Entah menjalankan perjanjian leluhur atau ketagihan, Cakra bertarung sampai lima kali malam itu. Berkali-kali ombak besar datang bergulung-gulung dan terhempas di pantai kenikmatan. Mereka bercinta lagi saat bangun tidur di pagi hari, kemudian pergi ke kompleks pemandian pangeran dan puteri mahkota. "Tubuhku sangat letih dan pegal-pegal," kata Dewi Anjani sambil berendam di bak kayu langka. "Tolong tukang pijat suruh bersiap-siap nanti." "Baik gusti puteri." Selesai mandi, Dewi Anjani masuk ke ruang pijat, kemudian pergi ke kamar rias. Setelah juru rias menata wajah dan penampilannya, Dewi Anjani menjemput sang pangeran untuk makan pagi bersama ibunda ratu. Cakra jadi berubah pikiran melihat puteri mahkota tampil sangat mempesona, ia meminta Nirmala untuk menyampaikan kabar kepada gusti ratu agar makan duluan, sementara mereka kembali ke kamar pengantin. "Apakah mereka tidak sempat sejenak saja makan bersamaku?" gerutu Ratu Purbasari kesal. "Begitulah pesan yang disampaikan,
Ratu Purbasari berusaha menahan diri atas perbuatan Cakra yang menimbulkan kekacauan di istana. Padahal kekacauan itu adalah hal menyenangkan bagi penghuni istana. Cakra sudah menghidupkan etos kerja yang terlihat mati. "Ananda sudah hamil...!" Ratu Purbasari senang bukan main saat melihat titik hitam di dahi puteri mahkota hilang, berarti ia sudah memasuki masa kehamilan. "Yang Widi benar-benar memberkati istana!" Kesabarannya pun habis pada pagi itu. Ia mengumpulkan pejabat penting istana di pesanggrahan utama. Semua pembesar istana mengira baginda ratu akan menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran pangeran kedelapan. Ia sudah muak dan ingin segera menyingkirkannya dari istana. Tapi hukuman yang dijatuhkan sungguh di luar perkiraan. Gusti ratu begitu cerdik membungkus antipati dengan berlindung di balik undang-undang. "Aku pikir sudah waktunya pangeran kedelapan untuk menjalankan tugas," kata Ratu Purbasari. "Situasi di Kadipaten Barat semakin genting. Aku akan mengirim pange
"Kanda segera kembali selesai bertugas." Dewi Anjani berlinang air mata melepas kepergian suami tercinta. Baru empat hari mereguk manisnya madu perkawinan sudah harus berpisah karena Cakra mendapat tugas dari ibunda ratu. "Aku pasti rindu menanti." Perpisahan ini adalah paling berat bagi Cakra karena ia tak pernah berniat untuk kembali. Suasana tidak nyaman di istana membuatnya ingin segera angkat kaki. Tapi air mata puteri mahkota dengan segenap ketulusan cintanya meluluhkan tekad yang sudah kukuh. "Hapuslah air matamu," kata Cakra kelu. "Jika aku tidak kembali, rawatlah dan besarkanlah anak kita agar menjadi anak yang berguna bagi dirimu dan kerajaan." "Pokoknya aku minta kanda berjanji untuk kembali." "Aku tidak tahu entah bisa kembali atau tidak. Aku akan menghadapi kelompok pemberontak yang bertahun-tahun menjadi momok di Kadipaten Barat. Aku hanya bisa berjanji, jika aku pergi, maka aku harus memastikan negeri ini aman dari segala kekacauan." Ratu Purbasari muncul dari d
Warung itu terletak di kaki Bukit Penamburan. Ada beberapa warung lagi di sebelahnya. Tapi sudah mulai sepi. Jalan di depan warung adalah jalan utama perdagangan dengan kerajaan Utara. Kabilah ramai lewat di siang hari karena ribuan prajurit kadipaten berjaga-jaga di sepanjang kaki bukit. Fredy dan dua gadis bercadar tiba di depan warung. Ia mengedarkan pandang ke deretan warung kecil di sebelahnya. "Mereka belum datang," kata Fredy. "Padahal hari sudah sore." "Barangkali sebentar lagi," kata gadis bercadar ungu, yang tidak lain adalah Bidadari Penabur Cinta yang berganti penampilan. "Mereka masih di perjalanan." Sedangkan gadis bercadar biru adalah Kupu-kupu Madu. Mereka berdua sudah resmi menjadi istri Fredy, dan tinggal di Kadipaten Barat. "Aku sudah datang dari tadi," seru Ranggaslawi sambil melompat turun dari dahan pohon di seberang jalan. "Kalian yang telat." Kemudian berturut-turut melompat turun Ranggaslawe, Pendekar Tak Bernama, dan Golok santet. Bukit Penamburan adal
"Nah, sekarang kita bahas rencana kita," kata Cakra. "Aku ingin mengambil air di tujuh air terjun sambil membersihkan kotoran di sekitarnya. Kita mulai dari Curug Satu. Tapi ada yang ingin disampaikan terlebih dahulu. Aku tahu kalian tidak mengharapkan, tapi ibunda ratu memberi perbekalan padaku." "Aku jadi merasa seperti Pendekar Pedang Buntet kalau begini," cetus Iblis Cinta. "Jadi pendekar bayaran." "Dalam pendakian ini, aku tulus ingin membantu murid sahabatku," ujar Ranggaslawe. "Jadi perbekalan aku tolak." "Semua pasti menolak kalau menuruti kata hati," tegas Cakra. "Nah, aku memutuskan kita semua jadi pendekar bayaran, cuma bayarannya murah karena kita pendekar murahan." "Sepasang Pendekar Pedang Buntet jadi turun derajat kalau bayarannya murah!" canda Gagak Betina. "Sekali pengawalan saja seratus keping emas!" "Karena aku pendekar murahan," balas Ranggaslawi. "Saudagar saja gampang tertipu." Mereka tertawa. Cakra melambaikan tangan memanggil pemilik warung. "Ada apa, gus
Semua pelayan tampak ketakutan. "Kami bukan mata-mata, Tuan," kata pelayan kurus. "Kami sekedar cari upahan. Mereka berdua adalah pemilik warung, kakak beradik." "Jangan bohong!" bentak Mahameru. "Kalian akan dihukum picis jika terbukti jadi mata-mata pemberontak!" "Kami tidak bohong, Tuan." "Sudahlah, mahapatih," kata Cakra. "Mereka cuma rakyat kecil." Mahameru terpaksa diam, meski hatinya digantungi rasa curiga. "Tolong kalian bersihkan meja dan singkirkan patung ini," perintah Cakra. "Lalu siapkan makan malam buat kami." "Baik gusti pangeran." Mereka memindahkan Durna dan adiknya ke depan pintu masuk, lalu membersihkan meja dan menyiapkan hidangan makan malam. "Berapa lagi sisa kekuatan di Curug Satu, mahapatih?" tanya Cakra. "Kita baru mengatasi sebagian kecil, pangeran," jawab Mahameru. "Masih ada sekitar seratus lima puluh prajurit, tiga puluh pendekar bayaran, sembilan pengawal utama, dan penguasa Curug Satu." "Aku harap mereka keluar malam ini," cetus Ranggaslawe. "
Durna tampak membungkuk dengan kaku, di belakangnya sang adik memeluk pinggangnya sambil berdiri dengan kaku pula. Mereka laksana patung yang ditempatkan di depan pintu masuk warung. Semua pelayan membersihkan meja bekas makan malam. Cakra dan keempat pendekar wanita duduk santai di dalam warung, sementara Ranggaslawi dan pendekar pria sudah berangkat ke lereng bukit. "Apakah setiap malam pendekar pemberontak berkeliaran ke warung-warung?" tanya Cakra. "Mereka memeriksa warung kalau ada rombongan kabilah baru saja, gusti pangeran," jawab pelayan kurus. "Jadi mereka beroperasi kalau ada laporan dari mata-mata? Di perkampungan juga berarti begitu." Tangan pelayan kurus tampak gemetar saat membersihkan meja Cakra karena takut bernasib sama seperti pemilik warung. "Kau tidak perlu takut padaku, kecuali mata-mata pemberontak," senyum Cakra. "Kau kelola warung karena pemiliknya akan diangkut ke kota mercu suar untuk menjalani pemeriksaan." "Baik, gusti pangeran." "Berapa semuanya?"
Mereka mulai mendaki bukit saat embun menetes dari dedaunan. Udara dingin menggigit tubuh. Secangkir kopi panas dan penganan hangat tak mampu mengusir. Mereka terpaksa mengalirkan hawa murni. Mereka berlari di atas pucuk pohon. Mereka memilih lewat angkasa agar bisa memandang ke segala penjuru. Namun musuh juga lebih mudah untuk mengetahui kedatangan mereka. "Perempuan dan tuak adalah obat mujarab untuk menghilangkan dingin," kata Ranggaslawi. "Jadi Ratu Bunian pantas marah karena maraknya kasus penculikan rakyatnya." "Tapi mereka tidur di mana?" balik Pendekar Tak Bernama. "Tujuh istana terlalu sempit untuk menampung ribuan pemberontak." Pendekar bayaran tidak ada yang berkeliaran. Kaki tangan Tapak Mega benar-benar menggunakan waktu siang hari untuk beristirahat, dan beroperasi pada malam hari. "Bagaimana kelompok pemberontak mampu bertahan bertahun-tahun di Bukit Penamburan?" ujar Gagak Jantan. "Di mana mereka tinggal? Tidak ada bangunan lagi di Bukit Penamburan selain tujuh is