Valentine tertawa terbahak-bahak di restoran, seolah-olah kemenangan dan uang sudah ada di tangannya.Sementara itu, orang yang duduk di seberangnya bertanya dengan heran, "Aku nggak ngerti. Kenapa kamu menghancurkan perusahaan yang ibumu bangun dengan susah payah?"Tebersit hinaan pada sorot mata Valentine. "Dia nggak pantas disebut ibuku!"Ucapan ini sontak menyakiti ibuku yang menguping di luar. Kemarahan dan kekecewaan bersatu. Ibuku yang tidak tahan lagi pun mendorong pintu dan masuk."Valentine! Apa maksudmu? Kamu mau menjatuhkan bisnis keluarga sendiri?" tanya ibuku dengan suara bergetar.Setelah mendengarnya, Valentine yang selalu bersikap patuh malah memasang ekspresi kejam dan terkekeh-kekeh sinis. Dia menyahut, "Ya ampun, ibuku yang baik, atas dasar apa kamu bilang aku menjual rahasia perusahaan? Apa kamu punya bukti?"Ketika melihat ekspresi Valentine yang tidak biasa, ibuku yang awalnya masih menaruh harapan seketika merasa putus asa. "Valentine! Apa mungkin cinta kasih ya
"Jadi ... jadi, pengorbananku selama bertahun-tahun ini untukmu cuma membuatmu benci padaku?" Ibuku terduduk lemas di lantai dan menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis.Ketika melihat penampilan ibuku yang seperti ini, Valentine merasa agak aneh. Mungkin, ini adalah simpati yang dimiliki seorang pemenang terhadap orang yang kalah dan terlihat lemah.Namun, Valentine segera mengalihkan pandangannya dan berujar, "Ingat hari ini baik-baik."Ledekan dan hinaan terdengar jelas dari suaranya. "Ingat masa lalu dan ketidakberdayaan yang kamu rasakan dari cinta dan harapan yang kamu bangga-banggakan itu."Suasana lagi-lagi menjadi aneh dan hening, seolah-olah ini adalah ketenangan terakhir sebelum badai besar datang.Ibuku memeluk kepalanya sambil menangis tersedu-sedu. Tubuhnya bergetar. Dia terisak-isak. Padahal, rumah ini seharusnya dipenuhi suasana harmonis."Virginia, Virginia ...." Ibuku menggumamkan namaku tanpa henti. Setiap panggilannya seperti mengandung magnet, membangu
"Tiga ratus miliar. Nggak boleh kurang sepeser pun. Setelah kamu memberiku uang ini, aku akan memberitahumu semuanya." Suara ayah Valentine sangat dingin dan licik.Ibuku menggenggam ponselnya. Dia bertanya dengan suara seperti orang berteriak, "Gimana aku bisa percaya? Kenapa harus melakukan hal seperti ini? Kalian nggak punya perikemanusiaan ya?""Perikemanusiaan? Di hadapan uang, nggak ada yang namanya perikemanusiaan." Ayah Valentine seolah-olah mendengar lelucon terkonyol di dunia.Ibuku bersandar di dinding dengan tidak berdaya. "Oke ... aku setuju. Tapi, kamu harus beri tahu aku kebenarannya."Setelah membuat kesepakatan, mereka bertemu di depan pintu masuk sebuah pabrik yang terbengkalai. Matahari menyinari dinding yang terlihat kotor. Tercium bau karat yang bercampur dengan bau tanah yang lembap.Ayah Valentine memakai kacamata hitam dan baju yang longgar. Ibuku membawa beberapa pengawal untuk bertemu dengannya."Sudah bawa uangnya?" tanya ayah Valentine langsung.Ibuku mengan
Aku hanya bisa menyaksikan pemandangan kejam di depan mata."Siapa yang nasibnya lebih tragis sekarang?" ejek Valentine yang berhenti memukul untuk beristirahat sejenak. "Kalau kamu mendengarkanku hari itu, Virginia pasti sudah mendonorkan ginjalnya sebelum dia mati "Valentine menyingsingkan lengan bajunya untuk memperlihatkan lengannya yang berlubang akibat jarum. "Lihat! Aku merasa sangat tersiksa setiap kali cuci darah!"Valentine mengangkat tongkat kastinya dan memukul dengan makin kuat. Setiap pukulan seperti ingin melampiaskan seluruh kebenciannya."Kamu pantas mendapat semua ini!" seru Valentine.Meskipun mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, ibuku tetap berusaha bangkit. Suaranya terdengar dipenuhi kebencian. "Kamu sudah mencelakai putriku ...."Namun, Valentine telah kehilangan akal sehatnya. Dia menginjak ibuku dengan sepatu hak tingginya. Dia tertawa terbahak-bahak sebelum memekik, "Dasar wanita tua! Kamu masih ingin melawan? Hari ini, akan kusingkirkan kamu dari dunia i
Belakangan ini, kepalaku terus sakit. Bahkan, aku sering jatuh pingsan di jalan. Ketika mendapat hasil laporan dari rumah sakit, jantungku seolah-olah berhenti berdetak.Ternyata aku mengidap tumor otak ganas. Penyakit ini langka. Dokter bilang kalau aku nggak rajin berobat, aku nggak bakal bisa bertahan sampai dua bulan.Aku baru berusia 23 tahun. Kehidupanku malah hanya tersisa kurang dari dua bulan. Bagaimana aku harus memberi tahu ibuku kabar ini?Dengan perasaan berat hati, aku pulang ke tempat yang disebut rumahku. Begitu mendorong pintu, aku melihat ibuku dan putri adopsinya yang bernama Valentine sedang bersenang-senang. Sungguh pemandangan yang harmonis. Sementara itu, aku seperti orang luar."Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang? Kamu mau buat kakakmu mati kelaparan ya? Cepat masak sana!""Ya, Ibu." Ibuku sama sekali tidak memperhatikan kantong plastik berisikan obat yang kupegang. Mungkin, dia sudah melihatnya, tetapi tidak peduli.Aku menarik tubuhku yang lelah ke dapur.
Ketika aku terbangun kembali, entah siapa yang membawaku ke kamar pembantu di ruang bawah tanah. Air merembes di lantai. Cat di dinding hampir terkelupas habis.Di ruangan yang dingin dan lembab ini, setiap batu bata dan setiap tetes air seolah-olah sedang mengejek nasibku. Benar, sejak kakak kandungku meninggal, aku seperti hantu di keluarga ini.Valentine menguasai semua kemewahan yang dulunya adalah milikku, sedangkan aku sakit dan tidak punya uang untuk melakukan operasi. Valentine malah bisa melakukan transplantasi ginjal dengan mudah. Donor ginjalnya dariku.Dengan sempoyongan, aku mengeluarkan uang yang kusimpan dengan hidup berhemat selama bertahun-tahun. Aku menggenggam erat uang hasil jerih payahku, lalu akhirnya membayar biaya pengobatan pertama.Setelah pengobatan, aku opname dua hari. Setelah pulang ke rumah, aku tidak mendapat perhatian yang kunanti-nantikan. Mereka tidak menanyakan kabarku, malah memakiku habis-habisan."Dasar jalang! Kemana saja kamu? Kamu pasti pergi s
Namun, ibuku tidak tahu kali ini aku benar-benar mati setelah dikurungnya di ruang bawah tanah yang lembap. Rohku bergentayangan di dunia ini, bagaikan gumpalan udara yang tidak bisa dirasakan.Aku melihat ibuku dan Valentine bersenang-senang di pantai. Cahaya matahari menyinari mereka, seolah-olah memberi mereka doa terbaik. Sementara itu, aku seperti butiran debu yang dilupakan oleh dunia. Tidak ada cahaya matahari yang menyinari."Sayang, kamu suka kalung ini nggak? Beli saja," ucap ibuku sambil menatap Valentine dengan penuh kasih sayang. Batu berlian pada kalung itu terlihat makin berkilauan di bawah cahaya sinar matahari."Terima kasih, Ibu!" Valentine menerima kalung itu dengan senang hati. Tiba-tiba, dia teringat pada sesuatu sehingga bertanya, "Oh ya, gimana kabar Virginia sekarang ya? Apa perlu telepon dia untuk kasih lihat pemandangan pantai?"Usul Valentine yang terdengar polos ini mengandung hinaan. Ketika mendengarnya, hatiku terasa sakit. Namun, yang lebih menyakitkan ad
Aku melayang di udara, melihat keduanya berbahagia. Kemudian, ibuku mendapat panggilan dari rumah sakit. Katanya, hasil tes cocok. Aku bisa mendonorkan ginjalku kepada Valentine.Ibuku menyuruh Valentine meneleponku. Mereka ingin memintaku membuat persiapan operasi. Namun, tidak ada yang menjawab panggilan. Aku sudah mati, bagaimana mungkin menjawab panggilan lagi?"Ibu, Virginia nggak angkat telepon! Apa dia nggak mau mendonorkan ginjalnya padaku? Bu, huhu ...." Valentine berpura-pura menangis di hadapan ibuku."Benar-benar nggak berguna! Ditelepon saja nggak dijawab! Entah ke mana dia! Kalau sampai aku melihatnya, dia akan kuberi pelajaran!" Bentakan ibuku yang dipenuhi amarah bergema di pinggir pantai. Ibuku mencoba meneleponku lagi dan lagi. Setiap kali tidak ada jawaban, amarahnya makin berkecamuk."Aku rasa dia sudah bosan hidup!"Valentine yang berdiri di samping tak kuasa mengernyit. "Ibu, apa mungkin Virginia marah sampai nggak mau mendonorkan ginjalnya kepadaku lagi? Sebelumn