"Pangeran datang." Kemunculan pelayan penginapan di pintu kamar mengejutkan Minarti. Ia memandang gadis berparas ayu itu tanpa berkedip seolah mendengar matahari terbit di sebelah barat. "Ia menunggu di ruang welcome." Minarti urung memasukkan pakaian ke kotak berlapis kulit, ia sedang berkemas untuk kembali ke Kotaraja. "Sudah kau suguhi hidangan." "Sudah." Minarti segera turun lewat lift mekanik terbuat dari kayu langka, dengan model terbuka. Tiba di lantai dasar, Minarti melihat Cakra tengah bercengkrama dengan beberapa pelayan di ruang kedatangan. Mereka bubar saat melihat Minarti datang. Minarti memberi penghormatan, "Salam sejahtera untuk pangeran, semoga panjang umur." Cakra memandang perempuan yang berpakaian sangat seksi itu. "Aku lihat kereta sudah siap di halaman. Apakah kau akan berangkat ke Kotaraja pagi ini?" "Tentu saja aku menunda kepergianku dengan kedatangan pangeran." "Rencanamu jadi terganggu." "Tiada rencana selain menantikan kedatangan pangeran." "D
Minarti menggigit bibir agar tidak menjerit dan mencengkram sprei kuat-kuat sampai kapsul raksasa tinggal landas di lubuk. "Kamu haid?" Cakra terkejut ketika melihat alat vitalnya berlumuran darah. "Berhubungan badan saat datang bulan berisiko buat kesehatan." Minarti berusaha tersenyum di tengah rasa sakit luar biasa. "Bukan darah haid." Cakra memandang tak berkedip perempuan dalam tindihannya. Mata bening kebiruan itu menggelepar kesakitan dan menghempaskan pada kenyataan yang sulit dipercaya. "Aku bercinta dengan suamiku tanpa penetrasi," bisik Minarti. "Kami ingin mempersembahkan untuk pangeran." Mereka merasa bangga putera mahkota sudi memberkati pernikahan mereka dengan bercinta, sepekan pula. Sebuah logika unik bangsa Incubus dan paling sulit dimengerti Cakra. Minarti sangat bahagia saat pangeran menghantamnya dengan sangat bernafsu, pelayanannya berarti mampu memancing gairah, meski ia kesakitan tiada tara. "Kau mestinya bilang." Cakra mengecup bibir sensual itu deng
Cakra meninggalkan Melati yang separuh pingsan di semak-semak. Bukan kejam, selir merasa terhina kalau mendapat belas kasihan akibat bercinta. Pengukuhan Melati selaku selir adalah pengukuhan terlama di jazirah ini, hingga berjam-jam. "Begitulah perempuan, Gemblung. Kalau sudah kepingin, di atas rumput pun jadi." Cakra memacu kuda dengan cepat melintasi jalan berkerikil di Hutan Gerimis. Cakra sebenarnya tidak enak seolah merendahkan perempuan, tapi Melati mendesak untuk disambangi. "Yang Mulia menjatuhkan martabat sendiri," kata si Gemblung. "Masa putera mahkota bercinta di semak-semak?" "Di depan cinta semua insan sama, Gemblung. Tidak ada yang bermartabat, semua bermuka syahwat, kecuali aku." "Kok bisa?" "Aku bercinta dengan mereka sekedar menunaikan kewajiban, bukan berdasarkan perasaan." "Yang Mulia sungguh perkasa sekali, aku saja kalah." "Aku bisa lebih lama dari itu, Gemblung. Tapi Melati pasti mati kelelahan." "Bagaimana kalau Melati tidak sanggup meneruskan perjal
Ratu Singkawang dan Maharini mempunyai kemiripan yang sulit dibedakan, seperti Nyi Ratu Suri dan Dewi Anjani. "Bercintalah dengan Ratu Singkawang, maka kau serasa bercinta dengan Maharini." Cakra teringat ucapan puteri mahkota saat meluapkan kecemburuannya kepada Puteri Rinjani. "Bercintalah dengan kambing, maka kau serasa bercinta dengan si Rinjani!" Sebagai calon Raja Agung, Cakra mestinya curiga di atas organ intim perempuan ini tidak terpasang anting-anting, tapi sebagai ksatria mata keranjang ... mana peduli! Rasa senangnya bertemu dengan ratu ketiga melenyapkan akal sehatnya. Perjalanan semakin panjang dengan kejadian salah terkam ini. Maharini menuntut segera diangkat menjadi permaisuri. "Aku sudah bilang ada risikonya, kau bilang bodo amat." "Tapi masa minta secepat itu? Aku selesaikan dulu urusan di kerajaan Selatan." "Kalau menunggu urusanmu selesai, perutku keburu buncit! Masa puteri mahkota hamil di luar nikah?" Perempuan di jazirah ini memiliki kebiasaan membuka
"Jadi wanita itu yang membuatmu urung pergi?" tanya Maharini. "Aku tidak masalah." Maharini tidak peduli siapa perempuan yang bersama ayahandanya, ia datang untuk mengurus kepentingannya. "Kita tunggu mereka selesai bertarung." "Jadi kau mau masuk ke kamar?" "Tidak juga." "Kalau begitu tunggu apa lagi?" "Hanya sekali tusuk ribet betul urusannya." Sambil memeluk Maharini yang duduk di pangkuannya, Cakra memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Tubuh mereka lenyap seketika. Kemudian mereka muncul secara tiba-tiba di depan pintu kamar di mana Pangeran Mellow menginap. Cakra mengeringkan keringat yang menetes di keningnya. Ia mengeluarkan energi cukup besar untuk membawa Maharini bersamanya. "Ayahandamu menginap di kamar ini," kata Cakra. "Di dalam ada perempuan muda dan cantik seumuran denganmu. Mereka sudah selesai." "Cepat banget kayak kamu." "Aku baru pembukaan." "Siapa suruh tidak sampai penutup?" "Sudah sampai sini baru ngomong." Cakra pikir perempuan di dalam kamar ada
Mereka sudah berada kembali di dangau saat hujan gerimis menjelang dini hari, dengan status suami istri. Udara dingin mencucuk tubuh. Si Gemblung dan kuda betina berteduh di depan balai dangau. Mereka bercinta dengan seru untuk menghangatkan badan. "Kurang ajar," geram Cakra. "Kau sungguh makhluk yang tidak punya sopan santun." "Yayangku mengajak bercinta, Yang Mulia," dalih si Gemblung. "Aku insan biasa yang tak luput dari birahi." Si Gemblung adalah gambaran tuannya, betina pasti ketagihan kalau sudah bercinta dengannya. Percintaan mereka seolah memancing pengantin baru. "Kau nggak kepingin?" kerling Maharini mesra. Tampak Si Gemblung menusuk sampai kandas disertai erangan nikmat, seolah memanas-manasi. "Nggak," sahut Cakra. "Nggak menolak kalau kamu kepingin...!" Cakra merebahkan Maharini di balai bambu. Kemudian mereka berciuman dengan mesra. Ringkikan nikmat si Gemblung dan kuda betina menghasut mereka untuk segera melepas cawat. "Aku betul-betul puteri mahkota muraha
"Aku mesti mencobanya." Cakra memejamkan mata dan memusatkan pikiran dengan bantuan energi roh, tubuhnya lenyap seketika. Cakra muncul di dalam labirin pesanggrahan leluhur. Ia melihat Nyi Ratu Suri sedang bertafakur dalam puncak keheningan. "Maafkan aku mengganggu tirakat mu," kata Cakra. "Ratu Nusa Kencana sampai merepotkan prajurit untuk memaksaku pulang." Nyi Ratu Suri menoleh dengan terkejut, ia bertanya, "Bagaimana kau bisa masuk ke bilik labirin?" "Sekedar mencoba, dan berhasil." Cakra melihat hanya ada Nyi Ageng Permata di bilik itu, ia bertanya, "Apakah Ratu Singkawang pulang ke alam roh?" "Aku tidak tahu keberadaannya," jawab Nyi Ratu Suri. "Apakah ia pulang ke alam roh atau CLBK dengan Pangeran Sundalarang? Tapi biarkanlah, kau tidak perlu mencarinya." "Aku kuatir ia menjadi korban ledakan gerbang transisi." "Barangkali lebih baik daripada merecoki urusan Nusa Kencana." "Ia sudah mengakui kekeliruannya." "Karena kau menjanjikan tahta kepada Reksajiwa." "Apakah be
Cakra muncul di dekat kuda coklat di Hutan Gerimis. "Urusan di istana sudah beres Yang Mulia?" tanya si Gemblung. "Mestinya beres kalau mereka berpikir bijak," jawab Cakra. "Tapi istana kekurangan pemikir bijak." "Beruntung aku makhluk tidak berakal, jadi tidak perlu berpikir." "Makhluk berakal juga banyak yang tidak berpikir." "Sekalinya berpikir untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain." "Bapak pemimpin di negeri ini berpikir untuk diri sendiri dan golongan, rakyat terlupakan, bahkan tersudut oleh kenyataan." "Kuda-kuda meringkik disangka barisan sakit hati, pasukan nasi bungkus, kuda-kuda baik jadi diam." Nusa Kencana banyak diduduki oleh bangsawan bodoh berduit, kaum cendekia terpinggirkan karena kekurangan dukungan. Nusa Kencana hanya besar secara wilayah, sehingga menjadi koloni kaum bangsawan dan direndahkan dalam perserikatan kerajaan. "Ratu Purbasari mestinya memandang dari dua sisi mata uang." Ratu Purbasari hanya memikirkan kepentingan Raden Mas Arya Bimantara,