"Jangan salahkan kabut racun asmara." Nyi Ratu Suri tersenyum berlumur madu sambil mengenakan pakaian, lalu duduk di samping Cakra yang sudah rapi. "Kita sama-sama menginginkan." "Seharusnya tidak terjadi." "Seharusnya terjadi sejak awal. Kau begitu tangguh menahan hasrat, padahal pengantin baru." Cakra sampai lupa kalau ia belum lama mengikat janji suci bersama Puteri Rinjani. Tapi kenangan yang tercipta lebih membekas bersama Nyi Ratu Suri. Barangkali karena ikatan itu terjadi bukan atas nama cinta. "Jadi kau menunggu?" "Aku tidak menunggu! Tapi siapa pikirmu yang mampu menolak ksatria setampan dirimu?" Kegalakan Nyi Ratu Suri rupanya hanya benteng untuk mencegah terjadinya kemesraan, namun runtuh juga. "Aku membiarkan kabut racun asmara mempengaruhi jiwaku. Aku bersemedi untuk mengatur hasrat supaya tidak kelihatan seperti perempuan murahan." "Bagaimana kalau aku tidak menginginkan?" "Pikirmu ksatria mana yang mampu bertahan dari keindahan ratu bidadari?" "Pede banget."
"Kabut kenikmatan datang." Cakra memandang Nyi Ratu Suri penuh arti. Kabut racun asmara turun menyapa alam sekitar dengan aroma khas. "Kau yakin mau lagi?" Nyi Ratu Suri merasa tersanjung Cakra sangat berhasrat kepadanya. Padahal sepanjang siang hujan deras dan mereka mengisi waktu dengan keringat cinta. Ia merelakan pemuda itu memanjakan tubuhnya jengkal demi jengkal. Jeda hanya saat makan. Cakra seakan tidak merasa lelah menjadi joki, selalu ada dorongan untuk memulai, padahal ratu bidadari bukan kuda binal. "Pertanyaan itu untuk ksatria bodoh." "Bagaimana dengan lima perempuan yang bersembunyi di balik pohon?" Lima pendekar wanita sudah mengintai di kegelapan sebelum turun kabut. "Justru aku menginginkan mereka keluar dengan mencumbu dirimu." "Kau tidak malu?" "Memberi tontonan gratis lagi marak di Bukit Penamburan." "Maksudku kau tidak malu pendekar besar dianggap stres ngomong sendiri?" Cakra baru sadar Nyi Ratu Suri tidak menampakkan diri secara kasat mata. Hanya ia
"Jadi kau calon selir ketua baru?" Cakra mendatangi Selendang Ungu yang berdiri dengan tangan terentang ke depan mirip vampir. Empat pendekar lain masih terduduk kelelahan di tanah. "Bagaimana ketua baru bisa mengambil selir dari bangsa Incubus yang belum menjadi roh?" "Aku calon selir di alam nyata." "Enak sekali jadi ketua Dewan Agung, bisa mengambil selir sesuka hati. Lucunya kau bangga menjadi budak seks!" "Suatu kehormatan menjadi selir bagi ketua. Mereka adalah perempuan pilihan di jazirah ini." "Bullshit! Tahta membuatmu silau! Sudi mencampakkan pangeran dari kerajaan Tandem yang ingin mempersunting mu menjadi istri!" Selendang Ungu terkejut. "Bagaimana kau tahu?" "Aku tahu semua kejadian di daratan ini. Semut pun tak luput dari perhatianku." Padahal Cakra mendapat bisikan dari Nyi Ratu Suri. Ia malas menerawang sampai sejauh itu. "Berarti benar kau adalah calon Raja Agung." Hanya Raja Agung yang mempunyai kepedulian pada semua makhluk di dataran ini. Ia akan menghuk
"Rasanya berat sekali meninggalkan dangau." Cakra dan Nyi Ratu Suri berjalan bersisian, membuntuti Melati yang menggiring empat sahabatnya yang berjalan melompat-lompat seperti vampir. Dangau itu menjadi saksi mereka melewati malam-malam indah. Malam yang sulit terlupakan, berawal dari bercanda kemudian menjadi malam penuh kenikmatan. "Dangau itu telah memewahkan cinta," bisik Nyi Ratu Suri mesra. "Kau adalah ksatria yang pandai memanjakan wanita." Cakra memandang tak percaya. "Cinta? Jadi...?" "Apakah puteri mahkota tidak boleh memiliki rasa cinta kepada sang pangeran?" Nyi Ratu Suri tersenyum manis. "Melati sangat percaya kalau aku adalah Anjani." Mengangkat Melati jadi pelayan pribadi adalah kesalahan konyol. Cakra kira Nyi Ratu Suri bakal merasa tersisihkan, namun justru berani menampakkan diri sehingga bisa dilihat secara kasat mata. Melati percaya kalau Nyi Ratu Suri adalah puteri mahkota. Ia bahkan menawarkan diri menjadi dayang pribadi. Cakra jadi makin sulit melepaska
"Kurang ajar!" Tapak Mega menggebrak meja sampai ambrol, padahal terbuat dari kayu langka atos. Matanya menyala-nyala terbakar kemarahan. Gerahamnya bergemerutuk menahan emosi yang membludak. Semua pendekar utama yang berada di ruangan itu terduduk diam dengan kepala menunduk. "Pendekar Lembah Cemara harus mampus di tanganku!" "Kendalikan emosimu, kakang," kata Madeline. "Kau mestinya senang anak kita ternyata masih hidup." Pangeran Penamburan dan Srikiti sudah dinyatakan gugur dalam pertarungan di hutan kayu. Sebuah pukulan telak lantaran serangan balasan menemui kegagalan, banyak pendekar utama jadi korban. Tahu-tahu kini ada kabar Pangeran Penamburan dan Srikiti disandera Cakra, dan ia minta pertukaran. "Rasa senangku tidak mengurangi rasa benciku kepada pemuda keparat itu! Apa maksudnya minta pertukaran dengan Rismala?" Tapak Mega benar-benar tidak mengerti pendekar gagah perkasa menginginkan perempuan separuh baya. Rismala masih terlihat cantik dan seksi, tapi perempuan
"Aku bukan pengkhianat!" Melati memandang mereka dengan tajam. Tangan Srikiti dan Pangeran Penamburan tergantung pada tugu kelamin pria di tepi ngarai. Keringat mengucur di dahi mereka tersengat matahari. Di sekitar tugu tidak ada pepohonan. "Aku muak dengan apa yang kulihat di Bukit Penamburan. Ketika pendekar besar memintaku untuk menemani pengembaraan, maka saat paling tepat untuk membuang rasa muak itu." "Mulutmu sangat lancang, Melati," geram Pangeran Penamburan. "Kau akan menerima ganjaran sangat pedih dariku." "Kapan kau memberi ganjaran sangat pedih? Setahuku kau memberi ganjaran yang menyebabkan mereka ketagihan. Aku melihat kebebasan yang digaungkan baru sebatas hubungan badan." Melati termasuk aktivis reformasi yang getol menyuarakan perubahan pada kehidupan sosial, mendukung hak asasi yang dicanangkan perserikatan kerajaan. Berhubung hak asasi banyak dikangkangi perserikatan, Melati berhenti berjuang. Ia terpeleset masuk kelompok pengacau Bidadari Pencari Cinta, di m
"Takut hanya milik para pecundang." Cakra kelihatan sangat tenang menghadapi kepungan ratusan pendekar sakti. Mereka membawa berbagai senjata pusaka, sebagian bertangan kosong. Sebuah keniscayaan dapat lolos kalau Cakra tidak memiliki ilmu Pindah Raga. Tapi ia tidak berniat melarikan diri. "Aku menunggu di ngarai sebagai ksatria Nusa Kencana." "Begitu yakinnya dirimu dapat pergi dengan bernyawa," dengus Brastagi meremehkan. "Rupanya kau belum kenal siapa aku." "Kau adalah kakek peot yang kerjanya mengintip Rismala mandi dan berharap dapat sedekah kenikmatan, padahal sudah dapat jatah dari Srikiti, perempuan muda berselera buruk." Brastagi merah padam kartu jebloknya dibongkar di depan umum. Padahal Cakra hanya menebak dan kebetulan tepat. Brastagi sudah mencacahnya jadi rica-rica kalau tidak teringat amanat Tapak Mega untuk menangkap hidup-hidup. "Aku minta lepaskan keponakanku," tegas Rismala. "Kau dijamin selamat." "Aku tidak perlu jaminan. Aku tinggal menendang dua kutu ku
"Kurang ajar! Kalian cari mampus mempermainkan aku!" Brastagi melotot marah. Tangannya mengepal keras sampai bergemeretak, dari mulutnya meluncur suara meradang. Golok Santet tersenyum sinis. "Ada yang jealous rupanya." "Makhluk roh sinting," maki Cakra. "Golok Santet bermain dengan Srikiti, kau marah-marah. Abangnya saja woles." "Kalian pendekar bermulut lancip! Tidak pantas dibiarkan hidup!" Brastagi tak dapat lagi menahan amarah. Ia maju menyerang, disusul kakek berjenggot putih. "Kau layani si jenggot putih," kata Cakra. "Aku meladeni si kakek peot, aku ilfil melihat makhluk roh cabul." Serbuan Brastagi nyaris tak tertangkap mata saking cepatnya. Pukulan dan tendangan laksana kisaran kincir sehingga terlihat seperti siluet tak beraturan. Cakra menghadapi dengan jurus Camar Di Ranting Cemara. Kekuatannya semakin hebat sejak ia bercinta dengan Nyi Ratu Suri. Cakra curiga ratu bidadari memindahkan intisari roh secara bertahap sampai ia kehilangan semuanya dan menjadi kuda ter