Canggung, itulah yang dirasakan oleh Feli saat ini. Ia juga sesekali memainkan jarinya untuk menghindari tatapan tajam Arlan padanya. Sudah lima menit berlalu sejak mereka memesan meja dari sebuah food truk. Algeria melihat Feli yang duduk di sebelahnya lewat ekor mata kecoklatannya, setelah itu ia kembali fokus pada layar penuh ponselnya.
"Kakak akan ke sini, setelah itu kita akan bicara." Algeria masih setia mengetik sesuatu di dalam ponselnya.
Helaan nafas keluar dari bibir Ray, biasanya ia bisa mengontrol emosinya namun kali ini tidak. Xavier adalah musuh terbesar sekaligus satu-satunya harapan untuk bisa menemukan seseorang yang telah lama hilang. Ray memijat pelipisnya sambil mendesah atas sekilas memori yang terputar di kepalanya.
Otak Feli terus bekerja, mencari cara untuk bisa lepas dari tiga pria tersebut. Matanya kemudian tertuju pada piring berisi saous tomat yang berada di atas meja, ia kemudian menoleh pada ibu pemilik food truk yang akan mengantarkan pesanan mereka. Sebuah rencana akhirnya tersusun di kepala Feli dengan rapi.
Tepat setelah ibu itu membawa pesan Feli mulai melancarkan aksinya dengan menendang kaki Arlan yang duduk di hadapannya. Sontak Arlan meringis kesakitan dengan lututnya refleks membentur meja hingga membuat nampan berisi makanan yang dibalut saos itu tumpah tepat di pakaian Feli.
Ucapan Arlan yang hendak memaki Feli terhenti saat melihat gadis itu menahan perih karena saos panas itu mengenai kulitnya. "Astaga, nak. Kau tidak apa-apa?" Tanya sang ibu itu.
"Ayo ikut ibu kebelakang, kita bersihkan dulu saosnya. Lukanya biar ibu obati juga," Ujar ibu itu menuntun Feli untuk berdiri.
"Hei, pakai ini setelah membersihkan seragammu," Ujar Ray memberikan jaketnya pada Feli.
Feli hanya menganggukkan kepalanya, ia sedikit tersentuh dengan perhatian Ray padanya. Algeria menyunggingkan senyuman sambil melihat punggung sempit Feli menghilang dari balik truk. "Dia cukup berani,"
Setelah membalut perban di pergelangan tangannya yang terkena saos, kini Feli telah berdiri di pinggir jalan dengan sesekali menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan tak ada keberadaan tiga pria itu. Seseorang tak sengaja menabrak Feli, ia hampir saja di tabrak mobil jika saja seseorang menarik tasnya dari belakang. Wajah pucat dengan sorot mata tajam itu adalah penolong Feli.
"Makasih udah membantuku kak," Ujar Feli.
"Iya," Ujarnya dengan suara beratnya.
"Kalo gitu saya pamit dulu," Ujar Feli sedikit canggung karena pria di depannya diam saja.
Sebuah taksi berhenti tepat di depan Feli, rasanya keberuntungan sedang berpihak padanya. Setelah memastikan tidak tanda-tanda keberadaan tiga pria tadi, ia segera masuk ke dalam mobil. Setelah beberapa menit mobil melaju, akhirnya ia bisa sampai di rumah dengan selamat.
"Ini pak ongkosnya," Ujar Feli seraya menyodorkan uang pada sang supir.
"Nggak usah mbak, tadi udah di bayar kok sama temannya."
Ucapan sang sopir taksi tentunya membuat Feli jadi kebingungan tentang teman yang di sebutkan oleh sang supir. Mobil kemudian pergi meninggalkan Feli dengan sebuah tanda tanya besar tentang orang yang membayar ongkos pulangnya.
"Ini aneh, apa ada yang mengikutiku?" Gumam Feli kemudian melihat sekeliling dengan rasa curiga yang bercampur rasa takut.
Ponsel Feli berbunyi dan menampilkan layar panggilan dari nomor baru. Dengan sedikit rasa penasaran, Feli menekan tombol hijau di layar ponselnya.
Gimana? Udah sampai dengan selamat? Ini aku Algeria. Ongkos pulangmu tadi aku yang bayar, simpan nomorku ya. Sampai jumpa di sekolah Feli.
Sambungan kemudian terputus meninggalkan Feli yang sedang mencerna keadaan. Beberapa kali Feli memukul kepalanya, berharap semuanya hanya mimpi namun tetap saja itu tidak mungkin. Semua kejadian tadi benar adanya dan kenyataan tetaplah kenyataan. Feli kemudian segera masuk ke dalam rumah ketika rasa dingin sepertinya membuat kepalanya berfikir negatif.
"Mah, Feli pulang." Sambil membuka sepatu sekolahnya Feli mencari keberadaan ibunya.
Tak ada jawaban, suasana saat ini sangat hening dengan lampu ruang tamu yang masih menyela. Feli melangkah menuju ruang tamu dan menemukan sang ibu sedang tertidur di atas sofa, Fanya yang merasakan sentuhan di pipinya terbangun.
"Kau sudah pulang, sayang? Mama akan menyiapkan makanan," Ujar Fanya dengan rasa kantuknya.
"Nggak usah mah, Feli tadi beli ayam goreng. Sepertinya mama kelelahan. Mama istirahat di kamar aja," Ujar Feli.
"Baiklah, setelah makan jangan lupa sikat gigi ya. Nanti gigimu berlubang loh," Ujar Fanya.
"Iya mah. Kan Feli bukan anak-anak lagi. Feli tau kok," Ujar Feli dan mendapatkan usapan lembut di pucuk kepalanya.
Merasa tubuhnya terasa lengket, Feli kemudian memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Beberapa menit berlalu, Feli kemudian masuk ke dapur untuk mengisi perut setelah mandi. Sambil memasukkan makan ke dalam mulutnya, sebelah tangannya bertugas membuka halaman buku pelajaran untuk besok. Bahkan setelah Feli selesai makan dan mencuci tangannya ia tetap melanjutkan acara belajarnya.
***
Karena instruksi dari sang ketua kelas, Feli akhirnya harus pergi ke ruang guru untuk menemui wali kelasnya di jam istirahat ini. Sesampainya di ruang guru, Feli langsung saja mendapatkan teguran dari ibu Chaya karena poin siswanya tinggal setengah. Mengetahui hal tersebut membuat Feli terkejut, rasanya ia baru mendapatkan pengurangan poin satu kali. Tidak mungkin poin siswanya di potong setengah karena kejadian itu.
"Ibu sarankan kamu masuk organisasi sekolah untuk mengumpulkan poin siswa. Itu adalah cara terbaik yang bisa ibu sarankan. Kamu bisa pergi sekarang," Lanjut ibu Chaya.
"Baik Bu," Ujar Feli pasrah.
Setelah keluar dari ruangan Feli memilih ke toilet untuk sekedar menjernihkan kepalanya dengan membasuh wajahnya. Baru saja Feli keluar dari toilet, sosok bertubuh tinggi itu menghalangi jalannya. Feli mendongakkan kepalanya melihat pria tersebut yang tak lain adalah Arlan dengan seringainya.
"Ketemu juga," Ujar Arlan.
Sebuah tas yang di teteng di belakang punggungnya diberikan pada Feli. "Bawa ini dan ikuti aku," Titah Arlan dengan wajah sombong.
"Tidak mau, aku bukan pelayanmu!" Ujar Feli menjatuhkan tas itu ke atas lantai.
"Oke, tapi sepertinya aku harus ke ruang kepala sekolah. Ada seseorang yang menyerangku di sekolah. Entah apa yang terjadi pada orang itu, punggungku masih sakit hufftt.." Ujar Arlan sedikit mengeluhkan punggung yang terasa nyeri.
"Kau tidak punya bukti," Ujar Feli.
"Ohiya? Sepertinya aku punya tuhh," Ujar Arlan sambil memperlihatkan layar ponselnya pada Feli.
Arlan kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Feli yang masih berperang dengan pikirannya. Kekerasan di sekolah ini adalah hal fatal jika ketahuan, hal itu bisa membuat seseorang langsung di keluarkan dari sekolah. Arlan semakin menjauh, buru-buru Feli menyambar tas di lantai itu kemudian berlarian mengejar Arlan.
Mendengar suara langkah kaki Feli membuat sebuah senyuman simpul terukir di wajah Arlan. Feli menarik ujung seragam Arlan agar pria tersebut berhenti sambil sedikit mengatur nafasnya. "Pilih yang bagus," Ujar Arlan sambil memutar arahnya menuju tangga lantai tiga.
Arlan berjalan lebih dulu dari Feli di antara para senior yang terlihat tidak suka dengan keberadaannya. Lantai tiga adalah kawasan para senior dan kedatangan keduanya adalah sesuatu yang ganjil. Pasalnya, hal ini tidak sopan di lakukan oleh junior jika tidak ada senior lain atau guru bersama keduanya. Berbeda dengan Feli yang gugup, Arlan malah berjalan dengan santai tanpa ada beban.
"Hei kau! Berhenti disitu!" Suara baritone itu sedikit mengagetkan Feli.
"Ohh.. Sudah datang juga," Ujar Arlan seringainya.
"Ternyata kau yang mencuri tasku ya?" Ujar seorang siswa dengan otot besar yang menghiasi tubuhnya.
Feli tentu saja terkejut, tas yang dibawanya ternyata bukan milik Arlan melainkan milik senior berotot itu. Seragam Feli di cengkram dan dengan entengnya tubuh Feli di angkat ke atas oleh seniornya itu. "B-bukan aku yang mencurinya," Bela Feli sedikit tercekik.
"Cewek miskin sialan! Sudah miskin masih saja berbohong! Sini biar aku beri kau sedikit pelajaran," Ujar senior itu.
Sementara itu Arlan hanya melipat kedua tangannya sambil menonton kejadian di depannya. Tubuh Feli di jatuhkan begitu saja hingga rigisan keluar dari bibirnya, sang senior kemudian menjambak rambut Feli hendak memberikan tamparan. Lewat ekor matanya Feli melihat Arlan dengan wajah puas atas apa yang di alaminya. Ini adalah rencana Arlan padanya untuk balas dendam.
Mata Feli berkaca-kaca, berusaha menahan tangisnya yang hampir pecah. Tak ada yang menolong sama sekali, semuanya hanya menonton dengan wajah terkejut yang di buat-buat. Feli yang sejak tadi berusaha melepaskan jambakan sang senior, perbedaan kekuatannya terlalu jauh hanya untuk sekedar melancarkan rencana di kepalanya untuk bisa selamat malah sia-sia.
Takut, itulah yang di rasakan Feli. Ia hanya bisa menutup matanya rapat-rapat saat tangan itu melayang kearahnya. Detik berikutnya Feli masih belum merasakan apa-apa, harusnya saat ini ia merasa sakit karena di pukul. Gadis itu memberanikan diri membuka matanya dan ternyata seorang berkulit pucat itulah yang menahan pukulan tersebut.
"Dean! Apa yang kau lakukan! Jangan ikut campur," Ujar senior itu.
"Lepaskan!" Ujar Dean dengan tatapan dingin.
Sosok pria tegap dengan paras rupawan termenung dengan tangannya terselip sebatang rokok. Angin lembut menerpa rambut hitamnya, dari atap sekolah ini ia bisa melihat segerombolan siswa yang berbondong-bondong memadati area sekolah. Ia kemudian mengacak-acak rambutnya, rokok yang sudah habis setengah itu di buangnya ke lantai kemudian di injak. "Ck.. Ada apa denganku?" Ujar Arlan dengan sebuah memori terlintas di kepalanya. Arlan mengernyitkan dahinya seraya melihat gadis berambut pendek dengan topi hitam di bawah sana sedang berjongkok sambil memainkan ranting pohon. Kejadian saat istirahat tadi kemudian terlintas di kepala Arlan, dalam diam mata kebiruan itu tetap terfokus pada gadis tersebut. Feli dengan topi hitam pemberian dari Dean tampak lesu. Helaan nafas keluar dari bibirnya, ia masih sangat terkejut. Feli sengaja kabur dari UKS untuk menenangkan diri tanpa berpamitan pada Dean yang sedang pergi mengambil sesuatu, bahkan saat bel masuk berbunyi ia mas
Dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangannya, Feli melangkah masuk ke dalam area sekolah. Ia telah berangkat cukup pagi demi melihat ruangan yang akan menjadi markas organisasinya. "Pintu paling ujung sebelah barat setelah ruang peralatan olahraga," Feli bergumam sambil mencari keberadaan pintu."Ah, yang ini." Sebelum membuka pintu, ia meletakkan kotak di lantai dan mengambil kunci di kantongnya.Baru saja membuka sang pintu, debu yang begitu tebal langsung menyambut Feli. Kondisi berdebu dan ada beberapa sarang laba-laba juga bangkai tikus menjadi beberapa hal yang menghiasi ruangan tersebut. Ruangan itu adalah sebuah gudang tua yang sudah lama tidak di gunakan. "Sepertinya anggota OSIS sedang mempermainkan aku dengan memberikan gudang tua," Ujar Feli dengan tangannya masih menutup hidungnya karena bau bangkai tikus yang menyengat."Sama seperti perkiraanku."Melangkah masuk untuk memeriksa ruangan itu, Feli membuka jendela yang sedikit berkarat itu dengan susah payah takut ji
"Siapa?" Tanya Feli cukup penasaran "Dia saudara angkatku," Jawab Ray sambil membuka pintu gudang. Ray masuk lebih dulu sebelum akhirnya Feli mengikuti dari belakang. Terdengar sebuah suara benturan keras dari dalam, Feli tidak bisa melihat sesuatu yang terjadi di dalam karena punggung lebar Ray menghalangi pandangannya. Ray memutar tubuhnya sebelum akhirnya mengambil alih kursi rusak dari Feli. "Apa yang terjadi? Itu suara apa?" Tanya Feli saat melihat perubahan wajah Ray menjadi sedikit suram. "Biar aku saja yang membawanya. Ada banyak tikus di sini. Kau keluarlah," Ujar Ray. Feli hanya bisa diam, ia tidak berani bertanya lebih lanjut meskipun tau jika Ray berbohong soal tikus. Feli berbalik pergi dari sana meskipun cukup ragu, ia tau jika ada orang lain di gudang itu. Suara langkah kaki dari orang itu saja semakin mendekat ke arah mereka. Jadi jelas siapa pelaku dari suara keras tadi, pendengaran Feli memang cukup tajam. "Apa tidak masalah jika aku pergi? Sepertinya Ray cukup
Mewah, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sekolah elit tersebut. Dengan satu bangunan utama yang memiliki lima lantai mampu membuat semua orang melongo ketika melihatnya. Bangun yang di atur dengan desain yang mewah, suasana nyaman dengan pekarangan sekolah yang cukup luas dan bersih. Beberapa pohon rindang seolah-olah menyambut setiap siswa yang melewati jalan aspal menuju bangun utama sekolah. SMA para keturunan emas, itulah yang sering kali di ucapkan orang-orang tentang SMA Lentera Bangsa ini. Salah satu jajaran sekolah populer hanya untuk para anak konglomerat dan anak-anak berotak jenius. Aruna Feliciana Xaviela adalah salah satu jajaran dari garis jenius beruntung yang terpilih. Sekolah ini telah banyak meluluskan para siswa-siswi hebat yang terus mengharumkan nama sekolah atas semua pencapaian mereka, karena hal itulah para investor juga sangat tertarik untuk menginvestasikan uang mereka ke sekolah tersebut. Bukan hanya sekolahnya saja yang menarik perhatian tetapi
Langkah kecil Feli yang menuruni tangga sempat terhenti kala sebuah papan nama terlempar ke arahnya. Ia lalu melihat dari ujung tangga, ada beberapa orang yang sedang beradu pukulan di sana. Feli mengigit bibir bawahnya saat menyaksikan ke brutalan seorang pria yang terus melayangkan pukulan tanpa ampun. "Sialan kau Ray!!" Suara bentakan itu membuat Feli tersentak kaget, debaran jantungnya memacu dua kali lebih cepat melihat bagaimana dengan mudahnya pria dengan mata hitam kemerahan itu membenturkan kepala lawannya ke dinding tanpa ragu. Rasa takut membuat Feli beku di tempat, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun atau bahkan bergerak pergi dari tempat itu. Rasanya kakinya sedang ditahan sesuatu yang sangat berat. Nafas Feli jadi tak beraturan, ia merasa aneh dengan dirinya saat ini. Ada perasaan familiar dan ingatan yang samar-samar di rasakan oleh Feli. Matanya terpejam saat tak mampu lagi melihat kebrutalan pria pemilik mata hitam kemerahan
Pagi hari yang sama menyambut Feli, kini ia telah siap dengan pakaian lengkapnya. Gadis itu lalu menyambar tasnya kemudian turun untuk sarapan. Rumah sederhana itu merupakan harta berharga yang paling Feli sayangi, pasalnya di sinilah kenangan orang tuanya tersimpan. Saat ini ia tinggal bersama orang tua angkatnya yang tak lain adalah bibinya sendiri. "Makan dulu sayang," Ujar wanita paruh baya itu sambil mengeringkan tangannya setelah mencuci piring kotor. "Wahh.. Semuanya keliatan enak-enak. Hari ini mama keliatan sangat cantik deh," Puji Feli seraya memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya. "Duhh.. Mulut anak mama manis banget ya," Ujarnya seraya mencubit pipi Feli dengan gemas. "Heheheh.. Kan mama Fanya yang ajarin," Ujar Feli hingga Fanya memberikan kecupan sayang pada anak angkatnya itu. "Kamu nggak terlambat nak? Ini udah hampir jam tujuh loh," Ujar Fanya. "Loh? Kok udah jam segini aja? Bentar mah. Feli habisin ini dulu," Ujar Feli yang kemudian dengan terburu-buru
"Bagaimana kabarmu, Arlan?" Tanya seorang pria paruh baya sambil menikmati minuman dalam cangkirnya."Seperti biasa. Sama buruknya dengan hari-hari lainnya," Jawab Arlan dingin dan sinis."Besok pulanglah ke rumah, tidak baik jika kau terus merepotkan Ray." Bukannya menjawab, Arlan malah mendobrak meja sambil bangkit dari duduknya."Untuk apa anda peduli, tuan Yohanes yang terhormat!" Ujar Arlan seraya menekankan ucapannya."Ayah tidak ingin ada gosip buruk karena kau terus tinggal di luar rumah," Ujar YohanesMendengar ucapan sang ayah membuat Arlan marah dan keluar sambil membanting pintu. Arlan berpapasan dengan Ray di jalan namun ia memilih untuk melewatinya begitu saja. Ray paham betul dengan apa yang terjadi pada Arlan, hubungan Arlan dan Yohanes ayahnya tidak begitu baik. Ray adalah saudara angkat Arlan yang di adopsi dari panti asuhan."Ayah memanggilku?" Ujar Ray."Duduklah Ray," Ujar Yohanes."Baik ayah."
"Kau yakin?" Ujar Ray."Iya, kau boleh pergi. Aku bisa menjaga diriku sendiri," Ujar Feli."Ya sudah. Aku pergi dulu," Ujar Ray seraya berjalan menjauh dari Feli.Beberapa menit berlalu setelah Ray pergi meninggalkan Feli. Tak ada satupun taksi yang lewat hingga mengharuskan Feli memilih untuk berjalan kaki pulang kerumahnya. Karena belum terlalu larut malam suasana di jalan masih sangat ramai, terlebih lagi ada banyak lampu restoran yang menerangi jalan, pria mabuk tadi juga sudah menghilang entah kemana.Perut Feli berbunyi yang menandakan ia harus segera di isi dengan makanan. Gadis itu berhenti di salah satu food truck ayam goreng yang terlihat lezat. "Bu, sekalian bakso dan tahu gorengnya. Ini uangnya," Ujar Feli.Sambil menenteng bungkus makanan yang baru saja di belinya, Feli kembali melanjutkan langkahnya untuk segera pulang. Merasa ada hal yang janggal, Feli lantas mempercepat langkahnya untuk segera menjauh dari seseorang. Feli berhenti k