Semua mata memandang heran ke arah perempuan berpakaian pelayan yang muncul di pintu. Hari ini tidak ada pengumuman penambahan pelayan baru, meski mereka kewalahan melayani tamu yang akan menghadiri pesta rembulan malam nanti. "Kim So Hyun," cetus kepala pelayan surprise. "Anda sengaja datang dari Korea untuk menghadiri pesta rembulan? Amazing! Tapi kenapa anda berpakaian pelayan?" "Kim So Hyun adalah idola saya," ujar perempuan itu malu-malu. "Nama saya Ati kalau di rumah, kalau di open BO nama saya Ita, di istana nama saya Tia, di toilet nama saya ..." "Tai!" jawab mereka serempak. "Jadi namamu Tia?" Kepala pelayan merubah ekspresi wajah supaya kelihatan berwibawa. Ia senang ada yang menandingi kecantikannya, ini bisa mendekatkan mereka. "Saya sampai tidak tahu ada pelayan baru." "Tante Nuri meminta saya untuk menggantikan posisinya selama ia sakit. Saya disuruh menemui kepala pelayan, ibu Nancy Momoland." "Nama saya bukan Nancy Momoland," kata kepala pelayan. "Nama saya Ria ka
"Membubuhkan sesuatu?" Puteri Rinjani terkejut. "Racun maksudmu?" "Pil koplok," jawab Tia. "Di mana gusti puteri jadi koplok kalau meminumnya, hilang sadar dan hilang malu untuk berbuat sesuatu." "Berbuat sesuatu? Berbuat apa?" "Berbuat hal yang melanggar sesuatu." "Melanggar sesuatu? Kamu itu pelayan sesuatu ya?" "Betul gusti puteri. Saya ini pelayan sesuatu; dari sesuatu, oleh sesuatu, dan untuk sesuatu." "Karena ingin sesuatu? Kau ini pelayan sesuatu yang sesuatu banget." "Benar apa yang dikatakan Tia, Lembayung?" tatap rabi Sitani tajam. "Kau telah membubuhkan sesuatu pada sesuatu untuk sesuatu karena ingin sesuatu?" Puteri Rinjani heran rabi Sitani ketularan pelayan, ia bertanya, "Apakah rabi terkena sesuatu sehingga terjadi sesuatu yang mengakibatkan sesuatu?" "Aku sulit menghindarkan ucapanku dari sesuatu, barangkali lantaran melihat sesuatu sehingga terjadi sesuatu." "Aku juga sulit menghindarkan ucapanku dari sesuatu." "Aku kira gusti puteri dan rabi sudah kena efek
Ranggaslawi dan pendekar golongan putih bengong melihat kambing hitam berpakaian pelayan dikejar-kejar beberapa pengawal istana. Mereka sedang mengamati situasi istana yang sangat lengang dari atas pohon, tiba-tiba muncul serombongan pengawal berusaha menangkap kambing hitam. "Kambing itu kelihatannya menolak dijadikan kambing guling untuk pesta rembulan," komentar Golok Santet. "Pasti kambing jantan." Beberapa pendekar bayaran turut memburu. Tapi kambing hitam begitu sulit ditangkap. Satu pengawal istana bahkan terjengkang diseruduk saat mencoba menghadangnya. "Dasar perempuan," decak Ranggaslawe melecehkan. "Menangkap kambing saja tidak mampu." "Kita bergerak sekarang," kata Jendral Perang. "Mumpung mereka disibukkan oleh kambing hitam." Mereka melompat ke atas benteng. Istana sepertinya tidak menyiapkan pertahanan berlapis, tidak ada sambutan pasukan panah untuk menghalau. "Penjagaan istana longgar sekali," ujar Pendekar Tak Bernama. "Mereka kelihatannya merasa yakin tidak ad
Ranggaslawi dan pendekar golongan putih mulai kewalahan melumpuhkan lawan. Setiap kali mereka berhasil menotok pendekar bayaran, rabi Sitani datang membebaskan sehingga dapat bertarung lagi. Beberapa pendekar masih berdiri kaku menunggu pertolongan rabi Sitani. Hanya pendekar yang mempunyai energi inti sangat tinggi yang mampu melepaskan totokan itu. Ranggaslawi merasa usaha yang dilakukan jadi percuma. Tenaga mereka bisa habis terkuras menghadapi para pendekar berilmu tinggi itu. "Kalian hadapi mereka!" teriak Ranggaslawi. "Aku akan menghajar rabi pecicilan itu!" Ranggaslawi melompat tinggi-tinggi dan berguling di udara mencoba keluar dari kepungan. Namun ia sulit mendekati rabi Sitani karena anak buahnya datang menghadang silih berganti. Jendral Perang bingung memutuskan. Mereka bisa mati konyol kalau bertarung sekedar untuk melumpuhkan, tapi ia tak berani membangkang perintah putera mahkota untuk tidak menumpahkan darah. "Celaka," keluh Jendral Perang seraya mengelak dari sera
Jendral Perang dan Iblis Cinta terlibat pertarungan seru dan sengit dengan tiga pengawal utama istana. Dua pengawal sudah berhasil dilumpuhkan. Tapi apa yang terjadi di halaman istana sedikit pun tak mengundang perhatian Puteri Rinjani. Ia melesat ke atas benteng istana diiringi lima dayangnya. Puteri Rinjani menjadikan pucuk pohon sebagai titian untuk melesat secepat mungkin di udara, berlomba dengan waktu untuk segera sampai di gerbang fatamorgana. "Semoga pengawal utama sudah berhasil membungkus patung salju dengan anyaman daun mertua, sehingga tidak hancur tersambar petir," kata dayang senior. "Aku lihat pengawal utama sudah kembali dan sedang bertarung dengan Jendral Perang dan Iblis Cinta," sahut dayang junior. "Tapi aku heran di mana mereka meletakkan patung salju." "Aku kira bukan mereka yang ditugaskan untuk memindahkan patung salju. Butuh waktu lama untuk mengerjakan karena patung itu sangat berbahaya." Kelima dayang itu kewalahan mengejar puteri mahkota sehingga tertin
Ranggaslawi membuang mayat rabi Sitani ke altar batu untuk jadi santapan burung bangkai. Beberapa ekor burung bangkai terbang berputar-putar di sekitar altar batu. Biasanya hari ketiga jadi santapan kalau mati secara normal. "Aku punya sahabat gampang sekali CLBK," keluh Ranggaslawi. "Padahal mantannya segambreng. Apa ia mau mengangkat semuanya jadi istri di alam roh? Ki Gendeng Sejagat sudah mengambil risiko besar karena tak dapat menahan nafsu. Ia seharusnya menunggu rabi Sitani moksa supaya tidak berubah wujud jadi nenek renta di alam roh. Jadi ia sekarang terpaksa menerima jadi istrinya. Rabi Sitani jelas menolak tinggal ratusan tahun di gerbang siksa untuk kembali menjadi perempuan cantik dan seksi. Ia sendiri memilih berwajah buruk rupa ketimbang menjalani hukuman. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan rabi Sitani?" tanya Golok Santet tak habis pikir. "Tak cukup alasan untuk moksa. Setan jengkol saja tidak tertarik pada body goal-nya kalau sudah jadi mayat." "Pasti tidak tert
Air terjun bergemuruh dan jatuh berbuih-buih di telaga dan mengalir ke Sungai Suci. Bulan hampir penuh terombang ambing dalam riak air jernih. Di antara derasnya hunjaman air terjun terdapat batu ceper besar di mana Cakra duduk bersila bertafakur memulihkan energi inti dengan bertelanjang dada. Ia berniat tirakat sampai purnama tiba besok malam. Hanya butuh satu purnama lagi untuk menguasai ilmu Salin Raga, dari seharusnya enam purnama. Ilmu Salin Rupa dari Konde Emas mempercepat proses itu. "Tumben kakek edan itu tidak mendampingiku," gumam Cakra. "Padahal aku ingin mengguruinya karena belum ada murid menggurui gurunya." Cinta tanpa keagungan hati begitu jadinya. Ia mempunyai dua istri cantik jelita dan satu nenek renta. Ia dan rabi Sitani mesti pergi ke gerbang siksa untuk mengembalikan kondisi mereka seperti dulu. Menjalani hukuman lima ratus tahun bukan waktu lama untuk kehidupan abadi. Rabi Sitani pasti bersedia asalkan ditemani suaminya. Jangan sampai berakit-rakit ke hulu b
Puteri Rinjani naik ke atas batu ceper dan merangkul Cakra dari belakang, lalu mengecup lehernya dengan mesra. "Bantu aku, baby," desah puteri mahkota, nafasnya memburu didera rangsangan yang sulit dikendalikan. "Bebaskan aku dari dahaga yang mencekik jiwaku." "Kau mempunyai energi inti sangat tinggi, kau tinggal tafakur beberapa waktu dan mengerahkan energi positif untuk melenyapkan pengaruh pil koplok." "Aku ingin jalan pintas. Tapi aku tidak tahu hasrat yang menggebu ini karena pil koplok atau sangat bahagia melihatmu masih hidup?" Jemari lentik Puteri Rinjani menelusuri dada Cakra secara perlahan, nafasnya terasa hangat dan lembut menyentuh kulit pendekar tampan itu, sementara mulutnya mulai menghisap-hisap leher. "Karena ingin jalan pintas, Jendral Perang dan Iblis Cinta jadi salah kaprah," kata Cakra. "Mereka menolak tawaran bercinta dari tawanan perang yang menjadi haknya, tapi bersedia bercinta dengan dayangmu karena butuh pertolongan." "Kehormatan mereka dipertaruhkan ka