Share

Bab 5

Adris tidak bisa tidur. 

Bahkan kantuk pun tidak kunjung datang sejak tadi, karena pikirannya selalu melayang ke adegan dia melempar Mala ke atas ranjangnya hari itu.

Rasanya seperti ada sesuatu yang tertinggal di dalam dadanya, tapi ia tidak tahu apa. 

Tubuhnya selalu bereaksi aneh setiap kali sel-sel otaknya mengirimkan memori ketika tangannya menyentuh setiap permukaan tubuh Mala, dan parahnya dia menginginkannya lagi. 

Gila!

Matanya kini dengan acuh melihat layar datar pada tablet yang ada di tangannya.

Tampaknya, Mala dan Kelon berhasil melewati gerbang belakang tanpa hambatan, karena siluet mereka tidak lagi terpantau kamera CCTV.

Adris lantas tanpa pikir panjang menghapus semua rekaman yang terjadi sejak Mala keluar dari kamar di area pelayan.

Setelah memastikan semua beres,  Adris beranjak menuju ranjang dan merebahkan dirinya ke atas kasur tempatnya mencumbu Mala hari itu. 

Anehnya aroma tubuh Mala masuk ke dalam indra penciumannya. Untuk sejenak, Adris memejamkan matanya, menghidu dan meresapi aroma manis yang tidak pernah disangkanya.

Dia pasti sudah gila! Adris tak henti mengutuk dirinya.

Segera ia bangkit dan meraih ponselnya, satu nomor dia tekan tanpa perlu dia berkata. Kurang dari lima menit pintu kamarnya sudah diketuk.

“Ganti seprai kasur.” kata Adris begitu membuka pintu dan mendapati Pak Didin dengan baju tidurnya sudah berdiri di sana.

Wajah pria itu lelah dan mengantuk, tapi sama sekali tidak protes meski Tuan Mudanya secara tak tahu diri menyuruhnya untuk mengganti seprai pada pukul lewat dua dini hari.

Adris menunggu di balkon sementara Pak Didin melakukan tugasnya. Ia menunggu Kelon memberikan kabar dan memastikan gold digger itu tidak akan kembali.

“Tuan!” Tiba-tiba saja Pak Didin sudah menghampiri Adris dengan ekspresi wajahnya yang cemas, tak hanya itu, dia juga membawa serta sebuah kotak obat.

Adris mengerutkan keningnya. 

“Dimana yang luka, Tuan? Biar saya bantu obati.”

“Luka apa?” tanya Adris dengan nada bingungnya.

“Luka pada Tuan.”

“Bicara yang benar!” Cetus Adris. 

“Itu Tuan, saya lihat ada darah di seprai Anda. Apakah Tuan terluka karena tergores sesuatu?”

“Darah di seprai?” 

Pak Didin mengangguk. 

Adris langsung masuk untuk melihat sendiri darah yang dimaksud Pak Didin. Ekspresinya berubah kaku ketika Pak Didin menunjukkan bercak darah pada bagian seprai yang tadinya tertutup selimut. 

Otaknya kembali melayang ketika dia memasuki Mala dengan susahnya, dia melakukannya tepat pada sisi dimana bercak darah itu berada.

Apakah itu darah perawan? Apakah perempuan itu masih perawan? Tapi bukannya dia dan kakek… Pertanyaan-pertanyaan itu menggema di dalam kepala Adris. 

“Tuan muda? Ada apa? Di mana yang sakit?” Pak Didin masih dengan nada khawatirnya.

“Aku tidak apa-apa. Cepat ganti saja spreinya.” Adris kembali ke balkon dengan pikirannya yang mulai tidak karuan. 

Ada sebuah rasa yang tidak membuatnya nyaman tiba-tiba menyusup ke dalam dadanya, rasa itu menimbulkan rasa penasaran juga bersalah atas tuduhan yang sebelumnya dia lontarkan kepada Mala. 

*  *  *

“Cari tau apa yang dibawanya ke ruangan Kakek.” titah Adris pada Kelon yang sudah kembali. 

Asistennya yang berdarah dingin itu sudah datang setelah menempuh perjalan pulang-pergi ke luar kota dalam waktu enam jam tanpa terlihat lelah atau pun lesu.

Dia tetap hadir dengan penampilannya yang rapi dan dingin.

Kelon melihat hasil rekaman CCTV yang ditunjukkan Adris padanya yang menunjukkan rekaman di mana Mala yang datang ke ruang kerja Rasnad dengan membawa sebuah berkas.

Kelon mengangguk seraya meletakkan kembali tablet itu di atas meja kerja.

“Cari tau juga, apa saja yang dia lakukan atau apapun yang terjadi padanya setelah pernikahan itu.” ucap Adris dengan matanya yang menyorot tajam pada ranjangnya yang masih belum dia tempati meskipun Pak Didin sudah menggantinya dengan seprai yang bersih. 

Semalaman dia mengingat kembali setiap momen yang diabaikan dari tubuh Mala. Tak hanya sulit untuk dimasuki, pada beberapa tubuh Mala juga terdapat lebam-lebam yang membiru. 

“Baik Tuan.” Kelon mengangguk kembali. “Saya permisi.”

“Tunggu.” Adris menahan, matanya menyorot Kelon dengan serius. “Kamu yakin dia tidak akan kembali?”

“Yakin, Tuan.”

“Apa dia mengatakan sesuatu?”

“Dia meminta agar hidupnya dan anak-anak panti tidak diusik.”

Adris mengerutkan keningnya sedikit, “Anak-anak panti? Panti apa?”

“Panti asuhan tempat dia dibesarkan sejak kecil, Tuan.”

“Kemana kamu mengantarnya?”

“Panti asuhan Kejora. Tiga jam dari kota ini.”

Adris menegakkan punggungnya, jemarinya bertaut di atas meja. “Kenapa dia berkata begitu? Untuk apa aku mengusik hidupnya dan anak-anak panti asuhan?”

“Mungkin yang dia maksud bukan Tuan muda, tapi-”

BRAK!

“Di mana perempuan itu?!” Bentakan Tuan Besar yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Adris membuat Adris menatapnya acuh dari pada terkejut.

“Siapa?” tanya Adris dengan nada datarnya.

“Mala!”

“Mana aku tau. Bukannya dia wanita bayaran Kakek, kenapa bertanya padaku.”

“Jaga ucapanmu! Apa kamu pikir Kakekmu ini serendah itu bermain dengan seorang pelayan?!”

Rasnad sudah memelototkan matanya di balik kaca mata yang sudah merosot hingga ke tulang hidungnya.

Adris menaikkan bahunya secara acuh. Terkesan tidak peduli dengan ucapan kakeknya, padahal otaknya langsung bekerja.

“Perempuan itu pergi!”

“Lalu?” Adris balik bertanya.

“Apa kamu bodoh?! Besok adalah acara ulang tahun perusahaan, kamu harus datang bersamanya!”

“Aku sudah bilang tidak bisa, aku harus ke luar kota untuk mengurus-” 

“Aku bisa menghancurkan bisnis konyolmu itu jika kamu tidak datang ke acara ulang tahun perusahaan!”

“Aku akan membangunnya lagi, lagi dan lagi.” sahut Adris dengan ekspresinya yang datar tapi membuat kakeknya marah.

“Berhenti bermain-main dengan bisnis-bisnis kecilmu itu, Ad! Kamu adalah pewaris AdiYas Group.”

“Kita sudah sering membahas ini, Kek. Tidak perlu memperdebatkan hal yang sama berulang kali, karena jawabanku tetap sama. Aku akan membantu Kakek, tapi jangan halangi aku mengembangkan bisnisku sendiri.” ucap Adris dengan tenang. 

“Lagi pula perusahaan Kakek akan tetap ulang tahun tanpa kehadiranku dan perempuan itu, kan?”

Rasnad menghentakkan tongkat jalannya yang mengkilat itu dengan kesal.

Jika tidak ingat bahwa kekeraskepalaan Adris turun dari dirinya sendiri, Rasnad pasti sudah menoyor jidat cucunya dengan tongkat yang dipegangnya.

“Lihat saja, akan aku temukan pelayan sialan itu dan menyeretnya bersamamu ke acara besok!”

“Terserah, tapi aku tetap tidak bisa datang.”

“Jangan menguji kesabaranku Adris Abiyesa!”

Adris hanya menghela napas.

Ia terlalu malas mendebat kakeknya yang selalu saja memikirkan citra perusahaannya dengan menjadikan Adris sebagai bonekanya yang harus selalu bisa memenuhi apa yang telah menjadi keputusan Rasnad. 

“Aku harap perempuan itu sudah hilang ditelan bumi dan tidak akan kembali lagi ke mansion ini.”

“Aku akan menyeretnya kembali, kamu tunggu saja!” ujar Rasnad dengan sangat tegas sembari menunjuk wajah Adris dengan ujung tongkatnya.

Rasnad pun langsung berlalu dari hadapan Adris dan Kelon, tapi suara geramnya masih terdengar ketika dia memberikan perintah kepada tangan kanannya yang menunggu di depan ruangan.

“Temukan dia! Akan aku hancurkan dia dan anak-anak sialan itu!”

Seketika punggung Adris tegak sempurna, ekspresinya kaku, ia menatap Kelon dengan keterkejutan yang tidak ingin dia percaya.

Mungkinkah tuduhannya dan pikirannya tentang Mala selama ini salah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status