Beberapa pria perlente itu ternyata pengurus partai yang mengusung Erlangga. "Kedatangan kami untuk meminta kesediaan Pak Cakra menjadi calon bupati," kata ketua partai. "Ibu Priscillia sebagai wakilnya." Cakra memperoleh dukungan dari berbagai eksponen partai, namanya viral karena perjuangan untuk menegakkan keadilan. Ia tidak menuntut hakim dan Erlangga, padahal netizen sangat mendukung untuk menjadi pelajaran. Cakra pikir ia tidak mendapatkan apa-apa dengan pelajaran seperti itu, selain menabur dendam. "Basic ku teknologi industri," kata Cakra. "Ibu Priscillia sarjana sosial. Apa tidak terbalik, Pak?" "Begitu keinginan Ibu Priscillia, basic menurutnya nomor sekian. Terpenting, Pak Cakra bersedia berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi rakyat." "Bagaimana dapat memperjuangkan aspirasi rakyat kalau saya tidak mempunyai basic yang sesuai? Ujung-ujungnya berlagak jadi orang pintar!" Cakra tidak mengerti dengan dunia politik. Kalau knowledge tidak penting, lalu standarnya apa u
Sejak tersiar kabar Ambu menjadi bakal calon bupati, rumah tak pernah sepi dari tamu. Penampilan Ambu pun di make over sehingga warga pangling melihatnya, bahkan ia terlihat seperti ratu kecantikan ketimbang calon bupati. "Ambu mesti terlihat cantik di depan konstituen," kata Cakra. "Bertutur lemah lembut, rendah hati, jangan terpancing emosi, begitulah strateginya untuk mengambil simpati." "Aku lulus cum laude." "Pemimpin di kabupaten ini tidak perlu berotak cerdas, yang penting mengerti rakyat." "Maksudmu jadi pelayan rakyat kan?" "Jadi budak rakyat yang baik, tahan terhadap cacian dan fitnah, karena baru sebatas itu pemahaman mereka tentang kebebasan berpendapat. Jangan menghujat orang bejat karena ia akan semakin bejat dengan kata-katanya." "Masa sampai segitunya?" "Begitulah kenyataannya." Cakra membentuk tim sukses untuk membantu kelancaran sosialisasi. Jadi Ambu tidak repot menerima tamu. Tapi pagi itu penampilan Ambu kembali seperti biasanya. "Ambu mau pergi ke mana
"Aku ini sebenarnya mirip perempuan Timur Tengah atau Tiongkok?" Pertanyaan Melati membuat Cakra makin pusing. Mirip perempuan mana pun ia tidak bersedia menjadi istri. Cakra baru saja menerima kedatangan tamu dari sebuah kecamatan. Ia menjadwalkan kunjungan ke beberapa wilayah di kecamatan itu. Pada rombongan tamu, Cakra memperkenalkan Melati sebagai sekretaris berkebangsaan Tiongkok, tapi cerita ke Ambu berkebangsaan Timur Tengah. "Setahuku puteri mahkota yang mirip perempuan Tiongkok, bukan aku." "Terserah kau mau mirip perempuan Dubai atau Shanghai. Tidak penting juga kan?" "Tentu saja penting. Tuan mesti menetapkan aku mirip perempuan bangsa mana. Aku kuatir tuan disebut mencla-mencle." "Bodo amat." Melati tidak tahu kalau kepolosannya kepada Ambu membawa bencana bagi Cakra. Ambu mengultimatum ingin melihatnya menikah sebelum pilkada. Melati menyatakan bersedia. Di bangsanya menikah berarti kawin, atau bercampur tanpa ikatan. "Aku sudah bilang banyak perbedaan istilah
Pagi buta Cakra sudah bersiap-siap berangkat ke bandara untuk terbang ke Timur Tengah. Ia tak mau kepergian mereka diketahui banyak warga. Cukup keluarga yang tahu. "Kepergianku sebenarnya bukan di waktu yang tepat," kata Cakra. "Ambu minggu depan daftar calon peserta Pilkada, pasti semakin sibuk." "Jangan jadi pikiran," sahut Ambu. "Ada tim sukses, mereka dapat dipercaya untuk mengurus semua schedule. Pikirkan saja pernikahanmu di Dubai." "Ambu dan Abah mestinya ikut bersamaku." Cakra merasa ucapan itu sangat basi, sebab ia tak mengharapkan mereka pergi bersamanya. Dubai adalah kota romantis di mana menjadi tempat pernikahan yang tak pernah terjadi. Cakra berencana akan membawa mereka liburan ke Kota Emas di lain waktu. "Aku sudah mengagendakan untuk liburan ke Dubai setelah Pilkada," ujar Ambu. "Sekalian ketemu besan." Berarti Cakra mesti bersandiwara lagi nanti. Ia perlu mencari orang Dubai untuk menjadi besan pura-pura. Cakra perlu menghubungi teman kuliahnya yang bekerj
Cakra mengerahkan ilmu Tembus Pandang Paripurna dengan keringat mengucur di kening. Energinya sangat terkuras dan segera menghentikan penerawangan sebelum kehabisan tenaga. Gelombang udara di negeri manusia menjadi hambatan sehingga butuh energi besar untuk mengetahui kejadian di tempat lain. "Ambu sedang menerima lima pria berpakaian dandy, kelihatannya pengusaha. Buat apa Ambu memintaku balik lagi?" Cakra tidak sempat bertanya karena Ambu sudah lebih dahulu menutup komunikasi. Ia sudah mencoba menghubungi kembali tapi tidak diangkat. Barangkali sibuk kongkow dengan tamu besar itu. "Aku kira pengusaha itu ada hubungannya dengan firma yang tuan dirikan." "Firma tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, target operasinya penduduk kampung yang butuh wadah untuk penampungan hasil panen." "Pasti ada masalah penting sehingga tuan diminta pulang kembali. Barangkali lima pengusaha itu ingin menjadi sponsor Ambu." "Kalau kedatangan mereka untuk menjadi sponsor, Ambu sudah tahu solusin
Puteri mahkota menghambur ke dalam pelukan Cakra dan menangis tersedu-sedu. "Aku bahagia sekali kanda selamat." Cakra diam termangu. Pertemuan ini serasa mimpi baginya. Bagaimana Dewi Anjani sampai tahu ia lolos dari maut? Melati tidak mungkin berkhianat. Tuan Richard juga. Lalu siapa yang dapat menghubungi puteri mahkota selain mereka berdua? Cakra jadi serba salah menghadapi situasi ini. Ia sulit untuk membangun mimpi di negeri manusia jika puteri mahkota sudah mengetahui ia masih hidup. "Kenapa kanda tidak menyampaikan kabar kalau kanda pulang ke kampung halaman?" Dewi Anjani menciumi wajahnya dengan terharu. "Aku hampir moksa saat itu juga kalau tidak mengingat bayi dalam kandunganku." Cakra menjawab dengan gugup, "Aku ... aku pulang karena takdir." "Maksud kanda?" "Saat gerbang transisi meledak, aku terlempar ke angkasa dan terjatuh di hutan bunian di luar gerbang labirin." "Kanda kan bisa memberi kabar kepadaku." "Aku belum sempat." "Aku tahu kanda sibuk mengurus kampa
"Kau sebaiknya kembali ke istana Nusa Kencana, sri ratu sangat membutuhkan dirimu." Ambu menasehati putranya saat tamu lagi sepi. Mereka berkumpul di dalam rumah. Kehamilan Dewi Anjani menuntut Ambu untuk berpikir logis, bahwa Cakra bukan lagi miliknya. "Aku keliru kalau melarangmu pergi, tapi aku minta sewaktu-waktu kau pulang untuk mengobati rasa rinduku." "Terima kasih atas pengertian Ambu," kata Dewi Anjani. "Bahkan aku senang sekali kalau Ambu dan Abah berkenan untuk berkunjung ke istana." "Bukankah selama tujuh generasi kunjungan itu tidak ada?" "Bukan tidak ada, tapi manusia dengan garis tangan tertentu saja yang bisa melewati gerbang labirin." "Berarti garis tangan aku dan Abah cocok?" "Putra Ambu adalah calon Raja Agung. Ia berwenang memerintahkan gerbang labirin untuk meloloskan pemindaian siapa saja yang dikehendakinya." "Apakah setiap calon terpilih memiliki garis tangan tertentu?" "Ya." "Tapi kenapa mereka tidak ada yang pernah kembali walau sekedar berkunjung
Dimas Agusti Bimantara sangat senang dengan kedatangan Dwipa Agusti Bimantara beserta putranya di mansion yang sangat mewah itu. "Maafkan aku tidak sempat menyambangi kang mas sewaktu di Rutan," kata Dimas. "Kang mas menghilang lama sekali, tahu-tahu muncul berita yang menghebohkan." Dwipa memutuskan komunikasi dengan klan Bimantara untuk menghindari perjanjian leluhur, sehingga mengundang tanda tanya besar bagi mereka. Mereka sangat terkejut saat Dwipa terlibat kasus pembunuhan, hal yang belum pernah terjadi pada klan Bimantara. Mereka senang sekali saat terjadi kesalahan putusan pengadilan karena tergiring opini publik. "Perkenalkan ini putraku," kata Abah. "Cakra Agusti Bimantara." "Putra kang mas sungguh gagah sekali. Pantas saja kang mas berusaha menyelamatkan dari perjanjian leluhur." "Masalah itu sudah selesai." Dimas menerima mereka di ruang tamu dengan interior sangat indah. Cakra jadi berpikir kehidupan ayahnya dulu pasti semewah ini. Alangkah besar pengorbanan unt