Mewah, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sekolah elit tersebut. Dengan satu bangunan utama yang memiliki lima lantai mampu membuat semua orang melongo ketika melihatnya. Bangun yang di atur dengan desain yang mewah, suasana nyaman dengan pekarangan sekolah yang cukup luas dan bersih. Beberapa pohon rindang seolah-olah menyambut setiap siswa yang melewati jalan aspal menuju bangun utama sekolah.
SMA para keturunan emas, itulah yang sering kali di ucapkan orang-orang tentang SMA Lentera Bangsa ini. Salah satu jajaran sekolah populer hanya untuk para anak konglomerat dan anak-anak berotak jenius. Aruna Feliciana Xaviela adalah salah satu jajaran dari garis jenius beruntung yang terpilih.
Sekolah ini telah banyak meluluskan para siswa-siswi hebat yang terus mengharumkan nama sekolah atas semua pencapaian mereka, karena hal itulah para investor juga sangat tertarik untuk menginvestasikan uang mereka ke sekolah tersebut. Bukan hanya sekolahnya saja yang menarik perhatian tetapi pemilik sekolah tersebut juga ikut di soroti, sebab orang itu adalah salah satu politikus handal yang sangat berpengaruh pada pemerintahan.
"Jadi ini sekolah itu ya?" Ujar gadis berambut sebahu itu.
Helaan nafas keluar dari bibir mungil gadis itu. Netra hitam keunguan itu melihat sekitarnya dengan tatapan malas dan lelah secara bersamaan. "Hidup di sini sepertinya tidak mudah."
Baru saja gadis itu hendak melanjutkan langkahnya, sebuah suara menginstruksikannya agar berhenti. Netranya menatap aneh pada gadis di depannya itu.
"Ternyata memang benar, Feli. Apa kabar? Kau tau? Aku urutan kesepuluh nilai tertinggi ujian masuk sekolah ini loh," Ujar gadis dengan lesung pipi itu dengan wajah sombongnya.
"Ohhiya? Aku pikir otakku berfungsi dengan baik, tidak seperti seseorang yang menggunakan orang dalam," Balas Feli seraya tersenyum lebar melihat perubahan mimik wajah Salsa yang berubah masam.
"Ck.. Jangan sombong! Aku yakin kau hanya berada di urutan ketiga puluh kebawah. Tidak perlu malu," Ujar Salsa penuh percaya diri.
Feli memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan hasil ujian seorang siswa dengan urutan tiga besar. "Sepertinya kau lupa mengecek siapa yang menduduki urutan tiga besar," Ujar Feli.
Keduanya saling beradu tatapan perselisihan, hubungan yang ada di antara keduanya adalah musuh. Entah sejak kapan hubungan permusuhan keduanya terbentuk, mereka juga sudah tidak ingat. Sebuah teriakan membuat Feli dan Salsa mengalihkan perhatian mereka.
"Ahh.. Cepat minggir bodoh!!" Ujar seorang pria bermata hitam kebiruan yang mengendarai sepeda cukup cepat di antara gerombolan siswa.
Tidak jauh di belakang sepeda pria pemilik mata hitam kebiruan itu, ada seorang pria berambut coklat di belakang sana sedang mengayuh sepedanya untuk mengejar. Sesekali ada beberapa siswa yang terjatuh karena ulah kedua pria itu. Sebuah ide terbesit di kepala Salsa lengkap dengan senyum penuh maknanya saat menatap Feli, tanpa ragu langsung saja Salsa mendorong Feli menuju sepeda yang melaju kencang itu.
Feli mengadu sakit pada kedua telapak tangan dan lututnya yang tergores oleh permukaan aspal kasar. Benar saja sepeda itu melaju tepat menuju Feli, suara ban sepeda yang bergesekan dengan aspal terdengar cukup nyaring.
Bruakk...
"Arghh.. Sial!" Pria pemilik mata hitam kebiruan itu meringis kesakitan saat mencoba menghentikan sepedanya yang sedang melaju cukup kencang hingga berakhir jatuh dari sepedanya.
"Hahahaha.. Arlan kau kalah!!" Pria berambut cokelat itu bersorak gembira seraya melewati pemilik nama Arlan.
Pria bernama Arlan itu hanya berdecak kesal seraya berdiri dengan kaki yang terlihat tergores akibat terjatuh dari sepeda tadi. Arlan menoleh sejenak menuju Feli yang kini sedang membersihkan pakaiannya dari debu.
"Dasar gadis gila!"
Arlan pergi begitu saja meninggalkan Feli yang tampak kesal atas ucapannya tadi, menghela nafas adalah cara Feli untuk mengalihkan perasaan kesalnya itu. Dari kejauhan Salsa tampak terkekeh atas apa yang menimpa Feli. Tak ada raut bersalah di wajahnya, yang ada hanya kegembiraan atas kelakuannya tadi.
Feli kemudian berjalan pelan menuju gerbang sekolah, sepeda yang di kendarai Arlan telah di urus oleh satpam sekolah. Tak ada satu pun guru yang memarahi Arlan dan pria berambut coklat itu, kejadian tadi seolah-olah tidak pernah terjadi.
"Pergilah ke ruang UKS dulu, nak. Juga maafkan kesalahan Arlan dan Algeria tadi ya," Ujar sang satpam pada Feli.
"Nggak papa kok pak. Hanya sedikit tergores, nanti juga sembuh kok," Ujar Feli.
"Mereka anak orang kaya, bapak yang hanya seorang satpam tidak mampu berbuat apa-apa," Ujar sang satpam.
Feli menganggukkan kepalanya dan memberikan senyuman ramah pada satpam itu. Ia paham betul dengan sistem di tempat ini, si kaya bisa melakukan apapun tanpa peduli dengan pendapat si miskin yang kerepotan karena ulah si kaya. Jika boleh jujur sebenarnya Feli membenci sekolah ini dan tidak pernah berharap di terima di tempat tersebut.
Alasan satu-satunya Feli yang sekarang ini memakai seragam siswa sekolah ini adalah karena keinginan dari mendiang kakeknya yang berharap ia bersekolah di tempat itu. Keluarga Feli tidak begitu kaya namun ia memiliki seorang kakek yang berprofesi sebagai peneliti terkenal dengan jasanya pada negara. Profesor Moza adalah nama yang di gunakan mendiang kakek Feli.
"Sebenarnya apa alasan kakek bersikeras agar aku bisa bersekolah di tempat yang memuakkan ini?" Ujar Feli.
***
Koridor sekolah terlihat sangat ramai, banyak siswa yang berlalu lalang mencari kelasnya masing-masing. Sama halnya dengan Feli, ia sedang mencari keberadaan kelasnya dengan sesekali menghela nafas saat ada beberapa yang mengomentari cara berpakaiannya yang terlihat sangat biasa-biasa saja padahal seragam sekolah ini saja sudah sangat mencolok menurut Feli.
Meskipun merasa risih akan semua tatapan meremehkan itu, Feli tetap diam dan bersikap acuh. Tak ada satupun aksesoris yang melekat di pakai sekolahnya, berbeda dengan para siswa lainnya yang menggunakan aksesoris merek terkenal. Feli tiba-tiba terjatuh saat seseorang mencekal kakinya, ini keduanya kalinya ia terjatuh hingga sensasi perih ia rasakan saat luka di lututnya berbenturan dengan lantai.
Seseorang juga ikut jatuh, wajah tanpa ekspresi itu menyapanya. Feli mengenali pria di depannya itu, sudah beberapa kali ia melihat fotonya di mading sekolah. Dia adalah Dean Atlanta, ketua tim basket sekolah ini sekaligus anak dari jaksa yang sangat di segani.
"Ck.. Dasar wanita murahan. Dia pasti sengaja menjatuhkan tubuhnya saat melihat Dean," Ujar salah satu siswa yang mencekal kaki Feli.
Feli tau betul siapa yang membuatnya terjatuh tadi, ia tentu marah dan kesal mendengar penuturan gadis tadi. Namun ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berurusan dengan siapapun di sekolah ini. Ia hanya ingin bersekolah dengan damai di tempat ini dan cepat-cepat lulus. Feli beralih pada Dean, ia mengambil satu permen rasa mint kemudian memberikannya pada Dean.
"Aku minta maaf, lain kali aku akan minta maaf dengan benar. Tapi sekarang aku tidak bisa," Ujar Feli ragu kemudian buru-buru pergi meninggalkan Dean bersama beberapa permen rasa mint.
Dean terus melihat punggung kecil Feli semakin menjauh hingga akhirnya hilang dari jangkauan pandangannya. Ia menatap cukup lama beberapa permen di tangannya, seseorang kemudian berdiri di sebelah Dean seraya memamerkan gigi kelincinya.
"Wahh.. Bukannya gadis itu baru saja menyogok kak Dean dengan permen? Menarik juga," Ujar pria dengan name tag Algeria Anggara Putra.
"Dia cukup berani juga," Ujar Algeria dengan kotak susu coklat di tangannya.
Bel masuk kemudian berbunyi membuat para siswa segera menuju kelasnya masing-masing. Dean melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Algeria yang sejak tadi berceloteh tentang kemenangannya dalam taruhan dari Arlan.
Algeria menggerutu melihat Dean pergi begitu saja, ponselnya berdering membuat senyum simpul terukir di wajah tampannya itu."Jadi Aruna Feliciana Xaviela, ya?"
Langkah kecil Feli yang menuruni tangga sempat terhenti kala sebuah papan nama terlempar ke arahnya. Ia lalu melihat dari ujung tangga, ada beberapa orang yang sedang beradu pukulan di sana. Feli mengigit bibir bawahnya saat menyaksikan ke brutalan seorang pria yang terus melayangkan pukulan tanpa ampun. "Sialan kau Ray!!" Suara bentakan itu membuat Feli tersentak kaget, debaran jantungnya memacu dua kali lebih cepat melihat bagaimana dengan mudahnya pria dengan mata hitam kemerahan itu membenturkan kepala lawannya ke dinding tanpa ragu. Rasa takut membuat Feli beku di tempat, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun atau bahkan bergerak pergi dari tempat itu. Rasanya kakinya sedang ditahan sesuatu yang sangat berat. Nafas Feli jadi tak beraturan, ia merasa aneh dengan dirinya saat ini. Ada perasaan familiar dan ingatan yang samar-samar di rasakan oleh Feli. Matanya terpejam saat tak mampu lagi melihat kebrutalan pria pemilik mata hitam kemerahan
Pagi hari yang sama menyambut Feli, kini ia telah siap dengan pakaian lengkapnya. Gadis itu lalu menyambar tasnya kemudian turun untuk sarapan. Rumah sederhana itu merupakan harta berharga yang paling Feli sayangi, pasalnya di sinilah kenangan orang tuanya tersimpan. Saat ini ia tinggal bersama orang tua angkatnya yang tak lain adalah bibinya sendiri. "Makan dulu sayang," Ujar wanita paruh baya itu sambil mengeringkan tangannya setelah mencuci piring kotor. "Wahh.. Semuanya keliatan enak-enak. Hari ini mama keliatan sangat cantik deh," Puji Feli seraya memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya. "Duhh.. Mulut anak mama manis banget ya," Ujarnya seraya mencubit pipi Feli dengan gemas. "Heheheh.. Kan mama Fanya yang ajarin," Ujar Feli hingga Fanya memberikan kecupan sayang pada anak angkatnya itu. "Kamu nggak terlambat nak? Ini udah hampir jam tujuh loh," Ujar Fanya. "Loh? Kok udah jam segini aja? Bentar mah. Feli habisin ini dulu," Ujar Feli yang kemudian dengan terburu-buru
"Bagaimana kabarmu, Arlan?" Tanya seorang pria paruh baya sambil menikmati minuman dalam cangkirnya."Seperti biasa. Sama buruknya dengan hari-hari lainnya," Jawab Arlan dingin dan sinis."Besok pulanglah ke rumah, tidak baik jika kau terus merepotkan Ray." Bukannya menjawab, Arlan malah mendobrak meja sambil bangkit dari duduknya."Untuk apa anda peduli, tuan Yohanes yang terhormat!" Ujar Arlan seraya menekankan ucapannya."Ayah tidak ingin ada gosip buruk karena kau terus tinggal di luar rumah," Ujar YohanesMendengar ucapan sang ayah membuat Arlan marah dan keluar sambil membanting pintu. Arlan berpapasan dengan Ray di jalan namun ia memilih untuk melewatinya begitu saja. Ray paham betul dengan apa yang terjadi pada Arlan, hubungan Arlan dan Yohanes ayahnya tidak begitu baik. Ray adalah saudara angkat Arlan yang di adopsi dari panti asuhan."Ayah memanggilku?" Ujar Ray."Duduklah Ray," Ujar Yohanes."Baik ayah."
"Kau yakin?" Ujar Ray."Iya, kau boleh pergi. Aku bisa menjaga diriku sendiri," Ujar Feli."Ya sudah. Aku pergi dulu," Ujar Ray seraya berjalan menjauh dari Feli.Beberapa menit berlalu setelah Ray pergi meninggalkan Feli. Tak ada satupun taksi yang lewat hingga mengharuskan Feli memilih untuk berjalan kaki pulang kerumahnya. Karena belum terlalu larut malam suasana di jalan masih sangat ramai, terlebih lagi ada banyak lampu restoran yang menerangi jalan, pria mabuk tadi juga sudah menghilang entah kemana.Perut Feli berbunyi yang menandakan ia harus segera di isi dengan makanan. Gadis itu berhenti di salah satu food truck ayam goreng yang terlihat lezat. "Bu, sekalian bakso dan tahu gorengnya. Ini uangnya," Ujar Feli.Sambil menenteng bungkus makanan yang baru saja di belinya, Feli kembali melanjutkan langkahnya untuk segera pulang. Merasa ada hal yang janggal, Feli lantas mempercepat langkahnya untuk segera menjauh dari seseorang. Feli berhenti k
Canggung, itulah yang dirasakan oleh Feli saat ini. Ia juga sesekali memainkan jarinya untuk menghindari tatapan tajam Arlan padanya. Sudah lima menit berlalu sejak mereka memesan meja dari sebuah food truk. Algeria melihat Feli yang duduk di sebelahnya lewat ekor mata kecoklatannya, setelah itu ia kembali fokus pada layar penuh ponselnya. "Kakak akan ke sini, setelah itu kita akan bicara." Algeria masih setia mengetik sesuatu di dalam ponselnya. Helaan nafas keluar dari bibir Ray, biasanya ia bisa mengontrol emosinya namun kali ini tidak. Xavier adalah musuh terbesar sekaligus satu-satunya harapan untuk bisa menemukan seseorang yang telah lama hilang. Ray memijat pelipisnya sambil mendesah atas sekilas memori yang terputar di kepalanya. Otak Feli terus bekerja, mencari cara untuk bisa lepas dari tiga pria tersebut. Matanya kemudian tertuju pada piring berisi saous tomat yang berada di atas meja, ia kemudian menoleh pada ibu pemilik food truk yang akan mengan
Sosok pria tegap dengan paras rupawan termenung dengan tangannya terselip sebatang rokok. Angin lembut menerpa rambut hitamnya, dari atap sekolah ini ia bisa melihat segerombolan siswa yang berbondong-bondong memadati area sekolah. Ia kemudian mengacak-acak rambutnya, rokok yang sudah habis setengah itu di buangnya ke lantai kemudian di injak. "Ck.. Ada apa denganku?" Ujar Arlan dengan sebuah memori terlintas di kepalanya. Arlan mengernyitkan dahinya seraya melihat gadis berambut pendek dengan topi hitam di bawah sana sedang berjongkok sambil memainkan ranting pohon. Kejadian saat istirahat tadi kemudian terlintas di kepala Arlan, dalam diam mata kebiruan itu tetap terfokus pada gadis tersebut. Feli dengan topi hitam pemberian dari Dean tampak lesu. Helaan nafas keluar dari bibirnya, ia masih sangat terkejut. Feli sengaja kabur dari UKS untuk menenangkan diri tanpa berpamitan pada Dean yang sedang pergi mengambil sesuatu, bahkan saat bel masuk berbunyi ia mas
Dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangannya, Feli melangkah masuk ke dalam area sekolah. Ia telah berangkat cukup pagi demi melihat ruangan yang akan menjadi markas organisasinya. "Pintu paling ujung sebelah barat setelah ruang peralatan olahraga," Feli bergumam sambil mencari keberadaan pintu."Ah, yang ini." Sebelum membuka pintu, ia meletakkan kotak di lantai dan mengambil kunci di kantongnya.Baru saja membuka sang pintu, debu yang begitu tebal langsung menyambut Feli. Kondisi berdebu dan ada beberapa sarang laba-laba juga bangkai tikus menjadi beberapa hal yang menghiasi ruangan tersebut. Ruangan itu adalah sebuah gudang tua yang sudah lama tidak di gunakan. "Sepertinya anggota OSIS sedang mempermainkan aku dengan memberikan gudang tua," Ujar Feli dengan tangannya masih menutup hidungnya karena bau bangkai tikus yang menyengat."Sama seperti perkiraanku."Melangkah masuk untuk memeriksa ruangan itu, Feli membuka jendela yang sedikit berkarat itu dengan susah payah takut ji
"Siapa?" Tanya Feli cukup penasaran "Dia saudara angkatku," Jawab Ray sambil membuka pintu gudang. Ray masuk lebih dulu sebelum akhirnya Feli mengikuti dari belakang. Terdengar sebuah suara benturan keras dari dalam, Feli tidak bisa melihat sesuatu yang terjadi di dalam karena punggung lebar Ray menghalangi pandangannya. Ray memutar tubuhnya sebelum akhirnya mengambil alih kursi rusak dari Feli. "Apa yang terjadi? Itu suara apa?" Tanya Feli saat melihat perubahan wajah Ray menjadi sedikit suram. "Biar aku saja yang membawanya. Ada banyak tikus di sini. Kau keluarlah," Ujar Ray. Feli hanya bisa diam, ia tidak berani bertanya lebih lanjut meskipun tau jika Ray berbohong soal tikus. Feli berbalik pergi dari sana meskipun cukup ragu, ia tau jika ada orang lain di gudang itu. Suara langkah kaki dari orang itu saja semakin mendekat ke arah mereka. Jadi jelas siapa pelaku dari suara keras tadi, pendengaran Feli memang cukup tajam. "Apa tidak masalah jika aku pergi? Sepertinya Ray cukup