"Bagaimana kabarmu, Arlan?" Tanya seorang pria paruh baya sambil menikmati minuman dalam cangkirnya.
"Seperti biasa. Sama buruknya dengan hari-hari lainnya," Jawab Arlan dingin dan sinis.
"Besok pulanglah ke rumah, tidak baik jika kau terus merepotkan Ray." Bukannya menjawab, Arlan malah mendobrak meja sambil bangkit dari duduknya.
"Untuk apa anda peduli, tuan Yohanes yang terhormat!" Ujar Arlan seraya menekankan ucapannya.
"Ayah tidak ingin ada gosip buruk karena kau terus tinggal di luar rumah," Ujar Yohanes
Mendengar ucapan sang ayah membuat Arlan marah dan keluar sambil membanting pintu. Arlan berpapasan dengan Ray di jalan namun ia memilih untuk melewatinya begitu saja. Ray paham betul dengan apa yang terjadi pada Arlan, hubungan Arlan dan Yohanes ayahnya tidak begitu baik. Ray adalah saudara angkat Arlan yang di adopsi dari panti asuhan.
"Ayah memanggilku?" Ujar Ray.
"Duduklah Ray," Ujar Yohanes.
"Baik ayah." Patuh Ray dan tak berani menatap mata Yohanes secara langsung.
"Aku dengar kau berkelahi dengan temanmu," Ujar Yohanes membuat Ray terkejut.
"Maafkan aku ayah. Aku tidak bermaksud membuat masalah," Jawab Ray sambil tertunduk.
"Sudahlah, ayah tau kau punya alasan setiap tindakanmu. Hari ini ayah memanggilmu bukan untuk memarahimu. Ambillah dokumen ini," Ujar Yohanes sambil menyodorkan sebuah map.
"Kau tau kan apa yang harus kau lakukan?" Ujar Yohanes.
"Ya, ayah. Ray paham," Ujar Ray.
Ray terdiam melihat dokumen dalam map itu, tatapannya berubah kosong seketika. Yohanes berdiri dari duduknya kemudian memperbaiki kemejanya sebentar sebelum akhirnya seorang sekretaris datang menjemputnya. Yohanes menoleh sejenak melihat raut wajah Ray yang tampak kosong, ada perasaan aneh yang di rasakan Ray tiap kali mendapat perintah seperti ini.
"Ayah tidak akan melarangmu bermain dengan siapapun tapi ingatlah batasanmu, nak. Ayah percaya kau bisa melakukan hal ini dengan baik seperti sebelumnya," Ujar Yohanes.
"Baik ayah," Jawab Ray.
***
Trotoar jalan yang saat ini cukup ramai karena salah seorang ketua partai sedang membagikan makanan gratis. Ada beberapa wartawan yang meliput tindak tersebut dengan sedikit mewawancarai untuk memberikan informasi para penonton. Feli yang kebetulan lewat di tempat itu juga mendapatkan makanan gratis. Hari ini Feli berniat untuk berangkat ke tempat kerjanya setelah pulang sekolah.
"Anda baru saja terjun ke dunia politik beberapa tahun yang lalu tapi semua perhatian rakyat tertuju pada anda. Bagaimana anda bisa menjadi orang yang sebaik ini?" Puji yang wartawan pada Edgar.
"Ah, tidak juga. Saya hanya ingin semua rakyat bisa sejahtera dan mendapatkan kebahagiaan," Jawab Edgar.
Mendengar semua nama yang terasa familiar itu membuat Feli menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan melihat seorang pria dengan sedikit keriput di wajahnya sedang tersenyum di depan kamera. Jantung Feli seakan berhenti berdetak, ia kenal betul dengan orang tersebut. Dia adalah Edgar Fernandy saudara kandung dari ibunya yang tak lain adalah pamannya sendiri. Pamannya itu adalah orang yang telah menelantarkan Feli dan memberikan kenangan buruk setiap kali mengingat tentang Edgar pamannya.
"Sepertinya semua harta itu kau gunakan untuk ini ya paman?" Gumam Feli merasa muak melihat sikap pamannya itu.
Edgar Fernandy, adalah orang licik yang selalu menggunakan cara apapun untuk mendapatkan harta milik orang tua Feli. Ia ingin memonopoli apapun baik itu kekayaan ataupun kekuasaan. Feli tidak begitu tau seberapa banyak harta yang tinggal kedua orangtuanya setelah mereka tewas hingga sang paman tega ingin membunuhnya. Saat itu hanya kakeknya sajalah yang melindungi Feli dari pamannya.
Perselisihan antara doktor Moza dan pamannya Edgar terus terjadi. Keberadaan doktor Moza cukup di segani oleh Edgar hingga ia tidak bisa berbuat sembarang. Tepat saat umur Feli menginjak kedua belas tahun kejadian buruk merenggut nyawa kakeknya. Feli terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang kakek, ia yakin kecelakaan kakeknya bukan suatu kebetulan tetapi sudah di rencanakan.
Kehidupan Feli berubah saat kepergian doktor Moza, pamannya langsung mengambil alih semua hak waris Feli dan membuangnya tanpa memberikan apapun kecuali rumah sederhana peninggalan kedua orang tuanya. Tak ada seorang pun yang membela Feli, mereka menganggap semua hak waris itu memang harusnya di berikan pada pamannya yang merupakan anak kedua dari doktor Moza.
Di umurnya yang kedua belas tahun, Feli sudah merasakan kerasnya dunia orang dewasa. Demi bisa makan Feli bekerja ke sana kemari walau sangat sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan karena tak ada yang mau mempekerjakan anak di bawah umur sepertinya. Beruntung Fanya akhirnya kembali dari Jepang setelah berobat. Ia kemudian mengangkat Feli sebagai anaknya untuk berterimakasih pada mending doktor Moza atas bantuannya ketika dia masih di Jepang.
"Dasar paman sialan!" Ujar Feli merasa kesal.
Di tempat lain, tepatnya di rooftop salah satu gedung tinggi. Seseorang dengan ponsel yang sedang menampilkan siaran langsung Edgar yang di wawancarai, sedang mempersiapkan sebuah alat tembakan jarak jauh. Ia memodifikasi peluru yang di milikinya untuk mendapatkan ketepatan pada bidikannya. Setelah selesai ia melihat secara bergantian layar ponsel dengan orang dalam teropong.
"Gadis itu menghalangi," Ujar sniper itu.
"Apa sekalian kubunuh juga?" Ujarnya sambil bersiap menembak.
"Eh?! Tunggu gadis itu!" Tampaknya ia sedikit terkejut melihat wajah gadis yang menghalangi sasarannya.
"Apa yang kau tunggu Ray? Ini waktu yang tepat," Ujar seseorang dalam earphone di telinga Ray.
"Ada seorang gadis yang menghalangi!" Jawab Ray.
"Ohiya?! Bunuh saja!" Ujar orang dalam earphone.
"Baik."
Ray menarik nafas dalam-dalam kemudian memfokuskan pandangannya di teropong untuk mengintai mangsanya. Ray telah menarik pelatuk namun tak sampai membidik karena dihentikan oleh seseorang. Nafasnya terlihat tak beraturan, seperti orang yang berlari menaiki anak tangga sampai ke atas.
"Batalkan Ray!" Ujar pria berambut jabrik yang menggenakan pakai formal.
Dorr..
Ray berhasil menghindar dari peluru yang melesat ke arahnya walau ada sedikit goresan di pipi kirinya. Peluru kedua kembali di tembakan hingga menewaskan pria berambut jabrik itu di tempat. Ray segera menunduk dan meraih Barrett M82 miliknya untuk memberikan perlawanan. Peluru tidak lagi di tembakan namun hal tersebut malah membuat Ray semakin panik.
"Pelurunya datang dari arah jam satu," Ujar Ray sambil mengarahkan laras panjang senapan ke arah jam satu tepat di atas gedung tinggi.
Ada dua gedung tinggi di sana yang membuat Ray harus memutar otaknya sekali lagi, Ray kemudian teringat saat peluru tadi hampir mengenainya. Arah peluru tersebut sedikit menukik ke atas yang menandakan orang itu menembak di tempat yang lebih rendah darinya. Secara tiba-tiba Ray berbalik dalam langsung menembak sebuah gedung di mana itu adalah salah satu kamar hotel.
Lewat teropong Ray melihat seorang yang terluka di bagian punggung kanannya karena tembakannya tadi. Orang itu sama sekali tidak meringis ke sakitan, seolah tau saat Ray telah mengintai keberadaannya ia malah tersenyum remeh. Ponsel Ray kemudian menunjuk sebuah pesan masuk dari nomor baru. Pesan dalam ponselnya itu membuat Ray bangkit kemudian segera berlarian menuruni anak tangga.
"Ray! Ray apa kau mendengarku?" Ujar orang dalam earphone.
"Ya, aku mendengarmu Emely. Tolong siapakah kendaraan untukku, detailnya akan aku laporkan nanti."
"Tapi, Ray. Kau-"
Tak menunggu Emely menyelesaikan ucapannya, Ray telah melepaskan earphone di telinganya kemudian merusaknya. Menggunakan sebuah motor yang di kirim Emely, Ray kini telah berhasil sampai di tempat ketua partai melakukan siaran langsung. Ray kemudian mencari seseorang dalam kerumunan, matanya terus menelusuri setiap orang yang ada di sana.
"Dimana?" Gumam Ray.
Ray yang mencari secara terburu-buru tak sengaja menabrak seseorang hingga terjatuh. Makan yang di bawahnya juga ikut terjatuh dan berhamburan, Ray menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah resah. Ia segera berlari tanpa membantu orang yang di tabranya tadi. Feli menggerutu merasa sakit pada pantatnya yang harus mencium kerasnya jalanan. Ia berdiri dan melihat orang yang tidak bertanggung jawab itu pergi.
Feli melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul setengah lima sore. Ia segera bangkit dan membersihkan beberapa makan dari jalan agar tidak menggangu. Segera ia berlari dengan terburu-buru, ia terlambat beberapa menit untuk hadir di tempat kerjanya.
Dengan semua omelan dari bosnya mampu membuat Feli suasana hatinya jadi buruk. Meskipun begitu, Feli tetap harus bekerja hingga jam menunjukkan pukul sembilan malam. Ia masih belum bisa mendapatkan istirahat sedikitpun karena pelanggan terus berdatangan sejak sore.
"Kerjamu hari ini bagus, lain kali jangan sampai terlambat lagi!" Ujar sang pemilik tempat itu.
"Iya baik bos," Jawab Feli.
"Kau boleh pulang," Ujarnya hingga Feli segera undur diri.
Tepat setelah Feli keluar, ia di kejutkan seorang pria mabuk yang menarik tangannya. Feli segera menepisnya dan segera menghindar, pria mabuk itu malah mengikutinya hingga Feli merasa tidak nyaman. Karena berjalan sambil menengok ke belakang Feli lagi-lagi menabrak seseorang.
"Ah, maaf. Aku tidak sengaja," Ujar Feli.
"Mau aku antar pulang? Sepertinya dia mengikutimu!" Ujar Ray sambil menunjuk pria mabuk di belakang Feli.
"Eh, tidak perlu aku bisa pulang sendiri," Tolak Feli karena takut jika Ray malah akan membawanya ke tempat yang aneh.
"Kau yakin?" Tanya Ray.
"Kau yakin?" Ujar Ray."Iya, kau boleh pergi. Aku bisa menjaga diriku sendiri," Ujar Feli."Ya sudah. Aku pergi dulu," Ujar Ray seraya berjalan menjauh dari Feli.Beberapa menit berlalu setelah Ray pergi meninggalkan Feli. Tak ada satupun taksi yang lewat hingga mengharuskan Feli memilih untuk berjalan kaki pulang kerumahnya. Karena belum terlalu larut malam suasana di jalan masih sangat ramai, terlebih lagi ada banyak lampu restoran yang menerangi jalan, pria mabuk tadi juga sudah menghilang entah kemana.Perut Feli berbunyi yang menandakan ia harus segera di isi dengan makanan. Gadis itu berhenti di salah satu food truck ayam goreng yang terlihat lezat. "Bu, sekalian bakso dan tahu gorengnya. Ini uangnya," Ujar Feli.Sambil menenteng bungkus makanan yang baru saja di belinya, Feli kembali melanjutkan langkahnya untuk segera pulang. Merasa ada hal yang janggal, Feli lantas mempercepat langkahnya untuk segera menjauh dari seseorang. Feli berhenti k
Canggung, itulah yang dirasakan oleh Feli saat ini. Ia juga sesekali memainkan jarinya untuk menghindari tatapan tajam Arlan padanya. Sudah lima menit berlalu sejak mereka memesan meja dari sebuah food truk. Algeria melihat Feli yang duduk di sebelahnya lewat ekor mata kecoklatannya, setelah itu ia kembali fokus pada layar penuh ponselnya. "Kakak akan ke sini, setelah itu kita akan bicara." Algeria masih setia mengetik sesuatu di dalam ponselnya. Helaan nafas keluar dari bibir Ray, biasanya ia bisa mengontrol emosinya namun kali ini tidak. Xavier adalah musuh terbesar sekaligus satu-satunya harapan untuk bisa menemukan seseorang yang telah lama hilang. Ray memijat pelipisnya sambil mendesah atas sekilas memori yang terputar di kepalanya. Otak Feli terus bekerja, mencari cara untuk bisa lepas dari tiga pria tersebut. Matanya kemudian tertuju pada piring berisi saous tomat yang berada di atas meja, ia kemudian menoleh pada ibu pemilik food truk yang akan mengan
Sosok pria tegap dengan paras rupawan termenung dengan tangannya terselip sebatang rokok. Angin lembut menerpa rambut hitamnya, dari atap sekolah ini ia bisa melihat segerombolan siswa yang berbondong-bondong memadati area sekolah. Ia kemudian mengacak-acak rambutnya, rokok yang sudah habis setengah itu di buangnya ke lantai kemudian di injak. "Ck.. Ada apa denganku?" Ujar Arlan dengan sebuah memori terlintas di kepalanya. Arlan mengernyitkan dahinya seraya melihat gadis berambut pendek dengan topi hitam di bawah sana sedang berjongkok sambil memainkan ranting pohon. Kejadian saat istirahat tadi kemudian terlintas di kepala Arlan, dalam diam mata kebiruan itu tetap terfokus pada gadis tersebut. Feli dengan topi hitam pemberian dari Dean tampak lesu. Helaan nafas keluar dari bibirnya, ia masih sangat terkejut. Feli sengaja kabur dari UKS untuk menenangkan diri tanpa berpamitan pada Dean yang sedang pergi mengambil sesuatu, bahkan saat bel masuk berbunyi ia mas
Dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangannya, Feli melangkah masuk ke dalam area sekolah. Ia telah berangkat cukup pagi demi melihat ruangan yang akan menjadi markas organisasinya. "Pintu paling ujung sebelah barat setelah ruang peralatan olahraga," Feli bergumam sambil mencari keberadaan pintu."Ah, yang ini." Sebelum membuka pintu, ia meletakkan kotak di lantai dan mengambil kunci di kantongnya.Baru saja membuka sang pintu, debu yang begitu tebal langsung menyambut Feli. Kondisi berdebu dan ada beberapa sarang laba-laba juga bangkai tikus menjadi beberapa hal yang menghiasi ruangan tersebut. Ruangan itu adalah sebuah gudang tua yang sudah lama tidak di gunakan. "Sepertinya anggota OSIS sedang mempermainkan aku dengan memberikan gudang tua," Ujar Feli dengan tangannya masih menutup hidungnya karena bau bangkai tikus yang menyengat."Sama seperti perkiraanku."Melangkah masuk untuk memeriksa ruangan itu, Feli membuka jendela yang sedikit berkarat itu dengan susah payah takut ji
"Siapa?" Tanya Feli cukup penasaran "Dia saudara angkatku," Jawab Ray sambil membuka pintu gudang. Ray masuk lebih dulu sebelum akhirnya Feli mengikuti dari belakang. Terdengar sebuah suara benturan keras dari dalam, Feli tidak bisa melihat sesuatu yang terjadi di dalam karena punggung lebar Ray menghalangi pandangannya. Ray memutar tubuhnya sebelum akhirnya mengambil alih kursi rusak dari Feli. "Apa yang terjadi? Itu suara apa?" Tanya Feli saat melihat perubahan wajah Ray menjadi sedikit suram. "Biar aku saja yang membawanya. Ada banyak tikus di sini. Kau keluarlah," Ujar Ray. Feli hanya bisa diam, ia tidak berani bertanya lebih lanjut meskipun tau jika Ray berbohong soal tikus. Feli berbalik pergi dari sana meskipun cukup ragu, ia tau jika ada orang lain di gudang itu. Suara langkah kaki dari orang itu saja semakin mendekat ke arah mereka. Jadi jelas siapa pelaku dari suara keras tadi, pendengaran Feli memang cukup tajam. "Apa tidak masalah jika aku pergi? Sepertinya Ray cukup
Mewah, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sekolah elit tersebut. Dengan satu bangunan utama yang memiliki lima lantai mampu membuat semua orang melongo ketika melihatnya. Bangun yang di atur dengan desain yang mewah, suasana nyaman dengan pekarangan sekolah yang cukup luas dan bersih. Beberapa pohon rindang seolah-olah menyambut setiap siswa yang melewati jalan aspal menuju bangun utama sekolah. SMA para keturunan emas, itulah yang sering kali di ucapkan orang-orang tentang SMA Lentera Bangsa ini. Salah satu jajaran sekolah populer hanya untuk para anak konglomerat dan anak-anak berotak jenius. Aruna Feliciana Xaviela adalah salah satu jajaran dari garis jenius beruntung yang terpilih. Sekolah ini telah banyak meluluskan para siswa-siswi hebat yang terus mengharumkan nama sekolah atas semua pencapaian mereka, karena hal itulah para investor juga sangat tertarik untuk menginvestasikan uang mereka ke sekolah tersebut. Bukan hanya sekolahnya saja yang menarik perhatian tetapi
Langkah kecil Feli yang menuruni tangga sempat terhenti kala sebuah papan nama terlempar ke arahnya. Ia lalu melihat dari ujung tangga, ada beberapa orang yang sedang beradu pukulan di sana. Feli mengigit bibir bawahnya saat menyaksikan ke brutalan seorang pria yang terus melayangkan pukulan tanpa ampun. "Sialan kau Ray!!" Suara bentakan itu membuat Feli tersentak kaget, debaran jantungnya memacu dua kali lebih cepat melihat bagaimana dengan mudahnya pria dengan mata hitam kemerahan itu membenturkan kepala lawannya ke dinding tanpa ragu. Rasa takut membuat Feli beku di tempat, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun atau bahkan bergerak pergi dari tempat itu. Rasanya kakinya sedang ditahan sesuatu yang sangat berat. Nafas Feli jadi tak beraturan, ia merasa aneh dengan dirinya saat ini. Ada perasaan familiar dan ingatan yang samar-samar di rasakan oleh Feli. Matanya terpejam saat tak mampu lagi melihat kebrutalan pria pemilik mata hitam kemerahan
Pagi hari yang sama menyambut Feli, kini ia telah siap dengan pakaian lengkapnya. Gadis itu lalu menyambar tasnya kemudian turun untuk sarapan. Rumah sederhana itu merupakan harta berharga yang paling Feli sayangi, pasalnya di sinilah kenangan orang tuanya tersimpan. Saat ini ia tinggal bersama orang tua angkatnya yang tak lain adalah bibinya sendiri. "Makan dulu sayang," Ujar wanita paruh baya itu sambil mengeringkan tangannya setelah mencuci piring kotor. "Wahh.. Semuanya keliatan enak-enak. Hari ini mama keliatan sangat cantik deh," Puji Feli seraya memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya. "Duhh.. Mulut anak mama manis banget ya," Ujarnya seraya mencubit pipi Feli dengan gemas. "Heheheh.. Kan mama Fanya yang ajarin," Ujar Feli hingga Fanya memberikan kecupan sayang pada anak angkatnya itu. "Kamu nggak terlambat nak? Ini udah hampir jam tujuh loh," Ujar Fanya. "Loh? Kok udah jam segini aja? Bentar mah. Feli habisin ini dulu," Ujar Feli yang kemudian dengan terburu-buru