarang mereka keluar dari persembunyian. Udara di areal bekas pertarungan belum bersih dari racun akibat pukulan Badai Salju dari Setan Jagat. Mereka bisa mati mengenaskan kalau sampai menghirupnya. Cakra melesat terbang dari kursi kereta sambil membawa mahkota bersusun tiga, dan berlari dengan cepat di angkasa laksana burung rajawali memburu mangsa, lalu melayang turun di hadapan mereka. "Di tanganku ini tiara asli tahta kerajaan Timur," kata Cakra. "Barang siapa memakainya, maka ia berhak menjadi raja di Timur." Semua mata memandang takjub. Cakra telah mampu melenyapkan tokoh sakti mandraguna dari kerajaan Timur, pendekar sesat yang paling ditakuti semua ratu, karena pukulan Racun Bumi yang bisa menjadikan mereka nenek renta dalam sekejap. "Mana Gentong Ketawa?" Cakra berdiri dengan gagah dan berwibawa, ekspresi wajahnya memancarkan aura Raja Agung yang membuat seluruh mata tidak berani menatapnya. "Saya Tuan Muda." "Be
Pedati raksasa berbentuk rumah kayu meluncur cukup cepat di jalan berkerikil dengan enam kuda penarik. Guncangan kecil sangat terasa oleh para prajurit yang duduk di alas kayu berkilau. Mereka berpakaian rakyat awam. Keempat petinggi istana berdiri di dekat jendela sambil memperhatikan situasi di luar dengan berpakaian pendekar. "Hutan Gerimis sebentar lagi menjadi hutan yang ramah bagi pengembara," kata Dewi Anjani. "Bagi kabilah juga." Putik buah bermekaran di sepanjang jalan menyuguhkan pemandangan yang menyegarkan mata. Pengelana rimba tidak perlu kuatir kekurangan sumber air dan makanan. Hutan ini menghidangkan segalanya. Seluruh jendela pedati dibuka untuk pergantian angin sehingga di dalam tidak kekurangan udara segar. "Sejuk sekali udaranya," desah puteri mahkota. "Atau karena di sisiku ada kanda?" Cakra sebenarnya ingin membawa puteri mahkota untuk pergi lebih dulu ke perkampungan. Berjalan kaki dengan gin kang tentu lebih cepat sampai. Tapi meninggalkan pengawal melan
"Para bedebah itu seolah tidak ada kapoknya," geram Dewi Anjani. "Mereka pasti ingin menculik dirimu." "Barangkali mereka belum mendengar kabar nasib pendekar sebelumnya," ujar Cakra. "Aku bersyukur bertemu dengan Ksatria Bayangan. Jadi ada bekal untuk mengatasi rintangan yang sebenarnya ingin kuhindari." Puteri mahkota bangkit dari kursinya sambil berkata, "Kau baiknya istirahat saja, biar aku menemani Paman Patih untuk menghadapi mereka." "Aku kira tidak perlu," cegah Cakra. "Cukup Mahameru." "Para bedebah itu adalah tanggung jawabku," sanggah Dewi Anjani. "Aku tidak bisa duduk berleha-leha." "Jangan merasa bertanggung jawab gara-gara diriku calon pangeran. Mereka belum tentu ingin menangkapku." "Mereka pasti ingin menangkapmu!" sambar Dewi Anjani keras kepala. "Untuk itu mereka berada di Hutan Gerimis!" "Berarti mereka berurusan denganku, jadi aku hadapi sendiri." Mahameru memotong, "Biar saya saja, Tuan Muda. Kondisi Tuan Muda belum pulih betul." "Seharusnya kau sudah perg
Dua nenek keriput itu terkejut melihat pemuda yang keluar dari dalam pedati raksasa. Ia tampak sangat gagah dengan pakaian pendekar. "Cakra...!" seru Minarti terpukau. "Apakah aku tidak salah lihat?" Cakra melongo. Ia biasanya tersohor di kalangan perempuan cantik. Sebuah keajaiban ada nenek-nenek mengenal dirinya. "Aku Minarti." Nyai Penghasut Birahi tersenyum. "Kau pasti tidak mengenalku dengan rupa seperti ini." Mereka terakhir kali bertemu di Puri Mentari dalam pagelaran tari striptis. Sebuah pertunjukan yang tidak ingin ditontonnya lagi, kecuali gratis! Cakra hapal suaranya, meski baru dua kali bertemu. Pada pertemuan pertama Minarti menyamar sebagai pengungsi, padahal lagi mengadakan acara ritual sebelum pertunjukan. Sebuah ritual aneh. Beda bangsa beda budaya. "Kau lagi mengadakan acara ritual?" tanya Cakra. "Ada pagelaran di mana lagi? Laris sekali! Tapi ... bukankah di Kadipaten Barat saja kau boleh menari tanpa busana?" "Jadi kau masih ingat pertunjukan itu?" senyum M
Dewi Anjani masuk lagi ke dalam kereta pedati raksasa tanpa ekspresi berlebihan. Ia berusaha menyembunyikan cemburunya di hadapan dayang dan para prajurit. Nirmala heran, ia bertanya, "Kok kembali lagi, Tuan Puteri?" "Tidak ada kejadian apa-apa di luar," jawab Dewi Anjani tenang, seolah tidak mempedulikan bara yang membakar hatinya. "Tuan Muda lagi berbincang dengan Minarti dan Gagak Betina." "Mengapa begitu lama? Ada kepentingan apakah mereka dengan Tuan Muda?" "Bibi Nirmala kan tahu kalau Gagak Betina pernah mempunyai rasa kepada Paman Patih. Nah, sekarang mereka bertemu, senangnya pasti tidak terbayangkan." "Lalu Minarti?" "Aku tidak tahu di mana Tuan Muda pernah bertemu, sehingga mereka kelihatan begitu akrab." Nirmala tahu puteri mahkota memendam kecewa. Keakraban Tuan Muda dan pemilik Puri Mentari pasti diawali dengan pertemuan romantis. Pendekar binal itu adalah penyedia jasa prostitusi untuk kaum bangsawan. Puteri mahkota merasa direndahkan karena bukan perempuan perta
Raden Manggala bersama beberapa pembantunya mengadakan perjamuan makan malam yang dihadiri puluhan istrinya. Perempuan-perempuan muda itu pergi ke Puri Abadi secara sukarela tanpa sepengetahuan suami atau orang tua sehingga dikabarkan diculik. Kebiasaan jelek warga kampung Luhan adalah menyebarkan berita tanpa menyaring dahulu kebenaran berita itu. "Perjuangan takkan pernah padam," kata Raden Manggala. "Kita tinggalkan para pecundang yang menginginkan imbalan semata. Aku akan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kalian." Semua wanita yang menghadiri perjamuan tidak tahu kalau makanan dan minuman yang dihidangkan adalah hasil rampokan. Mereka mengira uang hasil usaha penginapan termewah di Butong, milik Manggala. Mereka juga baru mengetahui sosok Manggala secara jelas, dan mereka tidak menyesal menjadi istrinya. Manggala sangat gagah dan tampan. "Aku sebelumnya minta maaf, kalian ke depannya akan mengalami pengurangan fasilitas, sebab hartaku ludes diambil
Cakra merasa banyak waktu senggang. Kelompok pergerakan bukan ancaman serius secara global, skalanya sangat kecil. Maka itu ia tidak keberatan ketika istana mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk janji suci mereka. "Pesta itu untuk rakyat," kata Nawangwulan. "Kita tidak perlu hadir sepanjang waktu." "Protokoler istana melarang rakyat untuk menyampaikan ucapan selamat secara langsung," keluh Cakra. "Jadi kita hadir sekedar seremonial saja." "Kau maunya seperti apa?" "Kita keliling Kotaraja untuk menyapa rakyat." "Perlu berapa hari kita mengelilingi Kotaraja?" "Tidak sampai tujuh hari tujuh malam kan? Apa salahnya kita mengadakan resepsi di setiap penginapan yang disinggahi supaya rakyat merasa lebih dekat?" "Sayang ... aku berarti harus merubah protokoler istana." "Ibunda ratu keberatan?" "Ia keberatan kalau kita merasa kecewa dengan perjamuan." "Kalau begitu kita rubah pesta sesuai keinginan kita!" Seluruh pegawai istana kelimpungan ada perubahan agenda
Dengan bantuan intisari roh, Cakra berhasil memindahkan harta di kediaman adipati ke rumah Adinda yang kini kosong. "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut ke istana," gumam Cakra. "Warga kampung Luhan pasti curiga kalau aku sewa kereta barang. Apakah aku minta bantuan Nawangwulan saja?" Ratu Kencana muncul di kamar tirakat. Cakra tersenyum senang. "Kebetulan...!" seru Cakra. "Kebetulan apa?" sergah Ratu Kencana. "Kebetulan kau sedang mau digampar?" "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut harta karun ke istana. Dapatkah kau menciptakan binatang penarik bertenaga super?" "Tidak ada ilmu yang bisa menciptakan makhluk hidup, tapi kau bisa menciptakan tiruannya." "Betul juga...! Lalu kau datang mau apa?" Plak! Plak! "Aku ingin menamparmu...!" geram Ratu Kencana. "Aku menjadi gunjingan di semua jazirah gara-gara kau!" Pasti soal bercinta lagi, batin Cakra kecut. Ratu itu sangat jengkel dibilang mentransfer ilmu lewat kemesraan. "Kau mestinya memberi klarifikasi! Ja
Kampung Luhan gempar. Penggerebekan rumah Adinda oleh pasukan elit Kotaraja sangat mengejutkan. Gelombang protes muncul secara sporadis. Mereka menganggap penangkapan lima puluh wanita dan beberapa petugas keamanan sangat beraroma politis. Adipati Butong laksana kebakaran jenggot, padahal tidak berjenggot. Ia bukan meredam massa yang berdemo di depan kantor kadipaten, malah semakin membangkitkan amarah. "Tenang! Tenang! Beri saya kesempatan untuk berbicara!" Warga berusaha diam, kebanyakan orang tua perempuan yang ditangkap. "Saya tidak tahu apa-apa dalam peristiwa itu! Istana tidak berkoordinasi dengan saya! Saya akan melancarkan protes keras pada istana!" "Bukan protes! Bebaskan anak kami! Mereka tidak bersalah!" "Pasukan elit sudah berbuat sewenang-wenang! Mereka membawa anak kami ke Kotaraja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan!" "Bebaskan anak kami...!" "Bebaskan istri kami...!" "Tenang! Tenang! Beri saya waktu untuk menyelesaikan
"Selamat pagi, Tuan Khong!" Seluruh pelayan di dapur mengangguk hormat menyambut kedatangan kepala koki di pintu masuk. "Ada yang sakit pagi ini?" "Tidak ada, Tuan Khong." "Bagus." Khong mendatangi Chan Xian yang tengah menyiapkan minuman hangat. "Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Khong. "Pagi terindah bagiku," jawab Chan Xian. "Kau pasti mendapat gift universe lagi." Pelayanan kamar yang memuaskan akan menerima uang tip besar dari tamu. Chan Xian adalah primadona di penginapan termewah di Butong. Chan Xian terlihat sangat ceria, padahal hatinya menderita. "Aku dapat sepuluh gift universe pagi ini. Entah karena pelayanan yang memuaskan atau karena kecantikan diriku." "Perempuan cantik selalu memuaskan." Khong adalah kepala koki mata keranjang. Beberapa asisten koki sering tidur dengannya. Chan Xian pasti sudah jadi korban kalau bukan puteri mahkota. Semua pegawai menaruh hormat kepadanya. Chan Xian menjadi asisten koki secara sukarela. Ia tinggal di rumah mewah dengan
Hari sudah pagi. Cakra bangun dan pergi mandi, kemudian berpakaian. Jie masih tertidur pulas di pembaringan. Cakra menghubungi Nawangwulan lewat Sambung Kalbu. "Sayang...!" pekik puteri mahkota Segara gembira. "Ada apa menghubungi aku?" "Aku ada informasi penting," sahut Cakra. "Lima puluh istri Manggala akan mengadakan pertemuan rahasia di rumah Adinda, kepala front office kastil Mentari, dengan modus party dance." "Sayang ... kau berada di kampung Luhan?" "Ikan paus membawa diriku ke mari." "Ia ratu siluman. Ia sering menolong kesatria yang ingin berkunjung ke negeriku." "Tapi jutek banget." Nawangwulan tertawa lembut. "Ia biasanya minta upah ... barangkali ia sungkan karena kau adalah calon garwaku, ia jadi bete." "Dari mana ia tahu aku calon garwamu?" "Seluruh penghuni samudera sudah tahu kabar itu, dan Ratu Paus bukan sekedar tahu, ia mengenal sosokmu." Upah yang diminta pasti bercinta. Edan. Bagaimana ia bercinta dengan ikan paus? Siluman ikan biasanya hanya berubah
Sejak awal Cakra sudah curiga dengan Jie. Ia melihat sosok berbeda terbelenggu tabir misteri. Cakra ingin membebaskan sosok itu dari belenggu dengan mengalirkan energi intisari roh. "Aku adalah puteri mahkota dari kerajaan Terumbu," kata Jie. "Aku mendapat kutukan dari Raja Sihir karena menolak lamarannya." "Ada kerajaan sihir di jazirah tirta?" "Tidak ada. Ia pemilik Puri Abadi di wilayah tak bertuan." "Kalian kesulitan menangkap Raja Sihir untuk mencabut kutukan?" "Raja Sihir ditemukan tewas saat tokoh istana menyerbu ke Puri Abadi." "Siapa yang membunuhnya?" "Ia mati diracun murid tunggalnya, Raden Manggala." "Jadi kau datang ke kampung Luhan dalam rangka mencari Raden Manggala untuk mencabut kutukan?" "Ahli nujum istana mendapat wangsit; aku akan terbebas dari kutukan kalau ada kesatria gagah dan tampan bersedia bercinta denganku." "Kesatria di negerimu tidak ada yang bersedia?" "Lubangku mendadak hilang, ada bibir besar saja." "Lubangmu tertutup tabir sehingga ter
Kehidupan di kampung Luhan tenteram dan damai, padahal menjadi markas pergerakan. Kelompok ini sulit diketahui keberadaannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dan menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Pada saat dibutuhkan, mereka beroperasi secara masif, terstruktur, dan sistematis. Pergerakan seperti itu sangat berbahaya karena mereka akan memanfaatkan setiap peristiwa untuk menjatuhkan istana. "Kau tahu di mana kediaman Raden Manggala?" tanya Cakra. "Aku melihat tidak ada kekacauan di kampung ini. Gerakan mereka rapi sekali." "Bagaimana rupa Raden Manggala saja aku tidak tahu," sahut Jie. "Konon ia operasi plastik di negeri manusia sehingga sulit dikenali. Aku curiga anggota pergerakan telah menculik Chan Xian." "Apakah kakakmu pernah berurusan dengan kelompok Manggala?""Tidak." "Lalu ia diculik untuk apa? Untuk minta tebusan?" "Untuk jadi istri." "Jadi pemimpin pemberontak itu bujang lapuk?" "Istri keseribu." "Luar biasa...! Cukup untuk modal pemberont
"Aku berasal dari bangsa Incubus." Cakra merasa jawaban itu adalah jawaban paling aman. Nama bangsa itu sudah termasyhur ke seantero jagat raya. Ia pasti menjadi binatang buruan jika mengaku bangsa manusia. Perempuan di negeri ini akan menjadikan dirinya gongli dengan penampilan sekeren ini. "Jangan keras-keras," tegur perempuan gembrot. "Kedengaran mereka hidupmu dijamin bakal susah." Cakra kaget. "Mereka tergila-gila pada bangsa Incubus. Mereka rela meninggalkan suami untuk mendapatkan pria Incubus, lebih-lebih pria segagah dan setampan dirimu." Cakra terbelalak. Celaka! "Kau bukan wanita kampung ini?" "Namaku Jiefan, panggil saja Jie, kayaknya kita seumuran. Aku dari negeri tetangga." "Oh, pantas...! Lagi pula, siapa yang tertarik kepada perempuan sebesar kerbau bunting? Ia pasti menjadi musuh lelaki satu bangsa! "Jadi aku aman jalan bersama dirimu?" "Kau aman kalau mengaku dari bangsa manusia dan berwajah jelek." "Waduh...!" "Kau akan jadi musuh per