Mereka meninggalkan komplotan perampok di dangau dalam keadaan tertotok. Jadi mereka tidak dapat melarikan diri, sampai mereka dihadapkan kepada kadi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Cakra menghubungi kepala prajurit langlang yang lagi berpatroli di perkampungan untuk mengambil mereka. "Titah gusti pangeran segera patik laksanakan." Kepala prajurit dan anggotanya langsung menuju ke hutan hijau di mana komplotan perampok berada. Cakra meneruskan perjalanan lewat jalan perkampungan yang sunyi. "Aku senang penduduk dapat tidur nyenyak," kata Cakra. "Bramantana mampu membuat rakyatnya beristirahat dengan aman, untuk menyambut hari esok dengan penuh semangat." "Tapi rakyat yang antipati memandang Pangeran Bramantana adalah putera dari guru tuan saat tuan mengangkatnya jadi Raja Timur, bukan memandang prestasi." "Pada dasarnya mereka bukan mencari kebenaran, tapi mencari celah untuk menjatuhkan diriku." Maka itu Cakra tidak pernah berharap untuk dicintai seluruh rakyat, ia
Cakra merasa kena prank! Ia kira gentong berjalan itu calon selirnya! "Lalu Rihana mana?" Cakra memandang Rihani yang melelang senyum manisnya. "Lagi bersolek," jawab Rihani. "Barangkali sebentar lagi selesai." Cakra jadi penasaran menunggu kemunculan saudara kembarnya. Rihani saja seperti celengan gajah, Rihana pasti seperti kaleng kerupuk! Tapi Cakra tidak mempersoalkan pilihan puteri mahkota. Perempuan mempunyai selera lebih baik daripada lelaki, dan kebaikan itu bukan sekedar pertimbangan fisik. Ada hal yang lebih bernilai dari sekedar kesempurnaan fisik. Cakra bertanya kepada gubernur, "Bisakah kau panggil Wisesa untuk menghadapku?" "Anak sulung saya sebentar lagi datang, pangeran," jawab gubernur. "Semalam ia pulang sangat larut untuk membantu persiapan penyambutan pangeran." Wisesa adalah putra sulung gubernur dan menjadi wedana untuk beberapa distrik. Ia adalah wedana berprestasi dan paling populer di antara wedana lain. "Nah, itu Wisesa," kata gubernur saat anak sul
"Terima kasih atas hidangan istimewanya." Selesai makan pagi, Cakra masuk ke kamar yang indah dan harum semerbak, berbaring di kasur empuk. Perut kenyang menyebabkan mata terasa berat. Panggang hati angsa sungguh lezat bagaimana pun bodohnya juru masak. Cakra terbangun siang hari, dan menemukan Rihana tengah duduk di sisinya, seperti saat ia tertidur. "Pangeran tidur pulas sekali," kata Rihana. "Aku sudah menyiapkan peralatan mandi jika pangeran mau membersihkan badan." "Jika? Berarti ada pilihan lain?" Cakra bangkit duduk. "Pilihan itu ada pada pangeran." Cakra merasa sangat dimanjakan. Di meja berukir sudah tersedia teh hijau dan penganan. Cakra jadi teringat Melati, ia menyimpan teh di payudara dan penganan di organ intim sebelum diolah, untuk menciptakan cita rasa istimewa. "Kau berpendidikan western seperti Melati. Apakah kau mengolah makanan dan minuman seperti Melati juga?" "Aku ingin mempersembahkan yang terbaik untuk pangeran sebelum yang terbaik itu hilang." "Jad
"Aku melihat ada perubahan pada pangeran." Melati memacu kuda mengimbangi kecepatan kuda yang ditunggangi Cakra. Mereka melintasi jalan setapak di tengah perkebunan penduduk. Jadi wedana tidak perlu memerintahkan warga untuk berjejer di sepanjang jalan mengiringi kepergiannya. "Pangeran kelihatan tenang dan tidak tergesa-gesa." "Tidak ada lagi alasan untuk tergesa-gesa." Restu orang tuanya untuk memenuhi perjanjian leluhur membuat hati Cakra sangat nyaman. Abah dan Ambu juga tidak dipusingkan dengan ekonomi, tinggal di mansion dengan segala kemewahan dan kekayaan berlimpah. Mereka sekarang mempunyai kesibukan masing-masing, Ambu mengurus rakyat, sedangkan Abah mengurus pertanian dan firma. "Kita menyambangi Minarti di Puri Mentari." "Bukankah Minarti tinggal di istana bersama mahapatih?" Melati tidak dapat mendeteksi keberadaan Minarti karena tertutup tabir terawang. Setiap pendekar kelas atas pasti melindungi diri dari peneropongan supaya jejaknya tidak terlacak. Perli
"Pangeran datang." Kemunculan pelayan penginapan di pintu kamar mengejutkan Minarti. Ia memandang gadis berparas ayu itu tanpa berkedip seolah mendengar matahari terbit di sebelah barat. "Ia menunggu di ruang welcome." Minarti urung memasukkan pakaian ke kotak berlapis kulit, ia sedang berkemas untuk kembali ke Kotaraja. "Sudah kau suguhi hidangan." "Sudah." Minarti segera turun lewat lift mekanik terbuat dari kayu langka, dengan model terbuka. Tiba di lantai dasar, Minarti melihat Cakra tengah bercengkrama dengan beberapa pelayan di ruang kedatangan. Mereka bubar saat melihat Minarti datang. Minarti memberi penghormatan, "Salam sejahtera untuk pangeran, semoga panjang umur." Cakra memandang perempuan yang berpakaian sangat seksi itu. "Aku lihat kereta sudah siap di halaman. Apakah kau akan berangkat ke Kotaraja pagi ini?" "Tentu saja aku menunda kepergianku dengan kedatangan pangeran." "Rencanamu jadi terganggu." "Tiada rencana selain menantikan kedatangan pangeran." "D
Minarti menggigit bibir agar tidak menjerit dan mencengkram sprei kuat-kuat sampai kapsul raksasa tinggal landas di lubuk. "Kamu haid?" Cakra terkejut ketika melihat alat vitalnya berlumuran darah. "Berhubungan badan saat datang bulan berisiko buat kesehatan." Minarti berusaha tersenyum di tengah rasa sakit luar biasa. "Bukan darah haid." Cakra memandang tak berkedip perempuan dalam tindihannya. Mata bening kebiruan itu menggelepar kesakitan dan menghempaskan pada kenyataan yang sulit dipercaya. "Aku bercinta dengan suamiku tanpa penetrasi," bisik Minarti. "Kami ingin mempersembahkan untuk pangeran." Mereka merasa bangga putera mahkota sudi memberkati pernikahan mereka dengan bercinta, sepekan pula. Sebuah logika unik bangsa Incubus dan paling sulit dimengerti Cakra. Minarti sangat bahagia saat pangeran menghantamnya dengan sangat bernafsu, pelayanannya berarti mampu memancing gairah, meski ia kesakitan tiada tara. "Kau mestinya bilang." Cakra mengecup bibir sensual itu deng
Cakra meninggalkan Melati yang separuh pingsan di semak-semak. Bukan kejam, selir merasa terhina kalau mendapat belas kasihan akibat bercinta. Pengukuhan Melati selaku selir adalah pengukuhan terlama di jazirah ini, hingga berjam-jam. "Begitulah perempuan, Gemblung. Kalau sudah kepingin, di atas rumput pun jadi." Cakra memacu kuda dengan cepat melintasi jalan berkerikil di Hutan Gerimis. Cakra sebenarnya tidak enak seolah merendahkan perempuan, tapi Melati mendesak untuk disambangi. "Yang Mulia menjatuhkan martabat sendiri," kata si Gemblung. "Masa putera mahkota bercinta di semak-semak?" "Di depan cinta semua insan sama, Gemblung. Tidak ada yang bermartabat, semua bermuka syahwat, kecuali aku." "Kok bisa?" "Aku bercinta dengan mereka sekedar menunaikan kewajiban, bukan berdasarkan perasaan." "Yang Mulia sungguh perkasa sekali, aku saja kalah." "Aku bisa lebih lama dari itu, Gemblung. Tapi Melati pasti mati kelelahan." "Bagaimana kalau Melati tidak sanggup meneruskan perjal
Ratu Singkawang dan Maharini mempunyai kemiripan yang sulit dibedakan, seperti Nyi Ratu Suri dan Dewi Anjani. "Bercintalah dengan Ratu Singkawang, maka kau serasa bercinta dengan Maharini." Cakra teringat ucapan puteri mahkota saat meluapkan kecemburuannya kepada Puteri Rinjani. "Bercintalah dengan kambing, maka kau serasa bercinta dengan si Rinjani!" Sebagai calon Raja Agung, Cakra mestinya curiga di atas organ intim perempuan ini tidak terpasang anting-anting, tapi sebagai ksatria mata keranjang ... mana peduli! Rasa senangnya bertemu dengan ratu ketiga melenyapkan akal sehatnya. Perjalanan semakin panjang dengan kejadian salah terkam ini. Maharini menuntut segera diangkat menjadi permaisuri. "Aku sudah bilang ada risikonya, kau bilang bodo amat." "Tapi masa minta secepat itu? Aku selesaikan dulu urusan di kerajaan Selatan." "Kalau menunggu urusanmu selesai, perutku keburu buncit! Masa puteri mahkota hamil di luar nikah?" Perempuan di jazirah ini memiliki kebiasaan membuka