Cakra meninggalkan Melati yang separuh pingsan di semak-semak. Bukan kejam, selir merasa terhina kalau mendapat belas kasihan akibat bercinta. Pengukuhan Melati selaku selir adalah pengukuhan terlama di jazirah ini, hingga berjam-jam. "Begitulah perempuan, Gemblung. Kalau sudah kepingin, di atas rumput pun jadi." Cakra memacu kuda dengan cepat melintasi jalan berkerikil di Hutan Gerimis. Cakra sebenarnya tidak enak seolah merendahkan perempuan, tapi Melati mendesak untuk disambangi. "Yang Mulia menjatuhkan martabat sendiri," kata si Gemblung. "Masa putera mahkota bercinta di semak-semak?" "Di depan cinta semua insan sama, Gemblung. Tidak ada yang bermartabat, semua bermuka syahwat, kecuali aku." "Kok bisa?" "Aku bercinta dengan mereka sekedar menunaikan kewajiban, bukan berdasarkan perasaan." "Yang Mulia sungguh perkasa sekali, aku saja kalah." "Aku bisa lebih lama dari itu, Gemblung. Tapi Melati pasti mati kelelahan." "Bagaimana kalau Melati tidak sanggup meneruskan perjal
Ratu Singkawang dan Maharini mempunyai kemiripan yang sulit dibedakan, seperti Nyi Ratu Suri dan Dewi Anjani. "Bercintalah dengan Ratu Singkawang, maka kau serasa bercinta dengan Maharini." Cakra teringat ucapan puteri mahkota saat meluapkan kecemburuannya kepada Puteri Rinjani. "Bercintalah dengan kambing, maka kau serasa bercinta dengan si Rinjani!" Sebagai calon Raja Agung, Cakra mestinya curiga di atas organ intim perempuan ini tidak terpasang anting-anting, tapi sebagai ksatria mata keranjang ... mana peduli! Rasa senangnya bertemu dengan ratu ketiga melenyapkan akal sehatnya. Perjalanan semakin panjang dengan kejadian salah terkam ini. Maharini menuntut segera diangkat menjadi permaisuri. "Aku sudah bilang ada risikonya, kau bilang bodo amat." "Tapi masa minta secepat itu? Aku selesaikan dulu urusan di kerajaan Selatan." "Kalau menunggu urusanmu selesai, perutku keburu buncit! Masa puteri mahkota hamil di luar nikah?" Perempuan di jazirah ini memiliki kebiasaan membuka
"Jadi wanita itu yang membuatmu urung pergi?" tanya Maharini. "Aku tidak masalah." Maharini tidak peduli siapa perempuan yang bersama ayahandanya, ia datang untuk mengurus kepentingannya. "Kita tunggu mereka selesai bertarung." "Jadi kau mau masuk ke kamar?" "Tidak juga." "Kalau begitu tunggu apa lagi?" "Hanya sekali tusuk ribet betul urusannya." Sambil memeluk Maharini yang duduk di pangkuannya, Cakra memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tubuh mereka lenyap seketika. Kemudian mereka muncul secara tiba-tiba di depan pintu kamar di mana Pangeran Mellow menginap. Cakra mengeringkan keringat yang menetes di keningnya. Ia mengeluarkan energi cukup besar untuk membawa Maharini bersamanya. "Ayahandamu menginap di kamar ini," kata Cakra. "Di dalam ada perempuan muda dan cantik seumuran denganmu. Mereka sudah selesai." "Cepat banget kayak kamu." "Aku baru pembukaan." "Siapa suruh tidak sampai penutup?" "Sudah sampai sini baru ngomong." Cakra pikir perempuan di dalam kamar ada
Mereka sudah berada kembali di dangau saat hujan gerimis menjelang dini hari, dengan status suami istri. Udara dingin mencucuk tubuh. Si Gemblung dan kuda betina berteduh di depan balai dangau. Mereka bercinta dengan seru untuk menghangatkan badan. "Kurang ajar," geram Cakra. "Kau sungguh makhluk yang tidak punya sopan santun." "Yayangku mengajak bercinta, Yang Mulia," dalih si Gemblung. "Aku insan biasa yang tak luput dari birahi." Si Gemblung adalah gambaran tuannya, betina pasti ketagihan kalau sudah bercinta dengannya. Percintaan mereka seolah memancing pengantin baru. "Kau nggak kepingin?" kerling Maharini mesra. Tampak Si Gemblung menusuk sampai kandas disertai erangan nikmat, seolah memanas-manasi. "Nggak," sahut Cakra. "Nggak menolak kalau kamu kepingin...!" Cakra merebahkan Maharini di balai bambu. Kemudian mereka berciuman dengan mesra. Ringkikan nikmat si Gemblung dan kuda betina menghasut mereka untuk segera melepas cawat. "Aku betul-betul puteri mahkota muraha
"Aku mesti mencobanya." Cakra memejamkan mata dan memusatkan pikiran dengan bantuan energi roh, tubuhnya lenyap seketika. Cakra muncul di dalam labirin pesanggrahan leluhur. Ia melihat Nyi Ratu Suri sedang bertafakur dalam puncak keheningan. "Maafkan aku mengganggu tirakat mu," kata Cakra. "Ratu Nusa Kencana sampai merepotkan prajurit untuk memaksaku pulang." Nyi Ratu Suri menoleh dengan terkejut, ia bertanya, "Bagaimana kau bisa masuk ke bilik labirin?" "Sekedar mencoba, dan berhasil." Cakra melihat hanya ada Nyi Ageng Permata di bilik itu, ia bertanya, "Apakah Ratu Singkawang pulang ke alam roh?" "Aku tidak tahu keberadaannya," jawab Nyi Ratu Suri. "Apakah ia pulang ke alam roh atau CLBK dengan Pangeran Sundalarang? Tapi biarkanlah, kau tidak perlu mencarinya." "Aku kuatir ia menjadi korban ledakan gerbang transisi." "Barangkali lebih baik daripada merecoki urusan Nusa Kencana." "Ia sudah mengakui kekeliruannya." "Karena kau menjanjikan tahta kepada Reksajiwa." "Apakah be
Cakra muncul di dekat kuda coklat di Hutan Gerimis. "Urusan di istana sudah beres Yang Mulia?" tanya si Gemblung. "Mestinya beres kalau mereka berpikir bijak," jawab Cakra. "Tapi istana kekurangan pemikir bijak." "Beruntung aku makhluk tidak berakal, jadi tidak perlu berpikir." "Makhluk berakal juga banyak yang tidak berpikir." "Sekalinya berpikir untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain." "Bapak pemimpin di negeri ini berpikir untuk diri sendiri dan golongan, rakyat terlupakan, bahkan tersudut oleh kenyataan." "Kuda-kuda meringkik disangka barisan sakit hati, pasukan nasi bungkus, kuda-kuda baik jadi diam." Nusa Kencana banyak diduduki oleh bangsawan bodoh berduit, kaum cendekia terpinggirkan karena kekurangan dukungan. Nusa Kencana hanya besar secara wilayah, sehingga menjadi koloni kaum bangsawan dan direndahkan dalam perserikatan kerajaan. "Ratu Purbasari mestinya memandang dari dua sisi mata uang." Ratu Purbasari hanya memikirkan kepentingan Raden Mas Arya Bimantara,
"Kalian mesti hati-hati dalam penyamaran sebagai rombongan saudagar kain tenun." Ping Ping memberi wejangan kepada beberapa perempuan cantik yang akan menjalankan misi di Kadipaten Selatan. Ping Ping adalah kepala telik sandi kerajaan Selatan. Mereka mengadakan pertemuan di sebuah penginapan mewah. "Jangan sekali-kali berbuat sesuatu yang justru membongkar penyamaran kalian." Penyusupan kali ini dilakukan sekelompok wanita dengan modus operandi baru, setelah telik sandi mengalami kegagalan karena banyak yang tertangkap. Beruntung retorika Ratu Selatan bagus sehingga lolos dari embargo perserikatan kerajaan. Ia bahkan berani menjadikan kemolekan tubuhnya sebagai alat tawar. "Janganlah kalian banyak berkunjung ke toko perhiasan, itulah kasus terakhir yang sempat heboh padahal sedang menyamar sebagai juru tempa, gara-gara melibatkan perasaan terlalu jauh dan jatuh cinta kepada penjaga toko." Para perempuan itu adalah pendekar bayaran berilmu tinggi dan belum terkenal di wilayah
Perahu nelayan muncul di kejauhan dengan kecepatan tinggi dengan sepuluh penumpang berpakaian rakyat jelata. Cahaya bulan separuh tertutup mega, udara remang-remang. "Itu mereka." Sanjaya bersiap-siap menyambut kedatangan Thai Lu dan rombongan. Mereka berdiri di lokasi cukup terang sehingga kelihatan dari jauh. Perahu nelayan melaju ke arah mereka. "Bregada perbatasan tidak ada yang mengejar, berarti pelarian mereka tidak terendus oleh telik sandi." "Permintaan suaka mereka menambah ketegangan hubungan antara dua kerajaan," kata komandan legiun. "Mereka beruntung dapat menyeberangi perbatasan tanpa ancaman." "Barangkali juga mereka dibiarkan mencari suaka karena menjadi benalu bagi monarki kerajaan." "Apakah mereka tidak menjadi benalu di Nusa Kencana?" "Biarlah baginda ratu memutuskan." Perahu menepi, mereka berloncatan ke daratan. Dua pencari suaka mendorong perahu ke tengah sungai dan hanyut menuju ke muara di Laut Selatan. "Sebaiknya perahu itu tidak dihan