Ranggaslawi dan pendekar golongan putih mulai kewalahan melumpuhkan lawan. Setiap kali mereka berhasil menotok pendekar bayaran, rabi Sitani datang membebaskan sehingga dapat bertarung lagi. Beberapa pendekar masih berdiri kaku menunggu pertolongan rabi Sitani. Hanya pendekar yang mempunyai energi inti sangat tinggi yang mampu melepaskan totokan itu. Ranggaslawi merasa usaha yang dilakukan jadi percuma. Tenaga mereka bisa habis terkuras menghadapi para pendekar berilmu tinggi itu. "Kalian hadapi mereka!" teriak Ranggaslawi. "Aku akan menghajar rabi pecicilan itu!" Ranggaslawi melompat tinggi-tinggi dan berguling di udara mencoba keluar dari kepungan. Namun ia sulit mendekati rabi Sitani karena anak buahnya datang menghadang silih berganti. Jendral Perang bingung memutuskan. Mereka bisa mati konyol kalau bertarung sekedar untuk melumpuhkan, tapi ia tak berani membangkang perintah putera mahkota untuk tidak menumpahkan darah. "Celaka," keluh Jendral Perang seraya mengelak dari sera
Jendral Perang dan Iblis Cinta terlibat pertarungan seru dan sengit dengan tiga pengawal utama istana. Dua pengawal sudah berhasil dilumpuhkan. Tapi apa yang terjadi di halaman istana sedikit pun tak mengundang perhatian Puteri Rinjani. Ia melesat ke atas benteng istana diiringi lima dayangnya. Puteri Rinjani menjadikan pucuk pohon sebagai titian untuk melesat secepat mungkin di udara, berlomba dengan waktu untuk segera sampai di gerbang fatamorgana. "Semoga pengawal utama sudah berhasil membungkus patung salju dengan anyaman daun mertua, sehingga tidak hancur tersambar petir," kata dayang senior. "Aku lihat pengawal utama sudah kembali dan sedang bertarung dengan Jendral Perang dan Iblis Cinta," sahut dayang junior. "Tapi aku heran di mana mereka meletakkan patung salju." "Aku kira bukan mereka yang ditugaskan untuk memindahkan patung salju. Butuh waktu lama untuk mengerjakan karena patung itu sangat berbahaya." Kelima dayang itu kewalahan mengejar puteri mahkota sehingga tertin
Ranggaslawi membuang mayat rabi Sitani ke altar batu untuk jadi santapan burung bangkai. Beberapa ekor burung bangkai terbang berputar-putar di sekitar altar batu. Biasanya hari ketiga jadi santapan kalau mati secara normal. "Aku punya sahabat gampang sekali CLBK," keluh Ranggaslawi. "Padahal mantannya segambreng. Apa ia mau mengangkat semuanya jadi istri di alam roh? Ki Gendeng Sejagat sudah mengambil risiko besar karena tak dapat menahan nafsu. Ia seharusnya menunggu rabi Sitani moksa supaya tidak berubah wujud jadi nenek renta di alam roh. Jadi ia sekarang terpaksa menerima jadi istrinya. Rabi Sitani jelas menolak tinggal ratusan tahun di gerbang siksa untuk kembali menjadi perempuan cantik dan seksi. Ia sendiri memilih berwajah buruk rupa ketimbang menjalani hukuman. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan rabi Sitani?" tanya Golok Santet tak habis pikir. "Tak cukup alasan untuk moksa. Setan jengkol saja tidak tertarik pada body goal-nya kalau sudah jadi mayat." "Pasti tidak tert
Air terjun bergemuruh dan jatuh berbuih-buih di telaga dan mengalir ke Sungai Suci. Bulan hampir penuh terombang ambing dalam riak air jernih. Di antara derasnya hunjaman air terjun terdapat batu ceper besar di mana Cakra duduk bersila bertafakur memulihkan energi inti dengan bertelanjang dada. Ia berniat tirakat sampai purnama tiba besok malam. Hanya butuh satu purnama lagi untuk menguasai ilmu Salin Raga, dari seharusnya enam purnama. Ilmu Salin Rupa dari Konde Emas mempercepat proses itu. "Tumben kakek edan itu tidak mendampingiku," gumam Cakra. "Padahal aku ingin mengguruinya karena belum ada murid menggurui gurunya." Cinta tanpa keagungan hati begitu jadinya. Ia mempunyai dua istri cantik jelita dan satu nenek renta. Ia dan rabi Sitani mesti pergi ke gerbang siksa untuk mengembalikan kondisi mereka seperti dulu. Menjalani hukuman lima ratus tahun bukan waktu lama untuk kehidupan abadi. Rabi Sitani pasti bersedia asalkan ditemani suaminya. Jangan sampai berakit-rakit ke hulu b
Puteri Rinjani naik ke atas batu ceper dan merangkul Cakra dari belakang, lalu mengecup lehernya dengan mesra. "Bantu aku, baby," desah puteri mahkota, nafasnya memburu didera rangsangan yang sulit dikendalikan. "Bebaskan aku dari dahaga yang mencekik jiwaku." "Kau mempunyai energi inti sangat tinggi, kau tinggal tafakur beberapa waktu dan mengerahkan energi positif untuk melenyapkan pengaruh pil koplok." "Aku ingin jalan pintas. Tapi aku tidak tahu hasrat yang menggebu ini karena pil koplok atau sangat bahagia melihatmu masih hidup?" Jemari lentik Puteri Rinjani menelusuri dada Cakra secara perlahan, nafasnya terasa hangat dan lembut menyentuh kulit pendekar tampan itu, sementara mulutnya mulai menghisap-hisap leher. "Karena ingin jalan pintas, Jendral Perang dan Iblis Cinta jadi salah kaprah," kata Cakra. "Mereka menolak tawaran bercinta dari tawanan perang yang menjadi haknya, tapi bersedia bercinta dengan dayangmu karena butuh pertolongan." "Kehormatan mereka dipertaruhkan ka
Matahari sudah naik sepenggalahan ketika Mahameru dan sahabat pendekar tiba di istana Curug Tujuh. Pintu gerbang terbuka lebar. Istana sangat lengang. "Musuh kelihatannya sudah diangkut semua," kata Gagak Betina sambil mengikuti mereka masuk ke halaman istana. "Lalu kita datang buat apa?" "Pangeran ingin menjadikan istana Curug Tujuh sebagai markas sementara," sahut Mahameru. "Di sini kita bebas menyusun strategi tanpa kuatir ada yang menguping." "Lalu Pangeran dan sahabat pendekar berada di mana?" tanya Bidadari Penabur Cinta. "Tamu undangan sudah dideportasi ke kerajaan masing-masing. Bidasari sempat marah karena tak ada pemberitahuan, padahal banyak bangsawan dari kerajaan Bunian yang terlibat." Bidasari protes keras kepada Cakra karena menangkap puteri bangsawan dari Bunian tanpa berkoordinasi dengannya. Mendeportasi tamu terhormat dengan kereta gerobak sangat menyinggung harga diri mereka, padahal ia membawa kereta wisata. "Bidasari lupa kalau dirinya berada di wilayah Nusa K
Fredy muncul dan berdiri di tepi telaga. Ia memperhatikan Cakra yang bertafakur di antara derasnya air terjun. Purnama mulai menunjukkan kemolekannya, menerangi curug dan sekitarnya. Cakra begitu kukuh ingin menguasai ilmu Salin Raga, supaya bebas pulang tanpa sepengetahuan Ratu Nusa Kencana. Ia ingin meninggalkan kerajaan untuk selamanya dan kembali menjadi anak petani di kampung. "Kau temani saja istrimu tidur di pesanggrahan," kata Puteri Rinjani. "Biar aku menjaganya." "Aku sudah berjanji menjaganya selama bertafakur," sahut Fredy. "Aku ingin memastikan sahabatku aman dari segala gangguan." Fredy kagum akan keteguhan Cakra pada janjinya. Ia rela meninggalkan harta, tahta, dan perempuan seanggun bidadari untuk mengurus kerbau, menjadi manusia biasa dan kerap menerima cacian karena kemiskinannya. Fredy sendiri tak berniat untuk pulang. Ia sudah mendapatkan segalanya di Nusa Kencana. Buat apa kembali ke negeri manusia memperebutkan kehidupan yang belum tentu dimenangkan? Fredy h
Bidadari Penabur Cinta memberi isyarat agar mereka menghampiri ke batu besar tempatnya bersembunyi. Mereka melesat dengan sebat dan dalam sekejap sudah berada di dekat Bidadari Penabur Bunga dan Kupu-kupu Madu. "Ada apa?" tanya Puteri Rinjani penasaran. "Kalian datang mengendap-endap seperti mengintip kera lagi mandi." "Air terjun sudah dikepung puluhan prajurit pemberontak," bisik Bidadari Penabur Cinta. "Kita harus siap siaga melindungi pangeran." Puteri Rinjani terkejut. Ia sudah tahu pasukan panah bertebaran di balik pohon di atas tebing di sekitar telaga. Ia kira pasukan pelindung yang berjaga-jaga dari serangan musuh. "Jadi mereka bukan pasukan Kotaraja?" cetus Puteri Rinjani tercekat. "Pasukan Kotaraja baru tiba besok pagi," jawab Bidadari Penabur Cinta. "Mereka hanya bertahan di kaki bukit membuat pagar betis." "Ranggaslawi dan sahabat pendekar berada di mana?" tanya Fredy. "Mereka di atas tebing menghadapi para pendekar bayaran, sebagian berusaha melumpuhkan prajurit t