Cakra muncul di dekat kuda coklat di Hutan Gerimis. "Urusan di istana sudah beres Yang Mulia?" tanya si Gemblung. "Mestinya beres kalau mereka berpikir bijak," jawab Cakra. "Tapi istana kekurangan pemikir bijak." "Beruntung aku makhluk tidak berakal, jadi tidak perlu berpikir." "Makhluk berakal juga banyak yang tidak berpikir." "Sekalinya berpikir untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain." "Bapak pemimpin di negeri ini berpikir untuk diri sendiri dan golongan, rakyat terlupakan, bahkan tersudut oleh kenyataan." "Kuda-kuda meringkik disangka barisan sakit hati, pasukan nasi bungkus, kuda-kuda baik jadi diam." Nusa Kencana banyak diduduki oleh bangsawan bodoh berduit, kaum cendekia terpinggirkan karena kekurangan dukungan. Nusa Kencana hanya besar secara wilayah, sehingga menjadi koloni kaum bangsawan dan direndahkan dalam perserikatan kerajaan. "Ratu Purbasari mestinya memandang dari dua sisi mata uang." Ratu Purbasari hanya memikirkan kepentingan Raden Mas Arya Bimantara,
"Kalian mesti hati-hati dalam penyamaran sebagai rombongan saudagar kain tenun." Ping Ping memberi wejangan kepada beberapa perempuan cantik yang akan menjalankan misi di Kadipaten Selatan. Ping Ping adalah kepala telik sandi kerajaan Selatan. Mereka mengadakan pertemuan di sebuah penginapan mewah. "Jangan sekali-kali berbuat sesuatu yang justru membongkar penyamaran kalian." Penyusupan kali ini dilakukan sekelompok wanita dengan modus operandi baru, setelah telik sandi mengalami kegagalan karena banyak yang tertangkap. Beruntung retorika Ratu Selatan bagus sehingga lolos dari embargo perserikatan kerajaan. Ia bahkan berani menjadikan kemolekan tubuhnya sebagai alat tawar. "Janganlah kalian banyak berkunjung ke toko perhiasan, itulah kasus terakhir yang sempat heboh padahal sedang menyamar sebagai juru tempa, gara-gara melibatkan perasaan terlalu jauh dan jatuh cinta kepada penjaga toko." Para perempuan itu adalah pendekar bayaran berilmu tinggi dan belum terkenal di wilayah
Perahu nelayan muncul di kejauhan dengan kecepatan tinggi dengan sepuluh penumpang berpakaian rakyat jelata. Cahaya bulan separuh tertutup mega, udara remang-remang. "Itu mereka." Sanjaya bersiap-siap menyambut kedatangan Thai Lu dan rombongan. Mereka berdiri di lokasi cukup terang sehingga kelihatan dari jauh. Perahu nelayan melaju ke arah mereka. "Bregada perbatasan tidak ada yang mengejar, berarti pelarian mereka tidak terendus oleh telik sandi." "Permintaan suaka mereka menambah ketegangan hubungan antara dua kerajaan," kata komandan legiun. "Mereka beruntung dapat menyeberangi perbatasan tanpa ancaman." "Barangkali juga mereka dibiarkan mencari suaka karena menjadi benalu bagi monarki kerajaan." "Apakah mereka tidak menjadi benalu di Nusa Kencana?" "Biarlah baginda ratu memutuskan." Perahu menepi, mereka berloncatan ke daratan. Dua pencari suaka mendorong perahu ke tengah sungai dan hanyut menuju ke muara di Laut Selatan. "Sebaiknya perahu itu tidak dihan
Sanjaya terkejut. "Maksud gusti pangeran apa?" "Mereka bukan kabur dari bui. Mereka sengaja dibebaskan untuk menyusup ke Kadipaten Selatan dan mempengaruhi keraton dengan memanfaatkan persahabatan kalian." Sanjaya pasti tak percaya seandainya bukan putera mahkota yang memberi penjelasan. Sanjaya memandang Thai Lu tanpa berkedip, sinar matanya memancarkan kekecewaan yang sulit dilukiskan. "Aku sungguh tak percaya dengan apa yang kau lakukan. Aku benar-benar tulus menolongmu, tapi kau khianati persahabatan kita." Thai Lu dan Sun Bho Kong berpandangan sekilas. Mereka sama sekali tak menyangka misi terbongkar sebelum beraksi, padahal kerahasiaannya sangat terjaga. Thai Lu curiga di antara mereka ada pengkhianat. Tapi ia sulit menunjuk batang hidungnya. Mereka kelihatan tenang sekali, seolah sudah memprediksi kegagalan misi ini, atau barangkali mereka mengganggap tidak ada yang perlu ditakuti. "Jangan sesali apa yang telah terjadi, Sanjaya," kata Cakra. "Terpenting ke depannya tidak
"Kalian aktivis gila! Gila sensasi!" Pertarungan Cakra dan enam tokoh sakti dari Selatan berjalan sengit, sementara dua lagi dihadapi Sanjaya dan komandan legiun. Byur! Daun-daun berguguran terkena pukulan nyasar. Brak! Kereta hancur dan kuda kabur menyelamatkan diri. Kuda coklat milik Cakra bersembunyi di balik pohon besar. "Tumben kau tidak bercinta selama aku bertarung," kata Cakra lewat getaran batin. "Kau biarkan dua kuda montok kabur." "Jadi mereka kuda betina? Saya kira kuda jantan!" Si Gemblung berlari separuh terbang mengejar dua kuda betina. "Kalian sungguh tidak tahu diuntung!" kata Sanjaya. "Aku menerima kalian baik-baik, tapi kebaikanku dimanfaatkan dengan keji!" Sanjaya mengirim kombinasi pukulan dan tendangan, pendekar bercambang lebat menangkis dan menghindar. Sesekali pendekar itu melancarkan serangan dan mengenai udara. Ia kesulitan mendaratkan pukulan karena Sanjaya bukan pendekar kaleng-kaleng. "Kau lumayan juga, Sanjaya," puji pendekar bercambang leb
"Kami undur diri, pangeran." Sanjaya dan komandan legiun menggiring tawanan dengan berjalan kaki karena kereta hancur. Cakra mondar-mandir di bawah pohon, menunggu kedatangan si Gemblung. Cakra memaki, "Dasar kuda durhaka! Juraganmu saja belum pernah bermain threesome!" Si Gemblung muncul sambil meringkik senang. "Bagus! Kau enak-enakan bercinta, aku jadi penunggu pohon!" "Yang Mulia kegantengan jadi kuntilanak." "Oh, jadi begitu sifatmu. Air susu dibalas air beras!" Cakra melompat naik ke punggung si Gemblung. Kemudian memacu kuda separuh terbang menuju ke jalur perdagangan internasional. Perkiraannya sehari semalam ia tiba di tanah tak bertuan itu. Cakra ingin mencegat rombongan Liang Bha Yi yang menyamar menjadi saudagar kain tenun untuk membantu pergerakan di Kadipaten Selatan. Liang Bha Yi sangat berpotensi menghancurkan istana Kadipaten Selatan dengan beberapa perempuan eksotik. "Wanita adalah kelemahan utama pejabat di Kadipaten Selatan," kata Cakra. "Cukup sekali t
"Bagus sekali kuda itu!" Pendekar brewok memperhatikan kuda coklat dengan sinar mata seperti melihat penari striptis. Mereka duduk di bangku panjang dengan kopi panas dan penganan baru diangkat dari panggangan. Pemilik kedai sudah tahu selera langganannya. "Kuda milik siapa?" "Milikku," jawab Cakra. "Boleh dipinjam untuk membantu perjuangan?" Cakra menoleh kepada pria yang duduk di sebelahnya dengan acuh tak acuh. "Perjuangan apa?" Pendekar brewok menilik penampilan pemuda di hadapannya, kemudian menjawab, "Kelihatannya kau pengembara, bukan warga Kadipaten Selatan." "Lalu kalau aku pengembara ada perbedaannya?" "Kau tahu di daerah kami sedang berhembus angin perubahan, anak muda berlalu lalang meneriakkan suara kebenaran." "Aku malah mencium angin busuk karena ditunggangi barisan sakit hati dengan topeng kebebasan berpendapat. Bicara seenaknya dan menyakiti pejabat itu bukan kebebasan berpendapat, tapi menumpahkan kotoran dari nafsu kalian. Jadi wajar kalau mereka tutu
Beberapa kereta barang menerobos kegelapan malam di jalan makadam. Kereta penumpang meluncur paling depan. Kereta itu berisi lima dara cantik jelita, dengan satu perempuan dewasa tak kalah cantiknya. "Aku berharap ketemu dengan Pendekar Lembah Cemara," kata Liang Thai. "Konon ia adalah pangeran tertampan di jazirah ini." "Kau sudah menjadi gundik Pangeran Indrajaya," sahut Liang Bha Yi. "Apakah boleh menjadi gundik Pangeran Nusa Kencana?" "Kasihlah kesempatan kepada jomblo," tukas Lu Shia Lan. "Aku supermodel tapi super sial, hari gini belum dapat jodoh." Mereka tertawa cekikikan. Seandainya suara tawa mereka tidak merdu, barangkali Pak Tua yang menjadi sais sudah kabur mendengar suara cekikikan di tengah malam buta. "Tugasmu membuat Sanjaya klepek-klepek," kata Liang Bha Yi. "Ingat, bukan untuk dicintai, tapi untuk jadi boneka." "Bukankah itu tugasmu selaku pimpinan kabilah?" balik Lu Shia Lan. "Tugasku membujuk para bangsawan untuk menarik investasi sehingga pembangunan di Ka