"Tiga ratus miliar. Nggak boleh kurang sepeser pun. Setelah kamu memberiku uang ini, aku akan memberitahumu semuanya." Suara ayah Valentine sangat dingin dan licik.Ibuku menggenggam ponselnya. Dia bertanya dengan suara seperti orang berteriak, "Gimana aku bisa percaya? Kenapa harus melakukan hal seperti ini? Kalian nggak punya perikemanusiaan ya?""Perikemanusiaan? Di hadapan uang, nggak ada yang namanya perikemanusiaan." Ayah Valentine seolah-olah mendengar lelucon terkonyol di dunia.Ibuku bersandar di dinding dengan tidak berdaya. "Oke ... aku setuju. Tapi, kamu harus beri tahu aku kebenarannya."Setelah membuat kesepakatan, mereka bertemu di depan pintu masuk sebuah pabrik yang terbengkalai. Matahari menyinari dinding yang terlihat kotor. Tercium bau karat yang bercampur dengan bau tanah yang lembap.Ayah Valentine memakai kacamata hitam dan baju yang longgar. Ibuku membawa beberapa pengawal untuk bertemu dengannya."Sudah bawa uangnya?" tanya ayah Valentine langsung.Ibuku mengan
Aku hanya bisa menyaksikan pemandangan kejam di depan mata."Siapa yang nasibnya lebih tragis sekarang?" ejek Valentine yang berhenti memukul untuk beristirahat sejenak. "Kalau kamu mendengarkanku hari itu, Virginia pasti sudah mendonorkan ginjalnya sebelum dia mati "Valentine menyingsingkan lengan bajunya untuk memperlihatkan lengannya yang berlubang akibat jarum. "Lihat! Aku merasa sangat tersiksa setiap kali cuci darah!"Valentine mengangkat tongkat kastinya dan memukul dengan makin kuat. Setiap pukulan seperti ingin melampiaskan seluruh kebenciannya."Kamu pantas mendapat semua ini!" seru Valentine.Meskipun mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, ibuku tetap berusaha bangkit. Suaranya terdengar dipenuhi kebencian. "Kamu sudah mencelakai putriku ...."Namun, Valentine telah kehilangan akal sehatnya. Dia menginjak ibuku dengan sepatu hak tingginya. Dia tertawa terbahak-bahak sebelum memekik, "Dasar wanita tua! Kamu masih ingin melawan? Hari ini, akan kusingkirkan kamu dari dunia i
Belakangan ini, kepalaku terus sakit. Bahkan, aku sering jatuh pingsan di jalan. Ketika mendapat hasil laporan dari rumah sakit, jantungku seolah-olah berhenti berdetak.Ternyata aku mengidap tumor otak ganas. Penyakit ini langka. Dokter bilang kalau aku nggak rajin berobat, aku nggak bakal bisa bertahan sampai dua bulan.Aku baru berusia 23 tahun. Kehidupanku malah hanya tersisa kurang dari dua bulan. Bagaimana aku harus memberi tahu ibuku kabar ini?Dengan perasaan berat hati, aku pulang ke tempat yang disebut rumahku. Begitu mendorong pintu, aku melihat ibuku dan putri adopsinya yang bernama Valentine sedang bersenang-senang. Sungguh pemandangan yang harmonis. Sementara itu, aku seperti orang luar."Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang? Kamu mau buat kakakmu mati kelaparan ya? Cepat masak sana!""Ya, Ibu." Ibuku sama sekali tidak memperhatikan kantong plastik berisikan obat yang kupegang. Mungkin, dia sudah melihatnya, tetapi tidak peduli.Aku menarik tubuhku yang lelah ke dapur.
Ketika aku terbangun kembali, entah siapa yang membawaku ke kamar pembantu di ruang bawah tanah. Air merembes di lantai. Cat di dinding hampir terkelupas habis.Di ruangan yang dingin dan lembab ini, setiap batu bata dan setiap tetes air seolah-olah sedang mengejek nasibku. Benar, sejak kakak kandungku meninggal, aku seperti hantu di keluarga ini.Valentine menguasai semua kemewahan yang dulunya adalah milikku, sedangkan aku sakit dan tidak punya uang untuk melakukan operasi. Valentine malah bisa melakukan transplantasi ginjal dengan mudah. Donor ginjalnya dariku.Dengan sempoyongan, aku mengeluarkan uang yang kusimpan dengan hidup berhemat selama bertahun-tahun. Aku menggenggam erat uang hasil jerih payahku, lalu akhirnya membayar biaya pengobatan pertama.Setelah pengobatan, aku opname dua hari. Setelah pulang ke rumah, aku tidak mendapat perhatian yang kunanti-nantikan. Mereka tidak menanyakan kabarku, malah memakiku habis-habisan."Dasar jalang! Kemana saja kamu? Kamu pasti pergi s
Namun, ibuku tidak tahu kali ini aku benar-benar mati setelah dikurungnya di ruang bawah tanah yang lembap. Rohku bergentayangan di dunia ini, bagaikan gumpalan udara yang tidak bisa dirasakan.Aku melihat ibuku dan Valentine bersenang-senang di pantai. Cahaya matahari menyinari mereka, seolah-olah memberi mereka doa terbaik. Sementara itu, aku seperti butiran debu yang dilupakan oleh dunia. Tidak ada cahaya matahari yang menyinari."Sayang, kamu suka kalung ini nggak? Beli saja," ucap ibuku sambil menatap Valentine dengan penuh kasih sayang. Batu berlian pada kalung itu terlihat makin berkilauan di bawah cahaya sinar matahari."Terima kasih, Ibu!" Valentine menerima kalung itu dengan senang hati. Tiba-tiba, dia teringat pada sesuatu sehingga bertanya, "Oh ya, gimana kabar Virginia sekarang ya? Apa perlu telepon dia untuk kasih lihat pemandangan pantai?"Usul Valentine yang terdengar polos ini mengandung hinaan. Ketika mendengarnya, hatiku terasa sakit. Namun, yang lebih menyakitkan ad
Aku melayang di udara, melihat keduanya berbahagia. Kemudian, ibuku mendapat panggilan dari rumah sakit. Katanya, hasil tes cocok. Aku bisa mendonorkan ginjalku kepada Valentine.Ibuku menyuruh Valentine meneleponku. Mereka ingin memintaku membuat persiapan operasi. Namun, tidak ada yang menjawab panggilan. Aku sudah mati, bagaimana mungkin menjawab panggilan lagi?"Ibu, Virginia nggak angkat telepon! Apa dia nggak mau mendonorkan ginjalnya padaku? Bu, huhu ...." Valentine berpura-pura menangis di hadapan ibuku."Benar-benar nggak berguna! Ditelepon saja nggak dijawab! Entah ke mana dia! Kalau sampai aku melihatnya, dia akan kuberi pelajaran!" Bentakan ibuku yang dipenuhi amarah bergema di pinggir pantai. Ibuku mencoba meneleponku lagi dan lagi. Setiap kali tidak ada jawaban, amarahnya makin berkecamuk."Aku rasa dia sudah bosan hidup!"Valentine yang berdiri di samping tak kuasa mengernyit. "Ibu, apa mungkin Virginia marah sampai nggak mau mendonorkan ginjalnya kepadaku lagi? Sebelumn
Setelah mendengarnya, ibuku membentak dengan makin marah, "Meninggal? Jangan menipuku! Mana mungkin dia meninggal! Waktu Vivian mati saja, dia nggak mati! Kalau memang mau mati, kenapa harus tunggu sampai hari ini!"Ibuku berteriak tanpa bisa mengendalikan dirinya. Dia menyuruh Valentine menginstruksi pembantu, "Suruh dia periksa baik-baik di seluruh kamar! Virginia pasti cuma pura-pura mati supaya terlepas dari tanggung jawab!"Meskipun takut, pembantu tetap menuruti instruksi ibuku dengan memeriksa seluruh kamar. Setelah memastikan tidak ada kesalahan, dia melapor lagi, "Bu, aku sudah periksa semua. Kalau nggak percaya, telepon saja ambulans!"Suara pembantu itu bergema di ruangan yang kosong dan gelap. Orang di ujung telepon terdiam untuk waktu yang sangat lama."Dia memang nggak ada kapoknya! Dia pasti cuma pura-pura mati! Aku bakal panggil ambulans!"Sekalipun telah meninggalkan dunia ini, penilaian ibuku terhadapku masih begitu kejam.Setelah staf medis tiba, ibuku masih bertanya
Ketika berbalik untuk meninggalkan kamar mayat, ibuku berpesan, "Bereskan semuanya, lalu laporkan pada kami." Seluruh proses, aku tidak melihat kesedihan ataupun penyesalan pada ekspresi ibuku, seolah-olah hanya memastikan jawaban atas pertanyaan yang sudah lama membuatnya bingung.Sementara itu, Valentine terperangah di tempatnya. Air mata terus menetes. Dia tidak bisa melampiaskan emosinya yang rumit.Rohku terombang-ambing tertiup angin. Hingga akhir, aku tidak mendapat cinta kasih ini yang telah kunantikan lama sekali.Kalau bukan karena aku mati, Valentine tidak mungkin menunjukkan wajahnya yang sebenarnya. Setelah pulang, ibuku kembali menyibukkan diri, seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi. "Sayang, malam ini mau makan apa? Biar Ibu masak untukmu."Suara ibuku terdengar cukup lembut. Jika itu aku yang masih kecil, aku pasti akan merasa sangat bahagia. Namun, sekarang aku hanya merasa lucu.Valentine termangu di tempatnya beberapa detik. Pada akhirnya, dia bereaksi dan meny