Share

Bab 4

“Mengerti, Tuan.” jawab Mala. Ia sekilas melihat Adris menengokkan kepalanya pada Mala.

Terserah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, saat ini Mala harus terlihat patuh-patuh saja tanpa membantah. 

Dia tidak mungkin mengatakan tentang bayaran yang sudah diberikan Adris dan apa yang sudah dirinya tanda tangani kepada Rasnad, bukan?

Jadi, jalan satu-satunya saat ini adalah menjawab apa yang ingin didengar oleh Tuan besar itu.

Mala sangat tahu diri untuk tidak duduk di sana sampai makan malam selesai.

Dia hanya duduk untuk menjawab permintaan Tuan Rasnad, setelahnya dia pamit untuk kembali bersama dengan para pelayan yang lainnya.

Detik per detik dia tunggu dengan tidak sabar, gelisah menunggu hari semakin larut untuk menjalankan misinya yang sangat beresiko.

Tiba-tiba saja rambutnya ditarik, siapa lagi jika bukan oleh salah seorang pelayan yang iri dan dengki pada Mala.

Bukan tanpa alasan para pelayan itu tidak menyukai Mala.

Pasalnya, Mala adalah pelayan yang baru saja bekerja selama dua minggu sebelum kemudian dijadikan pengantin untuk Tuan Muda mereka yang rupawan secara tiba-tiba.

Bagi para pelayan yang sudah bekerja bertahun-tahun di mansion itu, keberadaan Adris tentu saja seperti oase di padang tandus.

Dan pernikahan idola mereka dengan pelayan baru bukan lah hal yang menyenangkan bagi mereka.

“Gue lihat lo masuk ke kamar Tuan Muda tadi sore, ngapain lo di sana? Gak cukup lo ngerayu Tuan Besar, sekarang lo mau jual diri ke Tuan Muda juga?”

“Kalo aku jual diri, trus kamu mau apa?” Kali ini Mala tak lagi diam pasrah dianiaya oleh pelayan-pelayan yang menganggap diri mereka senior.

“Udah berani lo ya sekarang?!”

Tarikan tangan pelayan itu pada rambut Mala semakin kuat.

Tidak seperti Mala yang selalu pasrah sebelumnya, kini Mala melawan balik, ia balas menarik rambut pelayan itu tak kalah kuat.

“Kenapa memangnya kalo aku berani?! Kalau kamu iri sama aku, kamu juga bisa jual dirimu ke Tuan besar dan Tuan Muda, itu pun kalau mereka mau membelimu.” ujar Mala dengan nada sarkas.

Perkataan Mala membuat si pelayan senior naik pitam, dia lantas mendorong Mala hingga kepala Mala membentur ujung meja dari kitchen set di dapur, luka kecil pun langsung tercipta pada pelipis Mala.

“Dasar murahan!” Pelayan senior itu hendak menginjak perut Mala, tapi Mala dengan cepat mendorong kaki pelayan itu hingga tubuhnya terjengkang ke belakang.

Bunyi tubuhnya yang gemuk itu beradu dengan suara lantai.

Mala berdiri dengan ekspresi wajahnya yang sinis. “Kalau kamu juga mau dijadikan pengantin untuk Tuan Muda, kamu harus diet besar-besaran. Oh, satu lagi, Tuan Muda gak suka orang yang bau mulut.” 

Setelah puas membalas si pelayan senior paling menyebalkan di antara pelayan yang lain, Mala langsung meninggalkan tempat itu menuju kamarnya sebelum pada pelayan lainnya yang bar-bar datang dan mengeroyoknya.

Dia harus secepatnya pergi atau dia akan benar-benar mati malam ini. 

Tempat ini sungguh neraka, dari majikan hingga para pelayannya semuanya sesat!

Mala menunggu di dalam kamarnya, tidak menggubris sama sekali cacian dan gedoran pintu dari para pelayan-pelayan itu, dia tahu mereka tidak akan berani mendobrak pintu.

Sampai Mala bisa mendengar suara Pak Didin, kepala ART, datang dan mengusir mereka. 

Kepala ART itu memang jauh lebih baik dari pada para pelayan.

Meski Pak Didin tidak pernah membelanya, tapi pria itu sering memisahkan perundungan yang terjadi dan tak pernah ikut menghinanya.

Jadi, ia sendiri tidak tahu apa Pak Didin bisa dikategorikan sebagai manusia yang baik atau sesat juga seperti yang lainnya.

Setelah alarm pada ponsel smartphone murahnya berbunyi pelan, Mala segera menonaktifkan suaranya.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, sudah waktunya Mala untuk membebaskan diri dari neraka ini. 

Dia sudah siap menggendong ranselnya dan membuka pintu dengan sangat perlahan.

Jantungnya berdegup jumpalitan, antara gugup, takut, nekat semuanya berbaur menjadi satu dalam setiap hentakan jantung yang ada di dalam tubuhnya itu.

Telapak tangannya sudah berkeringat dingin, begitu pun dengan punggungnya.

Ini gila!

Tapi tidak ada yang bisa dilakukan Mala kecuali nekat.

Dia berjalan dengan sangat hati-hati, matanya, telinganya, bahkan penciumannya bekerja dua kali lipat untuk waspada pada sekitarnya.

Karena bisa saja ada hal-hal yang terjadi di luar nalar seperti ketika seseorang menyentuh bahunya dan nyaris membuatnya berteriak jika saja mulutnya tidak buru-buru dibekap oleh tangan yang besar.

“Diam!” Itu suara Adris. Apakah Mala bermimpi?

Setelah Mala diam, Adris melepaskan bekapan tangannya dari Mala, ia bisa melihat meski dengan pencahayaan yang minim bagaimana Adris melap telapak tangannya dengan sapu tangan yang diberikan Kelon.

Tunggu, Kelon? Asisten berjiwa batu es itu juga ada?

“T-Tuan?” Suara Mala yang pelan bernada bingung bertanya pada Adris yang tiba-tiba menghentikannya.

“Kelon akan membawamu keluar dari sini. Dia yang akan mengantar ke tempat yang kamu tuju dan memastikan kamu benar-benar keluar dari rumah ini” ujar Adris dengan cara bicaranya yang acuh.

Meski begitu Mala sempat menganga tak percaya. “Tuan membantu saya?”

“Jangan besar kepala. Gadis licik sepertimu bisa saja hanya berpura-pura kabur, siapa yang akan menjamin kamu malah meminta bantuan Kakek untuk membuatmu tetap di sini?” jawab Adris.

Dia kemudian menganggukkan kepalanya kepada Kelon lalu beranjak pergi begitu saja meninggalkan Mala dengan manusia es.

“Ayo.” kata Kelon berjalan ke arah yang berlawanan dari Adris.

Mala masih menyempatkan diri menengok ke belakang, melihat punggung lebar pria yang membantu rencana kaburnya malam ini, terlepas apapun alasan pria itu. 

Meski rencananya malam ini berjalan tidak sesulit yang dibayangkan karena bantuan Adris dan asistennya, jantung Mala tetap saja berdebar gugup.

Sementara Kelon tetap terlihat biasa saja padahal mereka berjalan melewati beberapa titik yang terpantau CCTV. 

Tidak membutuhkan waktu sampai lima belas menit untuk Mala berhasil keluar dari mansion, karena Kelon mempunyai semua kunci serep dari semua pintu.

Mala dengan langkahnya yang tidak selebar-lebar Kelon harus berusaha melangkah dua kali lipat lebih cepat agar tidak tertinggal. 

Kelon mendekati sebuah mobil sedan hitam yang terparkir lumayan jauh dari lingkungan mansion, dia membayar seseorang yang menunggu mobil itu, kemudian masuk begitu saja ke dalam mobil, Mala cukup inisiatif turut masuk dan duduk di depan.

“Kemana?” tanya Kelon begitu mobil sudah bergerak.

“Panti asuhan Kejora.” jawaban Mala membuat kepala Kelon menengok kepadanya.

“Panti asuhan Kejora?” Kelon mengulangi dengan nada bertanya.

“Iya. Kalau kejauhan, bisa turunkan saja saya di terminal. Jangan khawatir saya gak akan kembali ke rumah itu.”

“Kamu berasal dari panti asuhan itu?” Kelon masih bertanya seolah tidak mendengarkan ucapan Mala.

“Iya. Pantinya jauh, Tuan. Mungkin sekitar tiga jam perjalanan kalau naik bis antar kota. Sebaiknya turunkan saja saya di terminal.”

“Saya bertanggung jawab memastikan kamu sampai di tujuan dan memastikan kamu tidak akan kembali.” ucap Kelon kembali fokus pada pergerakan mobil dan jalanan yang lengang di depan mereka.

Tapi cengkraman tangannya mencengkram kuat pada stir hingga Mala bisa melihat urat-urat pada punggung tangan pria itu bermunculan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status