Matahari sudah naik sepenggalahan ketika Mahameru dan sahabat pendekar tiba di istana Curug Tujuh. Pintu gerbang terbuka lebar. Istana sangat lengang. "Musuh kelihatannya sudah diangkut semua," kata Gagak Betina sambil mengikuti mereka masuk ke halaman istana. "Lalu kita datang buat apa?" "Pangeran ingin menjadikan istana Curug Tujuh sebagai markas sementara," sahut Mahameru. "Di sini kita bebas menyusun strategi tanpa kuatir ada yang menguping." "Lalu Pangeran dan sahabat pendekar berada di mana?" tanya Bidadari Penabur Cinta. "Tamu undangan sudah dideportasi ke kerajaan masing-masing. Bidasari sempat marah karena tak ada pemberitahuan, padahal banyak bangsawan dari kerajaan Bunian yang terlibat." Bidasari protes keras kepada Cakra karena menangkap puteri bangsawan dari Bunian tanpa berkoordinasi dengannya. Mendeportasi tamu terhormat dengan kereta gerobak sangat menyinggung harga diri mereka, padahal ia membawa kereta wisata. "Bidasari lupa kalau dirinya berada di wilayah Nusa K
Fredy muncul dan berdiri di tepi telaga. Ia memperhatikan Cakra yang bertafakur di antara derasnya air terjun. Purnama mulai menunjukkan kemolekannya, menerangi curug dan sekitarnya. Cakra begitu kukuh ingin menguasai ilmu Salin Raga, supaya bebas pulang tanpa sepengetahuan Ratu Nusa Kencana. Ia ingin meninggalkan kerajaan untuk selamanya dan kembali menjadi anak petani di kampung. "Kau temani saja istrimu tidur di pesanggrahan," kata Puteri Rinjani. "Biar aku menjaganya." "Aku sudah berjanji menjaganya selama bertafakur," sahut Fredy. "Aku ingin memastikan sahabatku aman dari segala gangguan." Fredy kagum akan keteguhan Cakra pada janjinya. Ia rela meninggalkan harta, tahta, dan perempuan seanggun bidadari untuk mengurus kerbau, menjadi manusia biasa dan kerap menerima cacian karena kemiskinannya. Fredy sendiri tak berniat untuk pulang. Ia sudah mendapatkan segalanya di Nusa Kencana. Buat apa kembali ke negeri manusia memperebutkan kehidupan yang belum tentu dimenangkan? Fredy h
Bidadari Penabur Cinta memberi isyarat agar mereka menghampiri ke batu besar tempatnya bersembunyi. Mereka melesat dengan sebat dan dalam sekejap sudah berada di dekat Bidadari Penabur Bunga dan Kupu-kupu Madu. "Ada apa?" tanya Puteri Rinjani penasaran. "Kalian datang mengendap-endap seperti mengintip kera lagi mandi." "Air terjun sudah dikepung puluhan prajurit pemberontak," bisik Bidadari Penabur Cinta. "Kita harus siap siaga melindungi pangeran." Puteri Rinjani terkejut. Ia sudah tahu pasukan panah bertebaran di balik pohon di atas tebing di sekitar telaga. Ia kira pasukan pelindung yang berjaga-jaga dari serangan musuh. "Jadi mereka bukan pasukan Kotaraja?" cetus Puteri Rinjani tercekat. "Pasukan Kotaraja baru tiba besok pagi," jawab Bidadari Penabur Cinta. "Mereka hanya bertahan di kaki bukit membuat pagar betis." "Ranggaslawi dan sahabat pendekar berada di mana?" tanya Fredy. "Mereka di atas tebing menghadapi para pendekar bayaran, sebagian berusaha melumpuhkan prajurit t
Pada saat situasi kritis, Cakra mengirim pesan lewat getaran batin, "Gunakan ilmu Bidadari Mengurai Jiwa." Puteri Rinjani terkejut, ia protes, "Pukulan sihir terlarang di Nusa Kencana. Aku tidak mau mendapat kutukan." "Kau hanya bisa mengalahkan Selendang Petir dengan ilmu sihir." "Wajahku nanti buruk rupa. Aku tidak mau terlihat jelek di matamu." "Bagaimanapun bentuk rupamu kau adalah calon permaisuri kedua." Puteri Rinjani mengakui ia pasti kalah kalau bertahan dengan jurus selendang. Rismala tiada tanding dengan selendang petirnya. Nyawanya pasti melayang kalau terlambat menghindar sedetik saja. Serangan selendang petir demikian dahsyat mengincar setiap titik lemah di sekujur tubuhnya. Puteri Rinjani memutuskan untuk menggunakan ajian Bidadari Mengurai Jiwa sesuai saran Cakra. Ia melompat mundur beberapa hasta, tangannya meliuk di udara membentuk gerakan mirip penari balet. Rismala kaget, ia berseru, "Kau sungguh nekat, Rinjani! Kau berani menantang kutukan para leluhur!" I
"Kau tidak perlu merasa risih," kata Cakra. "Aku masih ada rasa hormat untuk melihatmu secara utuh. Bahkan aku seharusnya memanggilmu ibunda suri, tapi canggung lantaran kau kelihatan seumuran garwaku." Nyi Ratu Suri memeriksa suhu Cakra dengan menempelkan punggung tangan di dahinya. "Normal," kata Nyi Ratu Suri. "Nggak demam." "Aku ngomong lurus dikira mengigau," gerutu Cakra. "Kau kelihatan gemoy kalau ngomong lurus." Cakra senang Nyi Ratu Suri mulai suka bercanda. Kecantikannya jadi semakin tiada perumpamaan di muka bumi. "Kenapa kau memandangku seperti itu?" selidik Nyi Ratu Suri. "Udara dingin tidak membuatmu salah melihat kan? Aku dan garwamu ibarat sosis dipotong dua, tapi kau pasti hapal wangi tubuh garwamu." "Aku curiga kau sudah berbohong padaku," kata Cakra. "Ki Gendeng Sejagat bukan jatuh sakit karena dirudapaksa Konde Emas. Ia pernah bilang padaku bahwa roh merasakan seperti apa yang dirasakan makhluk di alam nyata, tapi tidak pernah terserang penyakit." Wajah Nyi
"Kelinci hutan sungguh lezat." Cakra menyantap daging iga dengan lahap. Ia belum pernah makan kelinci bakar, paling singkong atau ubi bakar. Banyak makanan enak belum pernah dinikmati di negeri manusia, harganya tidak terjangkau. Tapi Cakra tidak menyesal meninggalkan segala kemewahan demi keluhuran kasih sayang orang tua. "Besok Abimanyu datang membawa lima puluh ribu keping emas," kata Cakra. "Jendral Perang kebagian juga, masing-masing menerima dua ribu tujuh ratus keping emas, sisanya untuk puteri mahkota kerajaan Sihir." "Kau berikan semuanya tidak masalah," sahut Ranggaslawi. "Aku dan sahabat pendekar sudah cukup dengan hadiah yang diberikan baginda ratu." "Betul," ujar Pendekar Tak Bernama. "Aku malu memperoleh hadiah berlimpah seolah aku bukan terlahir di negeri ini." Cakra tahu rasa cinta mereka pada Nusa Kencana tak bisa diukur dengan materi, meski baginda ratu tidak pernah mengundang ke istana karena kebengalan mereka. "Aku menghargai alasan kalian, tapi uang itu hak
Acara ritual penyatuan berlangsung khidmat, semua pendekar golongan putih terlibat dalam prosesi. Selesai mengikat janji, Cakra dan Puteri Rinjani meminta keberkahan kepada Nyi Ratu Suri yang hadir bersama beberapa pembesar kerajaan Pasir Galih. Sebuah kemuliaan bagi mereka disambangi pejabat istana di masa lalu. Awalnya banyak yang terkecoh, mengira puteri mahkota Nusa Kencana datang tanpa diundang, tapi melihat pengiringnya satu pun tidak dikenal. "Selamat menjadi pemimpin bagi garwamu," kata Nyi Ratu Suri seraya cipika cipiki. "Belajarlah dari lingkungan terkecil sebelum menjadi pemimpin besar. Semua butuh proses, tidak ada yang instan." "Kecuali mie instan," senyum Cakra. "Acara ini jadi sangat meriah dengan kehadiran ibunda suri dan pejabat Pasir Galih, sebuah kehormatan tak ternilai bagi kami." "Terima kasih atas restunya, ibunda suri," ucap Puteri Rinjani berurai air mata. "Sungguh kebahagiaan tiada terkira dengan berkenannya ibunda suri dan pembesar istana di masa lalu me
"Sialan! Kamarnya pakai pagar mantera!" Ranggaslawe menendang dinding dengan jengkel. Papan dari kayu langka itu jebol, tapi tidak merusak dinding bagian dalam. "Pelit sekali mereka!" Di Kadipaten Barat mengintip secara massal sudah jadi budaya, tapi sunatan massal tidak ada. Kawin massal banyak, pesta seks. Tukar pasangan dan menyaksikan istri bercinta dengan pria lain bukan lagi hal tabu. Kaum bangsawan sangat mendukung budaya ini meski secara diam-diam. Standar moral adalah tong kosong berbunyi nyaring. "Mahameru bukan pejabat yang suka berbagi," gerutu Ranggaslawe. "Meski sekedar buat cuci mata." Pintu pesanggrahan terbuka, Mahameru muncul dari dalam, dan berkata, "Kalau mau cuci mata, di dapur banyak wastafel." Pintu ditutup kembali, terdengar bunyi gerakan anak kunci. "Brengsek," maki Ranggaslawi. "Pakai dikunci segala. Memangnya kita kepingin banget apa mengintip bujang lapuk bercinta?" "Kalau nggak kepingin banget, terus buat apa Golok Santet naik ke plafon?" teriak M