Sebuah sedan mewah memasuki basement parkir dikawal dua mobil di depan dan belakang. Ketiga mobil itu berhenti di pelataran parkir khusus pimpinan Hanoman Grup. Dari mobil depan dan belakang beberapa pria berbadan kekar keluar menyebar berjaga-jaga. Seorang lelaki gagah berpakaian perlente turun dari sedan mewah, berusia separuh baya dan berwajah tampan, entah bagaimana ceritanya memiliki nama Hanoman. "Bagaimana mereka sampai gagal?" tanya Hanoman. "Bukankah mereka sudah biasa?" Pria itu adalah pimpinan tertinggi Hanoman Grup, ia didampingi Sombu orang kepercayaan. Hanoman sangat marah pagi-pagi mendapat kabar buruk. Ia tidak biasa menerima kabar buruk. "Semua baru dugaan," jawab Sombu. "Aku kehilangan kontak sejak mereka memasuki hutan alas." "Berarti operasi mereka gagal, dan kau tahu harga sebuah kegagalan." Kegagalan adalah kematian. Mereka jadi santapan buaya peliharaan Hanoman. "Aku kemungkinan orang kita keduluan perampok yang beroperasi di hutan alas. Secara tidak
"Aku adalah Cakra Agusti Bimantara! Putra dari Dwipa dan Citraresmi! Bagaimana kau berpikir aku bukan manusia?" Hanoman kenal Dwipa karena sempat heboh di media massa gara-gara kopi beracun, sedangkan Citraresmi lawan politik kandidat yang didukungnya. "Pantas kelakuanmu barbar," sindir Hanoman sinis. "Di tubuhmu mengalir darah kriminal." "Ayahku bukan manusia biadab sepertimu, Hanoman! Kau memperlakukan manusia seperti belatung!" Sombu berbisik kepada tuannya, "Mulut curut itu semakin lancip kalau dibiarkan." "Jadikan ia santapan makan siang peliharaanku." "Siap." Sombu maju menyerbu disertai teriakan keras, "Ciiaaatt!" Buk! Sombu terpental menerima tendangan di dadanya dan jatuh menghantam kabin sedan. Brak! "Keluarkan seluruh kemampuanmu," tantang Cakra. "Jangan teriakan saja kencang." Sombu segera bangkit, kemudian menerjang lagi dengan amarah memuncak. "Ciiaaatt!" Sombu mengirim kombinasi pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi. "Yang kayak begini jadi tangan kana
Cakra menganggap persoalan dengan Hanoman Grup sudah selesai ketika apa yang terjadi di kantor itu tidak muncul di media massa. Cakra tidak berkeinginan untuk menabur angin, ia kuatir orang tuanya menuai badai setelah ditinggal pergi ke Nusa Kencana. Satu pekan setelah kejadian itu klan Bimantara berkumpul di rumahnya sekalian pertemuan rutin keluarga besar. "Hanoman kemarin datang ke kantorku," kata Dimas. "Ia memintaku untuk melupakan apa yang telah terjadi, ia bersedia mengganti kerugian dan bersaing secara sehat." "Bersaing itu pasti tidak sehat," sahut Cakra. "Perlu ada batasan hitam di atas putih mengenai persaingan yang dibolehkan." "Aku ingin menghindari persaingan dengannya, Hanoman setuju untuk mengakuisisi semua outlet ku yang berada di wilayahnya." "Hitam di atas putih?" "Ya." Dimas kuatir terjadi lagi pergesekan di kemudian hari. Ia ingin membuka outlet di wilayah yang belum tersentuh oleh Hanoman Grup. Prinsip klan Bimantara adalah membuka usaha dengan meminimalk
Bulan penuh menggantung di langit. Sinarnya menerobos dedaunan menerangi jalan aspal di hutan bunian. Limousine meluncur kencang di jalan sunyi. "Kereta pelangi menunggu di mana?" tanya Cakra. "Aku kira perjalanan lewat udara sangat menghemat waktu." "Aku minta kembali ke pemiliknya," sahut Dewi Anjani. "Aku tak berpikir untuk pulang." "Keputusanmu memicu Ambu untuk merelakan kepergian anaknya. Kau tidak mungkin tinggal di kampung." "Aku tidak bisa jauh darimu." "Itu kata Slank." Cakra mengurangi kecepatan dan membelokkan mobil memasuki hutan. Mereka kaget. "Kanda mau ke mana?" tanya Dewi Anjani. "Sedan ini mestinya disimpan di pinggir jalan." "Aku ingin membawanya ke istana Nusa Kencana." "Risikonya besar sekali kanda, mobil ini bisa meledak di gerbang labirin." "Aku sudah pernah membawa taksi dan kini tersimpan di Pondok Asmara." "Kejadian itu kebetulan saja kanda." "Aku banyak sekali mengalami kejadian kebetulan." Cakra mengerahkan ilmu Tembus Pandang P
Sedan berhenti di persimpangan menuju ke Pondok Asmara. Mahameru turun untuk menggantikan Cakra mengemudi. Cakra tidak ikut pulang ke istana Rajapati di Kadipaten Selatan, ia banyak urusan di Kadipaten Barat. Cakra bertanya, "Kau yakin Kadipaten Barat kondusif setelah kepergian ku?" "Situasi aman terkendali, gusti pangeran," jawab Mahameru. "Lagi pula, pasukan pengawal sedang dalam perjalanan. Tidak ada situasi yang perlu dikuatirkan." Cakra dapat menggunakan ilmu Pindah Raga bila situasi genting, tapi bukan itu persoalannya. Pengamanan puteri mahkota adalah protokol yang tak boleh dilanggar meski situasi aman. Mahameru terlambat memberi tahu kedatangan puteri mahkota sehingga pasukan Kotaraja yang menunggu di istana adipati terlambat datang. "Kendaraan ini pasti memancing perhatian warga, aku kuatir perjalanan kalian terhambat. Aku kira lebih baik menunggu pasukan pengawal tiba." Cakra kira tidak ada yang tahu kedatangan mereka, tapi mobil ini memberi tahu secara sendirinya.
Malam mulai turun saat mereka memasuki hutan hijau dengan pepohonan dan rerumputan tumbuh rapi seperti hutan buatan. Mereka singgah di sebuah dangau karena kuda sudah tampak letih. "Wedang lemon sungguh nikmat." Cakra meneguk minuman di veples yang terbuat dari emas. Minuman itu terasa hangat lewat di tenggorokan dan menetralisir udara dingin yang menusuk tubuh. "Sayang sekali wedang ini tidak boleh diperjualbelikan di negeri manusia." Setiap produksi di kerajaan Nusa Kencana terlarang untuk diproduksi di negara lain, sebab tidak berlaku lisensi. "Kita bermalam di sini saja tuan," kata Melati. "Dangau ini sangat nyaman." "Kita istirahat sejenak saja," sahut Cakra. "Setelah kuda kembali bugar, kita berangkat lagi." Mereka sudah menempuh separuh perjalanan, perkiraan tiba di keraton gubernur menjelang pagi. Cakra menyukai perjalanan di malam hari karena udara sangat segar, kecuali perbekalan habis, mereka perlu warung untuk mengisi perut. Mereka juga bisa memacu kuda di perkamp
Mereka meninggalkan komplotan perampok di dangau dalam keadaan tertotok. Jadi mereka tidak dapat melarikan diri, sampai mereka dihadapkan kepada kadi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Cakra menghubungi kepala prajurit langlang yang lagi berpatroli di perkampungan untuk mengambil mereka. "Titah gusti pangeran segera patik laksanakan." Kepala prajurit dan anggotanya langsung menuju ke hutan hijau di mana komplotan perampok berada. Cakra meneruskan perjalanan lewat jalan perkampungan yang sunyi. "Aku senang penduduk dapat tidur nyenyak," kata Cakra. "Bramantana mampu membuat rakyatnya beristirahat dengan aman, untuk menyambut hari esok dengan penuh semangat." "Tapi rakyat yang antipati memandang Pangeran Bramantana adalah putera dari guru tuan saat tuan mengangkatnya jadi Raja Timur, bukan memandang prestasi." "Pada dasarnya mereka bukan mencari kebenaran, tapi mencari celah untuk menjatuhkan diriku." Maka itu Cakra tidak pernah berharap untuk dicintai seluruh rakyat, ia
Cakra merasa kena prank! Ia kira gentong berjalan itu calon selirnya! "Lalu Rihana mana?" Cakra memandang Rihani yang melelang senyum manisnya. "Lagi bersolek," jawab Rihani. "Barangkali sebentar lagi selesai." Cakra jadi penasaran menunggu kemunculan saudara kembarnya. Rihani saja seperti celengan gajah, Rihana pasti seperti kaleng kerupuk! Tapi Cakra tidak mempersoalkan pilihan puteri mahkota. Perempuan mempunyai selera lebih baik daripada lelaki, dan kebaikan itu bukan sekedar pertimbangan fisik. Ada hal yang lebih bernilai dari sekedar kesempurnaan fisik. Cakra bertanya kepada gubernur, "Bisakah kau panggil Wisesa untuk menghadapku?" "Anak sulung saya sebentar lagi datang, pangeran," jawab gubernur. "Semalam ia pulang sangat larut untuk membantu persiapan penyambutan pangeran." Wisesa adalah putra sulung gubernur dan menjadi wedana untuk beberapa distrik. Ia adalah wedana berprestasi dan paling populer di antara wedana lain. "Nah, itu Wisesa," kata gubernur saat anak sul