"Aku bukan pengkhianat!" Melati memandang mereka dengan tajam. Tangan Srikiti dan Pangeran Penamburan tergantung pada tugu kelamin pria di tepi ngarai. Keringat mengucur di dahi mereka tersengat matahari. Di sekitar tugu tidak ada pepohonan. "Aku muak dengan apa yang kulihat di Bukit Penamburan. Ketika pendekar besar memintaku untuk menemani pengembaraan, maka saat paling tepat untuk membuang rasa muak itu." "Mulutmu sangat lancang, Melati," geram Pangeran Penamburan. "Kau akan menerima ganjaran sangat pedih dariku." "Kapan kau memberi ganjaran sangat pedih? Setahuku kau memberi ganjaran yang menyebabkan mereka ketagihan. Aku melihat kebebasan yang digaungkan baru sebatas hubungan badan." Melati termasuk aktivis reformasi yang getol menyuarakan perubahan pada kehidupan sosial, mendukung hak asasi yang dicanangkan perserikatan kerajaan. Berhubung hak asasi banyak dikangkangi perserikatan, Melati berhenti berjuang. Ia terpeleset masuk kelompok pengacau Bidadari Pencari Cinta, di m
"Takut hanya milik para pecundang." Cakra kelihatan sangat tenang menghadapi kepungan ratusan pendekar sakti. Mereka membawa berbagai senjata pusaka, sebagian bertangan kosong. Sebuah keniscayaan dapat lolos kalau Cakra tidak memiliki ilmu Pindah Raga. Tapi ia tidak berniat melarikan diri. "Aku menunggu di ngarai sebagai ksatria Nusa Kencana." "Begitu yakinnya dirimu dapat pergi dengan bernyawa," dengus Brastagi meremehkan. "Rupanya kau belum kenal siapa aku." "Kau adalah kakek peot yang kerjanya mengintip Rismala mandi dan berharap dapat sedekah kenikmatan, padahal sudah dapat jatah dari Srikiti, perempuan muda berselera buruk." Brastagi merah padam kartu jebloknya dibongkar di depan umum. Padahal Cakra hanya menebak dan kebetulan tepat. Brastagi sudah mencacahnya jadi rica-rica kalau tidak teringat amanat Tapak Mega untuk menangkap hidup-hidup. "Aku minta lepaskan keponakanku," tegas Rismala. "Kau dijamin selamat." "Aku tidak perlu jaminan. Aku tinggal menendang dua kutu ku
"Kurang ajar! Kalian cari mampus mempermainkan aku!" Brastagi melotot marah. Tangannya mengepal keras sampai bergemeretak, dari mulutnya meluncur suara meradang. Golok Santet tersenyum sinis. "Ada yang jealous rupanya." "Makhluk roh sinting," maki Cakra. "Golok Santet bermain dengan Srikiti, kau marah-marah. Abangnya saja woles." "Kalian pendekar bermulut lancip! Tidak pantas dibiarkan hidup!" Brastagi tak dapat lagi menahan amarah. Ia maju menyerang, disusul kakek berjenggot putih. "Kau layani si jenggot putih," kata Cakra. "Aku meladeni si kakek peot, aku ilfil melihat makhluk roh cabul." Serbuan Brastagi nyaris tak tertangkap mata saking cepatnya. Pukulan dan tendangan laksana kisaran kincir sehingga terlihat seperti siluet tak beraturan. Cakra menghadapi dengan jurus Camar Di Ranting Cemara. Kekuatannya semakin hebat sejak ia bercinta dengan Nyi Ratu Suri. Cakra curiga ratu bidadari memindahkan intisari roh secara bertahap sampai ia kehilangan semuanya dan menjadi kuda ter
"Bantu aku, Cakra!" Pangeran Penamburan dan Srikiti mengerahkan seluruh tenaga dalam, mengadu kesaktian dengan kakek berjenggot putih. Dua gulung cahaya bentrok berusaha saling mengalahkan. "Aku berikan separuh harta karun di Bukit Penamburan!" "Aku tidak ada urusan dengan kalian!" Cakra pergi meninggalkan ngarai. Ia memperkirakan tidak ada pemenang dalam adu kesaktian itu. Mereka bertiga akan mati. Adanya harta karun di Bukit Penamburan membuat Tapak Mega berani membayar mahal pendekar berkepandaian tinggi. Seharusnya harta itu untuk kesejahteraan rakyat kadipaten. Cakra melihat beberapa mayat pemberontak tergeletak di antara pepohonan. Pertarungan sengit masih berlangsung antara lima tokoh istana dengan sepuluh pendekar wanita. "Aku hadapi mereka!" seru Cakra sambil jungkir balik di udara dan masuk ke kancah perkelahian. "Kalian bantu teman-teman di tempat lain!" "Baik, gusti pangeran," kata tokoh senior istana. Mereka berkelebat pergi ke lokasi lain. Bentrokan terjadi di b
"Keluarkan seluruh kemampuanmu kakek jelek, supaya tidak mati penasaran!" Pendekar berpita merah menyerang Ranggaslawi dengan pukulan bertubi-tubi, sementara keempat kawannya menghantam dari arah lain. Kepandaian lima pendekar wanita itu sebenarnya berada di bawah Ranggaslawi, namun energinya cukup terkuras saat menghadapi guru mereka. Mereka kalap waktu menemukan gurunya tewas dalam adu kesaktian dengan pendekar botuna itu. "Kakek jelek sepertimu tidak pantas hidup di muka bumi!" Ranggaslawi jungkir balik di udara keluar dari medan pertarungan dan hinggap di sebuah dahan. Ia sulit mengalahkan lima pendekar itu di areal terbuka. Mereka sangat leluasa melancarkan serangan secara bergelombang. "Kau mau kabur ke mana kakek jelek?" Ranggaslawi jadi keki. "Kau senang sekali menyebutku kakek jelek! Ada dendam apa kau sama kakekmu? Aku yakin kakekmu lebih jelek!" "Jahanam!" Pendekar berpita merah memburu ke atas dahan. Keempat temannya heran. "Mengapa ia sangat marah kakeknya dibila
"Mengapa baginda ratu selalu mengacaukan rencanaku?" Cakra memandang tajam kepada Mahameru dan Jendral Perang. Laporan mereka belum pernah menggembirakan. Ratu Nusa Kencana mengirim separuh kekuatan tokoh istana untuk menggempur markas besar pemberontak, bersamaan dengan pengiriman bantuan untuk pertempuran di hutan perbatasan. Sebuah keputusan sangat gegabah mengingat informasi telik sandi tidak akurat. "Apa yang mendasari keputusan sri ratu sampai mengeluarkan keputusan konyol? Bagaspati tidak memberi tahu kalau peta markas besar dari telik sandi absurd?" Pengetahuan telik sandi sangat terbatas tentang landscape kediaman Tapak Mega. Mereka sulit mencari informasi akurat. Beberapa di antara mereka tertangkap dan tidak diketahui nasibnya. "Bagaspati sudah mengingatkan bahwa informasi telik sandi absurd sejak mendapat komplain dari gusti pangeran, patik juga sudah memberi tahu kalau situasi belum memungkinkan, Jendral Perang bahkan menentang keras penyerbuan secara sporadis, ia s
"Puteri mahkota sangat kecewa dengan keputusan sri baginda yang merendahkan pangeran." Mahameru terduduk lesu di kursi. Wajahnya berawan seakan menanggung beban berat. "Gusti puteri ingin mengasingkan diri di Istana Rajapati sampai masa kelahiran, maka itu gusti puteri memandang perlu untuk berjumpa dengan pangeran." Perseteruan mereka sulit dihindarkan, pikir Cakra kelu. Dewi Anjani pasti tidak rela ibundanya campur tangan urusan di Bukit Penamburan. Keputusan Ratu Nusa Kencana menimbulkan kegaduhan, dan selalu mengulangi kesalahan serupa. Padahal puteri mahkota sudah menyerahkan sepenuhnya kepada mereka. Sekarang perseteruan mencapai puncak dengan minggatnya puteri mahkota dari Istana Kotaraja. Berarti ia benar-benar sulit menerima keputusan ibundanya. "Puteri mahkota semestinya memahami kalau sri baginda terpaksa melangkahi diriku untuk menyelamatkan leluhur Nusa Kencana." "Gusti puteri percaya pada keterangan kami kalau Nyi Ratu Suri ada bersama pangeran. Menurutnya tidak mu
"Apakah tiga puluh belum cukup bagimu?" Rismala mendelik marah saat Ranggaslawi masuk ke pesanggrahan. Ia berbaring di atas tempat tidur dalam keadaan tertotok. "Sekarang kau memintaku jadi istri terakhir!" "Aku akan menceraikan mereka jika kau bersedia married denganku. Aku ingin menghabiskan sisa umur di Amsterdam, kota impianmu." "Bebaskan aku!" "Aku akan membebaskan dirimu kalau kau berhenti berteriak. Kau mestinya berpikir kenapa aku tidak menjamahmu, aku ingin kau ikhlas melayani, aku sangat menyayangimu." Rismala mengakui pendekar botuna sangat bebas berbuat apa saja karena ia tak berdaya. "Tua bangka tidak tahu malu!" "Kalau tahu malu, aku tidak jatuh cinta kepadamu." "Kenapa kau tidak memilih satu di antara istrimu untuk menghabiskan hari tua di Amsterdam?" "Mereka married denganku lantaran duit, aku lantaran nafsu. Jadi apa yang tersisa nanti di kota romantis?" "Kau tahu aku tidak pernah mencintaimu!" "Tapi aku sangat mencintaimu. Aku tidak peduli bagaimana perasa