Dua jam kemudian.Devan membawa Fania ke rumah sakit terdekat di Jakarta Utara. Karena jika ia membawa ke Jakarta Selatan, yang ada akan memakan waktu lama apalagi keadaan hujan deras yang pastinya akan terkena macet.Fania kini sedang di tangani oleh dokter IGD. Devan berulang kali mondar mandir di depan pintu dengan berharap jika Fania baik-baik saja.‘Semoga kamu baik-baik saja ya, Sayang. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika kamu sampai kenapa-napa,' gumam Devan seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.Devan pun akhirnya mendudukkan b****g di kursinya bangku depan kamar IGD. Namun, tidak lama kemudian. Seorang perawat wanita keluar menghampirinya.“Dari pihak keluarga pasien?” tanya Perawat itu.“Saya, Sus. Bagaimana keadaan istri saya?” Devan berbalik tanya dengan cemas.“Silakan tanyakan langsung kepada dokter, Pak. Dokter meminta Bapak masuk ke dalam,” titah Perawat dengan membukakan pintu untuk Devan.Devan mengangguk. Lalu masuk ke dalam ruang IGD menem
Devan terbangun karena sentuhan di kepalanya. Ia mendongak, lalu tersenyum saat melihat istrinya sudah sadarkan diri.“Sayang, kamu sudah bangun? Gimana keadaanmu? Masih pusing atau apa ada yang sakit?” tanya Devan begitu panjang membuat Fania menggeleng dengan tersenyum.“Aku baik-baik saja, Mas.”“Syukurlah, aku sangat khawatir saat kamu tak sadarkan diri. Maafkan aku, Sayang. Karena aku ka—,”“Terima kasih, Mas. Atas kepedulianmu, maaf aku membuatmu repot,” sela Fania. Ia seakan-akan melupakan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.Devan tersenyum. “Aku tidak merasa repot sama sekali. Semua ini salahku, tolong maafkan aku, Sayang,” mohon Devan sekali lagi.Fania pun mengangguk. Jujur saja, hatinya masih merasa kecewa kepada sang suami. Namun, melihat kepedulian yang dilakukan suaminya membuat sebagian hatinya luluh begitu saja.“Kamu mau makan? Aku suapkan buburnya, ya?” tanya Devan.“Boleh, Mas.”Sebelum menyuapi sang istri. Devan lebih dulu membantu Fania untuk duduk. Setelah s
Setelah membalas pesan dari sang mantan. Fania meletakkan kembali ponsel suaminya di atas meja. Lalu ia meraba wajah sang suami membuat suaminya terbangun akan sentuhan darinya.“Sayang, kamu sudah bangun? Kenapa kamu turun ke sini, harusnya kamu panggil aku saja?” tanya Devan dengan panik saat melihat wajah istrinya berada di hadapannya.Bahkan Fania sampai menyeret tiang infusnya dan itu membuat Devan sangat cemas.“Aku sudah baikkan, Mas. Kamu nggak perlu segitunya khawatir ke aku,” ucap lirih Fania.“Bukan begitu, Sayang. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-napa. Tapi, syukurlah kalo kamu sudah baikkan. Kamu mau sarapan? Sepertinya sarapan pagi kamu sebentar lagi akan di antar,” sahut Devan.Fania mengangguk. Lalu berkata, “Aku mau ke kamar mandi dulu, Mas. Kamu bantu aku, ya?”“Hayo,” jawab Devan langsung.Devan dengan sigap membantu membukakan pintu kamar mandi lalu dengan cekatan ia mendorong tiang infusnya masuk ke dalam setelah sang istri masuk terlebih dahulu.Tidak lama saat
Kemesraan sepasang suami-istri telah berakhir karena ada pemeriksaan dari sang dokter. Untung saja, mereka sudah melepaskan kerinduan yang mendalam meski hanya dengan berciuman.Fania belum diperbolehkan pulang karena lambungnya belum pulih sempurna.“Obatnya jangan lupa diminum, kalo bisa makan jangan terlalu banyak, sedikit demi sedikit asal sering itu lebih baik daripada langsung makan banyak,” titah Dokter Yas mengarah pada Fania.Devan yang berada di samping Dokter hanya mengangguk.Setelah itu dokter Yas meninggalkan kamar saat pemeriksaan telah selesai.“Mas, kamu tidak pergi ke kantor?” tanya Fania kepada Devan yang sedang membereskan beberapa berkas.“Aku sepertinya akan ke kantor sebentar. Kamu tidak masalah jika aku tinggal? Atau mau panggilkan bi Darmi untuk menemanimu?” tanya Devan.Fania menggeleng. “Aku sendiri saja tidak apa, Mas. Toh, sebenarnya aku sudah sehat,” sahut Fania.“Tapi, lambung kamu belum terlalu sehat, Sayang.”“Iya, aku tahu, Mas.”“Iya sudah aku tingga
Devan akhirnya memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Alnando dan Fania menengok ke arah pintu yang terbuka. Bahkan Alnando langsung menyambut kedatangan menantunya dengan gembira.“Devan!” sapa Alnando ketika Devan berjalan masuk.“Pah, sudah lama di sini?” tanya Devan basa basi.“Belum lama. Maaf, Papah ke sini tidak mengasih kabar terlebih dahulu.” Alnando merasa sungkan terhadap menantunya.Devan yang sedang meletakan tas kantor di meja langsung menggeleng. Ia pun mendekat ke arah brankar di mana sang istri dan mertuanya berada.“Tidak masalah, Pah. Aku malah senang jika Papah mau menengok Fania,” ujar Devan.Alnando hanya tersenyum canggung. “Ya, Papah hanya mau berterima kasih sama kamu. Kamu sudah menjaga Fania dengan baik, dan membuat dirinya bahagia.”“Tidak perlu berterima kasih, Pah. Yang aku lalukan untuk Fania. Itu karena sudah kewajibanku sebagai suaminya.” Devan menjawab dengan menatap ke arah Fania yang tersenyum.Alnando sendiri mengangguk paham. Dan tidak lama ia
Devan mendekat ke arah brankar lalu berkata, “Tenang saja, Sayang. Aku sudah mengusir Alya. Meski niat dia baik mau menjenguk kamu, tapi aku tidak ingin kita salah paham lagi.” Devan mencoba menjelaskan.Fania tersenyum sekarang. “Lagian jika mbak Alya mau ke sini juga tidak masalah, Mas. Aku beneran tidak apa-apa, kok.”“Iya, Sayang. Sudah tidak perlu dibahas. Aku potongin alpukatnya, ya?” tanya Devan dengan mengalihkan pembicaraan. Fania pun hanya mengangguk.Fania menatap gerak gerik sang suami yang sedang memotong buah alpukat untuknya. Jujur saja, Fania sebenarnya sedikit terkejut mendengar penuturan sang suami jika mantannya ingin menjenguk dirinya. Padahal, hatinya sebenarnya tidak mempermasalahkan. Ia sangat percaya dan yakin kepada sang suami jika cintanya begitu tulus untuknya.Setelah buah kesukaan istrinya sudah terpotong semua, Devan menyerahkan buah alpukat mentega yang sudah dicampuri dengan susu kental manis rasa cokelat, kepada sang istri yang sudah menunggu sedari ta
Devan tersenyum kepada sang istri yang bertanya.“Ini enak banget, sungguh aku tidak bohong,” ucap Devan dengan antusias. Ia juga berulang kali menyuapi kuah soto ke dalam mulutnya.Fania yang tadinya khawatir melihat ekspresi suaminya kini tersenyum senang.“Ya ‘kan, enak!”Devan mengangguk setuju. “Enak banget, Sayang.”Fania bersyukur, suaminya kini sudah tampak lebih santai, tidak seperti pertama kali datang. Dan karena hal ini membuat Fania ingin mengajak sang suami ke tempat makanan yang lain juga.Setelah makanan selesai dan membayar. Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil untuk pulang ke apartemen.“Sayang, kok kamu tahu sih? Tempat-tempat makanan pinggir jalan kaya gitu? Kamu lahir dari seorang pengusaha, biasanya ‘kan memilih tempat makan kalo enggak di restoran, di hotel berbintang atau mall, gitu?” tanya Devan yang masih penasaran kepada istrinya.Fania terkikik. “Kamu masih penasaran aja, Mas?” Fania malah membalik tanya membuat Devan tersenyum.“Ya, aku pengen tahu aja!
Fania membuka amplop cokelat itu secara perlahan. Setelah terbuka, ia dibuat tercengang oleh isi di dalamnya.“Mas, ini tiket pesawat?” Fania bertanya kepada Devan yang mengangguk.“Lusa kita ke Paris. Sesuai dengan keinginanmu, Sayang.”Kedua mata Fania seketika langsung mengembun. Impiannya ke negeri Eropa akan terwujud. Meski Fania anak pengusaha kaya raya. Namun, ia tidak diperbolehkan ke luar negeri saat masih gadis. Alnando sangat keras dalam mendidik putrinya. Jangankan ke luar negeri, ke luar kota saja harus mendapat izin berhari-hari.“Mas, bukannya seharusnya akhir bulan, ya? Kok dipercepat?” tanya Fania penasaran dengan memasukkan kembali tiket pesawat ke dalam amplop.“Karena Lusa, Reihan dan Karina sudah tiba di tanah air. Jadi, mumpung sudah ada Reihan, pekerjaan biar Reihan yang mengurus. Waktunya tinggal kita yang liburan. Karena, aku juga ada pertemuan dengan rekan bisnis di sana. Maka dari itu kita berangkat lebih awal,” terang Devan. Fania hanya mengangguk dan menge