"Edan! Betul-betul edan!" Ki Gendeng Sejagat tertawa terbahak-bahak. "Kau sudah mempengaruhi mereka dengan ilmu Selubung Khayali dan merubah wujud Pangeran Wikudara dengan ilmu Salin Rupa!" "Tapi aku tidak bertanggung jawab kalau Ratu Singkawang murka! Semua itu idemu!" "Itu urusanku! Tapi bukan urusanku kalau gusti ratu jatuh cinta sama menantu! Ia pasti tidak seganas itu kalau tahu siapa yang mencangkul sawahnya!" "Ilmu itu jadi beban moral bagiku." "Jangan bicara moral di Kadipaten Barat! Kau semakin jauh tertinggal!" Dan semakin jauh untuk pulang ke istana, batin Cakra kelu. Ia ditunggu dua wanita, meski skandal dengan ibu mertua adalah kabar basi! Ratu Nusa Kencana pasti tak percaya kalau joki semalam adalah suaminya sendiri! "Hidup tak semanis ubi bakar," kata Cakra seraya mengambil ubi yang sudah matang di antara ranting yang membara. Saat itu mereka berada di dekat tugu terakhir di utara ngarai. "Gusti ratu minta bantuan Ratu Singkawang untuk menghukum diriku. Padahal
"Aku terlalu meremehkan mereka," kata Gagak Betina seusai mendapat pengobatan dari Gagak Jantan. Ia dan sahabat pendekar wanita duduk di balai-balai untuk mendapat pertolongan. "Pemberontak wanita itu ternyata memiliki ilmu sangat tinggi." "Aku sudah bilang kalian kejar pemberontak lain," sahut Ranggaslawi. "Biar aku menghajar mereka. Tapi kau curiga aku akan menghajarnya di kamar penginapan." "Aku tahu kualitasmu," gerutu Gagak Betina. "Sekarang saja matamu jelalatan ke dada kami." "Aku ingin memastikan kalau pengobatan berjalan lancar," dalih Ranggaslawi. "Modus." "Kalau butuh kenapa tidak kau bawa tadi di kadipaten?" "Itu kardus!" Serbuan ke istana kadipaten adalah pertarungan terberat bagi mereka. Jumlah pemberontak terlalu banyak dan berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang terjadi kalau Jendral Perang terlambat datang bersama lima puluh tokoh istana. Sekarang Adipati Bramantana sibuk mengurus korban tewas di alun-alun, sementara mereka pergi ke penginapan untuk menjalan
Lima perempuan berwajah cantik dan seksi mondar-mandir di sekitar pohon jengkol yang berbuah lebat. Hutan di Bukit Penamburan adalah hutan yang memiliki kemiripan dengan hutan tropis di negeri manusia. Penduduk kadipaten sering mendaki bukit itu jika rindu pada dunia manusia. Ubi manis, singkong mentega, petai, jengkol, dan duren montong banyak terdapat di hutan ini. Mereka tumbuh alami tanpa ada petani menanamnya. "Prajurit lagi panen hasil hutan," kata pendekar tomboy. "Cukup untuk kebutuhan mereka satu pekan." Sepintas terlihat aneh ada lima pendekar cantik berjaga di tengah hutan, mustahil menjaga jengkol yang sudah siap dipanen! Dari wanginya aroma mulut mereka dapat dipastikan mereka bukan penggemar jengkol. Mereka adalah penjaga gerbang fatamorgana istana Curug Tujuh. Mereka sedang menunggu tamu dari Utara. Tamu itu diperkirakan tiba siang ini, tokoh muda yang lagi naik daun di dunia perkelahian, tapi ia berkunjung ke istana Curug Tujuh bukan naik daun, naik kuda. "Tingga
Pendekar berselendang pelangi terbelalak. "Jadi kau puteri mahkota kerajaan Sihir?" "Kau itu bakso di dalam plastik atau sate di dalam kertas nasi?" sindir Puteri Rinjani sinis. "Masa tidak kenal puteri mahkota tercantik di dataran ini?" "Bukan Dewi Anjani?" "Kau salah informasi!" sergah Puteri Rinjani. "Tapi sudahlah. Aku malas ngomong sama penjaga yang otaknya rada lemot, bikin ilfil!" Puteri Rinjani berjalan menuju tanaman perdu yang menjadi gerbang labirin. "Kau tidak bisa masuk meski puteri mahkota," cegah ketua penjaga gerbang. "Hanya tamu undangan yang boleh masuk." Puteri Rinjani menyingkirkan pendekar berselendang pelangi yang menghalangi jalan. Wanita itu menepiskan tangannya. "Kau rupanya suka dipaksa." Puteri mahkota melepaskan pukulan beberapa kali, wanita itu menangkis dengan gesit. Puteri Rinjani melancarkan serangan kombinasi pada wajah dan kaki. Kadang tangan terkepal meninju, kadang terbuka menampar, sementara kaki berusaha menginjak tempurung pendekar bersel
"Terimalah kematian mu, kid slebew! Hiiiaaatt...!" Kelima penjaga gerbang fatamorgana menyerang Cakra dengan pukulan mematikan. Mereka begitu bernafsu untuk menghabisinya. Cakra mengeluarkan jurus Cinta di Ranting Cemara untuk menguras energi inti mereka. Ia ingin membuat mereka lemas dan berhenti menyerang secara sendirinya. Mereka butuh pertolongan untuk rehabilitasi. Mereka datang ke Bukit Penamburan bukan mendukung pemberontak, mereka ingin hidup bebas tanpa merasa terkucilkan. "Kalian salah mengartikan kebebasan!" kata Cakra. "Kalian anggap apa yang dilakukan bukan penyimpangan! Padahal mengabaikan fungsi kodrati adalah bentuk kesewenang-wenangan terhadap diri sendiri! Secara tidak langsung kalian sudah melakukan genosida untuk ras kalian di kemudian hari!" Menciptakan generasi penerus adalah tanggung jawab bersama untuk mempertahankan ras dari kepunahan. Jangan sampai sebagian menghujat sebagian lainnya sebagai makhluk tidak bertanggung jawab. Jadi bukan hanya norma yang d
"Bedebah!" geram Puteri Rinjani murka. "Kau sudah mempermalukan leluhurmu! Kau bunuh pendekar yang tidak melawan!" "Seperti itulah Cakra membunuh guruku." "Ia diminta membantu moksa!" tukas Puteri Rinjani sengit. "Kau dengar sendiri pengakuannya!" "Aku tidak percaya." "Kau benar-benar puteri mahkota tidak tahu diri! Kau tahu kenapa Cakra tidak melawan? Karena kau bukan tandingannya! Ia tidak mau membunuh klannya dua kali!" "Lalu kau mau apa?" "Aku akan mengadu jiwa denganmu!" Puteri Rinjani menyerbu dengan jurus Bidadari Memetik Bintang. Ia sangat syok mendapati kenyataan itu. Ia lampiaskan segala amarah dengan melancarkan serangan bertubi-tubi. Puteri Rinjani tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Romadara untuk membalas. Ia melepaskan variasi pukulan sangat cepat. Puteri mahkota dari Utara terdesak hebat. Sebuah hantaman di dada membuatnya terpental jatuh. Ia pasti sudah muntah darah kalau tidak mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi. Romadara segera bangkit berdiri
Ketika bola bara tinggal beberapa hasta lagi dari Romadara, sebuah konde emas tiba-tiba melesat dan menghantam bola itu, terjadi ledakan hebat. Puteri mahkota dari Utara terpental dan jatuh terlentang di tanah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia menderita luka dalam parah. Tiga dayangnya segera memberi pertolongan. Sementara Puteri Rinjani terlempar dan terhempas ke tanah. Ia cepat bangkit duduk mengalirkan hawa murni untuk menghilangkan pengaruh racun akibat sabotase itu. Dayang senior datang membantu dengan mengalirkan tenaga dalam lewat punggungnya. "Siapakah yang telah menggagalkan pukulan Bidadari Mengurai Jiwa?" Ki Gendeng Sejagat tercengang. Semasa hidupnya, tidak ada yang berani menghentikan pukulan sihir itu, kecuali mati imbalannya. "Apakah Tuan Agung...? Celakalah dunia perkelahian...!" Kemudian ia memandang patung salju dan memarahinya, "Aku bilang apa! Gara-gara kau mati, dunia perkelahian dalam bahaya besar! Dasar murid durhaka! Mati semau-maunya!" Ia mengedark
Ki Gendeng Sejagat tertidur karena capek kebanyakan marah-marah. Setiap dengkurannya menjatuhkan sebiji jengkol. Dengkuran itu terdengar oleh kelima penjaga gerbang fatamorgana. Mereka pasti sudah kabur kalau tubuhnya tidak tertotok. "Puteri Rinjani benar," kata perempuan berbando pelangi lewat getaran batin sehingga terdengar oleh teman-temannya. "Setan jengkol paling reseh. Sudah buruk rupa, suara bikin congek, ngorok lagi." Matahari bersinar terik. Cahayanya menyelusup masuk lewat celah daun jengkol. Herannya patung salju tidak mencair terkena cahaya matahari. Warnanya semakin putih laksana keju chevre. Ketika matahari mulai rebah ke barat, patung salju retak-retak, kepingan dari retakan itu berjatuhan dan mencair terserap tanah, hingga terlihat keseluruhan tubuh Cakra dengan tangan tersilang di dada seperti lagi tafakur sebagaimana gestur sebelum terkena ajian Badai Salju. Mata Cakra terbuka dan melihat ke sekitar. Ki Gendeng Sejagat tampak tertimbun jengkol menyisakan wajah s