"Kau yakin?" Ujar Ray.
"Iya, kau boleh pergi. Aku bisa menjaga diriku sendiri," Ujar Feli.
"Ya sudah. Aku pergi dulu," Ujar Ray seraya berjalan menjauh dari Feli.
Beberapa menit berlalu setelah Ray pergi meninggalkan Feli. Tak ada satupun taksi yang lewat hingga mengharuskan Feli memilih untuk berjalan kaki pulang kerumahnya. Karena belum terlalu larut malam suasana di jalan masih sangat ramai, terlebih lagi ada banyak lampu restoran yang menerangi jalan, pria mabuk tadi juga sudah menghilang entah kemana.
Perut Feli berbunyi yang menandakan ia harus segera di isi dengan makanan. Gadis itu berhenti di salah satu food truck ayam goreng yang terlihat lezat. "Bu, sekalian bakso dan tahu gorengnya. Ini uangnya," Ujar Feli.
Sambil menenteng bungkus makanan yang baru saja di belinya, Feli kembali melanjutkan langkahnya untuk segera pulang. Merasa ada hal yang janggal, Feli lantas mempercepat langkahnya untuk segera menjauh dari seseorang. Feli berhenti kemudian berbalik untuk memeriksa jika memang benar ada seseorang yang mengikutinya. Namun tak ada seorang pun yang bisa Feli curigai, semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Mungkin hanya perasaanku saja," Ujar Feli menyakinkan dirinya sendiri.
Kembali Feli melangkahkan kakinya namun kali ini lagi-lagi ia merasakan hal yang sama, bukan sekali dua kali Feli mendapati seseorang yang mengikutinya diam-diam. Feli kemudian berbelok arah dari jalan pulangnya, ia bukan orang bodoh yang dengan senang hati menunjukkan rumahnya cuma-cuma. Gadis itu tetap berjalan di tempat ramai agar nantinya ia bisa mengelabui penguntit tersebut.
Suara lonceng sebuah sepeda mengagetkan Feli, ia lalu menoleh dan mendapati seorang yang sedang mengayuh sepeda di sebelahnya. Orang itu tak lain adalah Ray, entah dari mana pria itu menemukan sepeda masih terasa misteri bagi Feli. Ray kemudian menginstruksikan menggunakan kepalanya agar Feli segera duduk di kursi belakang sepeda.
"Eh, nggak perlu. Makasih, aku bisa pulang sendiri." Mendengar lagi-lagi penolakan yang keluar dari mulut Feli, Ray membuang nafas panjang.
"Naik!" Paksa Ray.
"Nggak mau!" Tolak Feli.
"Naik atau beneran aku culik!" Ancam Ray hingga Feli tak habis pikir dengan pria di sebelahnya ini.
"Nggak naik dalam lima detik, aku beneran culik!" Ujar Ray kemudian mulai menghitung.
Feli berniat pergi meninggalkan Ray saja dari pada mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang, lebih baik ia menghindar. Tanpa ragu Ray menarik tangan Feli hingga terduduk di kursi belakang, ia segera mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh agar tak memberikan kesempatan Feli melarikan diri.
"Kau benar-benar akan menculikku? Hei hentikan sepedanya!" Ujar Feli seraya memukul dan menarik pakaian Ray.
"Bisa diam nggak? Pegangan aja yang kuat! Aku bakalan ngebut!" Ujar Ray.
Teriakan yang sepertinya sedang menginstruksikan kepada Ray untuk berhenti membuat Feli berbalik melihat segerombolan anak dari sekolah lain sedang memasang wajah kesal. "Itu dia! Sial dia mengambil benda itu! Cepet kejar!" Perintah pria berotot yang sepertinya adalah pemimpin gerombolan tersebut.
"Hei, kau mencari masalah dengan mereka?!" Panik Feli saat orang-orang berwajah seram itu mengejarnya.
"Pegangan yang kuat kalo nggak mau jatuh!" Ujar Ray dan berbelok tajam di perempatan.
Feli hampir saja jatuh, gadis itu kini memegang bahu Ray namun hal tersebut malah membuat Ray beberapa kali tercekik oleh kerah bajunya sendiri. Ray kemudian menghentikan sepedanya, bisa-bisa dia akan mati tercekik jika terus seperti ini. Tanpa banyak bicara ia kemudian menarik tangan Feli untuk berpegangan di pinggangnya.
"Sial! Mereka cepat juga mengejarnya! Kalo saja motorku tidak di tabrak truk," Ujar Ray kembali mengayuh sepedanya.
Tepat di belokan menuju jalan besar, decitan suara ban sepeda yang di pakasa berhenti terdengar cukup nyaring. Meskipun berhasil menghindar dari sebuah mobil yang hampir saja menabrak mereka dengan selamat, kini mereka harus terpojok oleh orang-orang tadi. Tangan Ray berada di depan Feli agar Feli berlindung di belakangnya. Lawan mereka adalah segerombolan preman sekolah yang tentu saja sangat ahli dalam perkelahian.
"Bagaimana? Sudah puas larinya?" Ujar pria berotot itu.
"Sepertinya kau tidak akan memberikan benda itu secara sukarela, pukuli saja dulu. Juga bawa gadis manis di belakangnya itu padaku," Perintah pria berotot itu pada anak buahnya.
"Sialan! Hei kau bisa lari? Aku akan membukakan jalan agar kau bisa kabur," Bisik Ray.
"Kau gila ya menyuruhku kabur sementara kau di keroyok di sini?" Jawab Feli yang membuat Ray sedikit terkejut.
Ray terkekeh untuk beberapa saat mendengar jawaban Feli, jawaban itu mana bisa keluar dari mulutnya sementara tangannya saja bergetar terus. "Baiklah, kau bisa tutup matamu? Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat," Ujar Ray.
"Tapi,"
"Kau tidak ingin melihat hal yang sama seperti di tangga sekolah bukan?" Ujar Ray sambil menutup mata Feli dengan telapak tangannya.
Feli tidak bisa mengelak, ia saat ini sangat takut. Bahkan setelah Ray menyingkirkan telapak tangannya untuk segera bertarung, Feli sama sekali tidak membuka matanya. Beberapa kali suara umpatan dan jeritan kesakitan terdengar dengan jelas di telinga Feli, bungkus berisi ayam goreng miliknya di genggam sangat erat.
Suara tak lagi terdengar, dengan rasa penasaran Feli memberanikan diri untuk membuka kedua kelompok matanya. Betapa terkejutnya Feli saat melihat semua orang tadi telah tumbang di atas jalan. Ray berbalik dan melihat kearah Feli yang terlihat sangat terkejut.
"Ka-kau terluka," Ujar Feli sedikit gagap.
Ray tak menjawab, ada luka sayatan di pipi kirinya karena sang bos tadi membawa sebilah pisau. Feli mengambil sesuatu di dalam tasnya, ia membersihkan darah dari luka Ray sebelum akhirnya ia menempelkan plaster luka bermotif itu. Ray menundukkan kepalanya agar Feli bisa dengan mudah menempelkan plaster luka itu tanpa harus berjinjit terus.
"Sudah selesai," Ujar Feli.
"Oi Ray!" Panggil seseorang sambil melambaikan tangannya.
Mendengar namanya di panggil, Ray lantas menoleh ke sumber suara. Di sana ada Algeria dan Arlan sedang berjalan mendekat, mata Feli tertuju pada pemilik mata hitam kebiruan itu. Dia adalah Arlan, orang yang pernah di bantingannya sepulang sekolah. Feli berbalik berlindung di belakang pundak Ray yang sedang berbicara dengan Algeria.
"Di belakang kau ada siapa Ray?" Tanya Algeria.
Ray berbalik mencari keberadaan Feli yang ternyata mencoba kabur. Ray menahan tas Feli hingga gadis itu harus berhenti kemudian berbalik sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mungilnya. Terlihat kerutan di wajah Arlan, pria itu mencoba melihat wajah Feli yang terus saja menghindari darinya.
"Eghmm.. Aku harus pulang, mama mungkin udah nungguin," Ujar Feli.
"Tunggu! Aku punya pertanyaan padamu," Ujar Ray sambil mendekati Feli yang masih saja menutup wajahnya.
"Katakan siapa kau sebenarnya? Jawab yang jujur!" Tanya Ray tiba-tiba.
"Eh? Aku hanya anak SMA," Ujar Feli sedikit bingung dengan pertanyaan aneh Ray.
"Lalu kenapa Xavier mengikutimu diam-diam? Bukan sekali saja! Bahkan ribuan kali," Ujar Ray.
Canggung, itulah yang dirasakan oleh Feli saat ini. Ia juga sesekali memainkan jarinya untuk menghindari tatapan tajam Arlan padanya. Sudah lima menit berlalu sejak mereka memesan meja dari sebuah food truk. Algeria melihat Feli yang duduk di sebelahnya lewat ekor mata kecoklatannya, setelah itu ia kembali fokus pada layar penuh ponselnya. "Kakak akan ke sini, setelah itu kita akan bicara." Algeria masih setia mengetik sesuatu di dalam ponselnya. Helaan nafas keluar dari bibir Ray, biasanya ia bisa mengontrol emosinya namun kali ini tidak. Xavier adalah musuh terbesar sekaligus satu-satunya harapan untuk bisa menemukan seseorang yang telah lama hilang. Ray memijat pelipisnya sambil mendesah atas sekilas memori yang terputar di kepalanya. Otak Feli terus bekerja, mencari cara untuk bisa lepas dari tiga pria tersebut. Matanya kemudian tertuju pada piring berisi saous tomat yang berada di atas meja, ia kemudian menoleh pada ibu pemilik food truk yang akan mengan
Sosok pria tegap dengan paras rupawan termenung dengan tangannya terselip sebatang rokok. Angin lembut menerpa rambut hitamnya, dari atap sekolah ini ia bisa melihat segerombolan siswa yang berbondong-bondong memadati area sekolah. Ia kemudian mengacak-acak rambutnya, rokok yang sudah habis setengah itu di buangnya ke lantai kemudian di injak. "Ck.. Ada apa denganku?" Ujar Arlan dengan sebuah memori terlintas di kepalanya. Arlan mengernyitkan dahinya seraya melihat gadis berambut pendek dengan topi hitam di bawah sana sedang berjongkok sambil memainkan ranting pohon. Kejadian saat istirahat tadi kemudian terlintas di kepala Arlan, dalam diam mata kebiruan itu tetap terfokus pada gadis tersebut. Feli dengan topi hitam pemberian dari Dean tampak lesu. Helaan nafas keluar dari bibirnya, ia masih sangat terkejut. Feli sengaja kabur dari UKS untuk menenangkan diri tanpa berpamitan pada Dean yang sedang pergi mengambil sesuatu, bahkan saat bel masuk berbunyi ia mas
Dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangannya, Feli melangkah masuk ke dalam area sekolah. Ia telah berangkat cukup pagi demi melihat ruangan yang akan menjadi markas organisasinya. "Pintu paling ujung sebelah barat setelah ruang peralatan olahraga," Feli bergumam sambil mencari keberadaan pintu."Ah, yang ini." Sebelum membuka pintu, ia meletakkan kotak di lantai dan mengambil kunci di kantongnya.Baru saja membuka sang pintu, debu yang begitu tebal langsung menyambut Feli. Kondisi berdebu dan ada beberapa sarang laba-laba juga bangkai tikus menjadi beberapa hal yang menghiasi ruangan tersebut. Ruangan itu adalah sebuah gudang tua yang sudah lama tidak di gunakan. "Sepertinya anggota OSIS sedang mempermainkan aku dengan memberikan gudang tua," Ujar Feli dengan tangannya masih menutup hidungnya karena bau bangkai tikus yang menyengat."Sama seperti perkiraanku."Melangkah masuk untuk memeriksa ruangan itu, Feli membuka jendela yang sedikit berkarat itu dengan susah payah takut ji
"Siapa?" Tanya Feli cukup penasaran "Dia saudara angkatku," Jawab Ray sambil membuka pintu gudang. Ray masuk lebih dulu sebelum akhirnya Feli mengikuti dari belakang. Terdengar sebuah suara benturan keras dari dalam, Feli tidak bisa melihat sesuatu yang terjadi di dalam karena punggung lebar Ray menghalangi pandangannya. Ray memutar tubuhnya sebelum akhirnya mengambil alih kursi rusak dari Feli. "Apa yang terjadi? Itu suara apa?" Tanya Feli saat melihat perubahan wajah Ray menjadi sedikit suram. "Biar aku saja yang membawanya. Ada banyak tikus di sini. Kau keluarlah," Ujar Ray. Feli hanya bisa diam, ia tidak berani bertanya lebih lanjut meskipun tau jika Ray berbohong soal tikus. Feli berbalik pergi dari sana meskipun cukup ragu, ia tau jika ada orang lain di gudang itu. Suara langkah kaki dari orang itu saja semakin mendekat ke arah mereka. Jadi jelas siapa pelaku dari suara keras tadi, pendengaran Feli memang cukup tajam. "Apa tidak masalah jika aku pergi? Sepertinya Ray cukup
Mewah, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sekolah elit tersebut. Dengan satu bangunan utama yang memiliki lima lantai mampu membuat semua orang melongo ketika melihatnya. Bangun yang di atur dengan desain yang mewah, suasana nyaman dengan pekarangan sekolah yang cukup luas dan bersih. Beberapa pohon rindang seolah-olah menyambut setiap siswa yang melewati jalan aspal menuju bangun utama sekolah. SMA para keturunan emas, itulah yang sering kali di ucapkan orang-orang tentang SMA Lentera Bangsa ini. Salah satu jajaran sekolah populer hanya untuk para anak konglomerat dan anak-anak berotak jenius. Aruna Feliciana Xaviela adalah salah satu jajaran dari garis jenius beruntung yang terpilih. Sekolah ini telah banyak meluluskan para siswa-siswi hebat yang terus mengharumkan nama sekolah atas semua pencapaian mereka, karena hal itulah para investor juga sangat tertarik untuk menginvestasikan uang mereka ke sekolah tersebut. Bukan hanya sekolahnya saja yang menarik perhatian tetapi
Langkah kecil Feli yang menuruni tangga sempat terhenti kala sebuah papan nama terlempar ke arahnya. Ia lalu melihat dari ujung tangga, ada beberapa orang yang sedang beradu pukulan di sana. Feli mengigit bibir bawahnya saat menyaksikan ke brutalan seorang pria yang terus melayangkan pukulan tanpa ampun. "Sialan kau Ray!!" Suara bentakan itu membuat Feli tersentak kaget, debaran jantungnya memacu dua kali lebih cepat melihat bagaimana dengan mudahnya pria dengan mata hitam kemerahan itu membenturkan kepala lawannya ke dinding tanpa ragu. Rasa takut membuat Feli beku di tempat, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun atau bahkan bergerak pergi dari tempat itu. Rasanya kakinya sedang ditahan sesuatu yang sangat berat. Nafas Feli jadi tak beraturan, ia merasa aneh dengan dirinya saat ini. Ada perasaan familiar dan ingatan yang samar-samar di rasakan oleh Feli. Matanya terpejam saat tak mampu lagi melihat kebrutalan pria pemilik mata hitam kemerahan
Pagi hari yang sama menyambut Feli, kini ia telah siap dengan pakaian lengkapnya. Gadis itu lalu menyambar tasnya kemudian turun untuk sarapan. Rumah sederhana itu merupakan harta berharga yang paling Feli sayangi, pasalnya di sinilah kenangan orang tuanya tersimpan. Saat ini ia tinggal bersama orang tua angkatnya yang tak lain adalah bibinya sendiri. "Makan dulu sayang," Ujar wanita paruh baya itu sambil mengeringkan tangannya setelah mencuci piring kotor. "Wahh.. Semuanya keliatan enak-enak. Hari ini mama keliatan sangat cantik deh," Puji Feli seraya memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya. "Duhh.. Mulut anak mama manis banget ya," Ujarnya seraya mencubit pipi Feli dengan gemas. "Heheheh.. Kan mama Fanya yang ajarin," Ujar Feli hingga Fanya memberikan kecupan sayang pada anak angkatnya itu. "Kamu nggak terlambat nak? Ini udah hampir jam tujuh loh," Ujar Fanya. "Loh? Kok udah jam segini aja? Bentar mah. Feli habisin ini dulu," Ujar Feli yang kemudian dengan terburu-buru
"Bagaimana kabarmu, Arlan?" Tanya seorang pria paruh baya sambil menikmati minuman dalam cangkirnya."Seperti biasa. Sama buruknya dengan hari-hari lainnya," Jawab Arlan dingin dan sinis."Besok pulanglah ke rumah, tidak baik jika kau terus merepotkan Ray." Bukannya menjawab, Arlan malah mendobrak meja sambil bangkit dari duduknya."Untuk apa anda peduli, tuan Yohanes yang terhormat!" Ujar Arlan seraya menekankan ucapannya."Ayah tidak ingin ada gosip buruk karena kau terus tinggal di luar rumah," Ujar YohanesMendengar ucapan sang ayah membuat Arlan marah dan keluar sambil membanting pintu. Arlan berpapasan dengan Ray di jalan namun ia memilih untuk melewatinya begitu saja. Ray paham betul dengan apa yang terjadi pada Arlan, hubungan Arlan dan Yohanes ayahnya tidak begitu baik. Ray adalah saudara angkat Arlan yang di adopsi dari panti asuhan."Ayah memanggilku?" Ujar Ray."Duduklah Ray," Ujar Yohanes."Baik ayah."