“Mengerti, Tuan.” jawab Mala. Ia sekilas melihat Adris menengokkan kepalanya pada Mala.
Terserah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, saat ini Mala harus terlihat patuh-patuh saja tanpa membantah.
Dia tidak mungkin mengatakan tentang bayaran yang sudah diberikan Adris dan apa yang sudah dirinya tanda tangani kepada Rasnad, bukan?
Jadi, jalan satu-satunya saat ini adalah menjawab apa yang ingin didengar oleh Tuan besar itu.
Mala sangat tahu diri untuk tidak duduk di sana sampai makan malam selesai.
Dia hanya duduk untuk menjawab permintaan Tuan Rasnad, setelahnya dia pamit untuk kembali bersama dengan para pelayan yang lainnya.
Detik per detik dia tunggu dengan tidak sabar, gelisah menunggu hari semakin larut untuk menjalankan misinya yang sangat beresiko.
Tiba-tiba saja rambutnya ditarik, siapa lagi jika bukan oleh salah seorang pelayan yang iri dan dengki pada Mala.
Bukan tanpa alasan para pelayan itu tidak menyukai Mala.
Pasalnya, Mala adalah pelayan yang baru saja bekerja selama dua minggu sebelum kemudian dijadikan pengantin untuk Tuan Muda mereka yang rupawan secara tiba-tiba.
Bagi para pelayan yang sudah bekerja bertahun-tahun di mansion itu, keberadaan Adris tentu saja seperti oase di padang tandus.
Dan pernikahan idola mereka dengan pelayan baru bukan lah hal yang menyenangkan bagi mereka.
“Gue lihat lo masuk ke kamar Tuan Muda tadi sore, ngapain lo di sana? Gak cukup lo ngerayu Tuan Besar, sekarang lo mau jual diri ke Tuan Muda juga?”
“Kalo aku jual diri, trus kamu mau apa?” Kali ini Mala tak lagi diam pasrah dianiaya oleh pelayan-pelayan yang menganggap diri mereka senior.
“Udah berani lo ya sekarang?!”
Tarikan tangan pelayan itu pada rambut Mala semakin kuat.
Tidak seperti Mala yang selalu pasrah sebelumnya, kini Mala melawan balik, ia balas menarik rambut pelayan itu tak kalah kuat.
“Kenapa memangnya kalo aku berani?! Kalau kamu iri sama aku, kamu juga bisa jual dirimu ke Tuan besar dan Tuan Muda, itu pun kalau mereka mau membelimu.” ujar Mala dengan nada sarkas.
Perkataan Mala membuat si pelayan senior naik pitam, dia lantas mendorong Mala hingga kepala Mala membentur ujung meja dari kitchen set di dapur, luka kecil pun langsung tercipta pada pelipis Mala.
“Dasar murahan!” Pelayan senior itu hendak menginjak perut Mala, tapi Mala dengan cepat mendorong kaki pelayan itu hingga tubuhnya terjengkang ke belakang.
Bunyi tubuhnya yang gemuk itu beradu dengan suara lantai.
Mala berdiri dengan ekspresi wajahnya yang sinis. “Kalau kamu juga mau dijadikan pengantin untuk Tuan Muda, kamu harus diet besar-besaran. Oh, satu lagi, Tuan Muda gak suka orang yang bau mulut.”
Setelah puas membalas si pelayan senior paling menyebalkan di antara pelayan yang lain, Mala langsung meninggalkan tempat itu menuju kamarnya sebelum pada pelayan lainnya yang bar-bar datang dan mengeroyoknya.
Dia harus secepatnya pergi atau dia akan benar-benar mati malam ini.
Tempat ini sungguh neraka, dari majikan hingga para pelayannya semuanya sesat!
Mala menunggu di dalam kamarnya, tidak menggubris sama sekali cacian dan gedoran pintu dari para pelayan-pelayan itu, dia tahu mereka tidak akan berani mendobrak pintu.
Sampai Mala bisa mendengar suara Pak Didin, kepala ART, datang dan mengusir mereka.
Kepala ART itu memang jauh lebih baik dari pada para pelayan.
Meski Pak Didin tidak pernah membelanya, tapi pria itu sering memisahkan perundungan yang terjadi dan tak pernah ikut menghinanya.
Jadi, ia sendiri tidak tahu apa Pak Didin bisa dikategorikan sebagai manusia yang baik atau sesat juga seperti yang lainnya.
Setelah alarm pada ponsel smartphone murahnya berbunyi pelan, Mala segera menonaktifkan suaranya.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, sudah waktunya Mala untuk membebaskan diri dari neraka ini.
Dia sudah siap menggendong ranselnya dan membuka pintu dengan sangat perlahan.
Jantungnya berdegup jumpalitan, antara gugup, takut, nekat semuanya berbaur menjadi satu dalam setiap hentakan jantung yang ada di dalam tubuhnya itu.
Telapak tangannya sudah berkeringat dingin, begitu pun dengan punggungnya.
Ini gila!
Tapi tidak ada yang bisa dilakukan Mala kecuali nekat.
Dia berjalan dengan sangat hati-hati, matanya, telinganya, bahkan penciumannya bekerja dua kali lipat untuk waspada pada sekitarnya.
Karena bisa saja ada hal-hal yang terjadi di luar nalar seperti ketika seseorang menyentuh bahunya dan nyaris membuatnya berteriak jika saja mulutnya tidak buru-buru dibekap oleh tangan yang besar.
“Diam!” Itu suara Adris. Apakah Mala bermimpi?
Setelah Mala diam, Adris melepaskan bekapan tangannya dari Mala, ia bisa melihat meski dengan pencahayaan yang minim bagaimana Adris melap telapak tangannya dengan sapu tangan yang diberikan Kelon.
Tunggu, Kelon? Asisten berjiwa batu es itu juga ada?
“T-Tuan?” Suara Mala yang pelan bernada bingung bertanya pada Adris yang tiba-tiba menghentikannya.
“Kelon akan membawamu keluar dari sini. Dia yang akan mengantar ke tempat yang kamu tuju dan memastikan kamu benar-benar keluar dari rumah ini” ujar Adris dengan cara bicaranya yang acuh.
Meski begitu Mala sempat menganga tak percaya. “Tuan membantu saya?”
“Jangan besar kepala. Gadis licik sepertimu bisa saja hanya berpura-pura kabur, siapa yang akan menjamin kamu malah meminta bantuan Kakek untuk membuatmu tetap di sini?” jawab Adris.
Dia kemudian menganggukkan kepalanya kepada Kelon lalu beranjak pergi begitu saja meninggalkan Mala dengan manusia es.
“Ayo.” kata Kelon berjalan ke arah yang berlawanan dari Adris.
Mala masih menyempatkan diri menengok ke belakang, melihat punggung lebar pria yang membantu rencana kaburnya malam ini, terlepas apapun alasan pria itu.
Meski rencananya malam ini berjalan tidak sesulit yang dibayangkan karena bantuan Adris dan asistennya, jantung Mala tetap saja berdebar gugup.
Sementara Kelon tetap terlihat biasa saja padahal mereka berjalan melewati beberapa titik yang terpantau CCTV.
Tidak membutuhkan waktu sampai lima belas menit untuk Mala berhasil keluar dari mansion, karena Kelon mempunyai semua kunci serep dari semua pintu.
Mala dengan langkahnya yang tidak selebar-lebar Kelon harus berusaha melangkah dua kali lipat lebih cepat agar tidak tertinggal.
Kelon mendekati sebuah mobil sedan hitam yang terparkir lumayan jauh dari lingkungan mansion, dia membayar seseorang yang menunggu mobil itu, kemudian masuk begitu saja ke dalam mobil, Mala cukup inisiatif turut masuk dan duduk di depan.
“Kemana?” tanya Kelon begitu mobil sudah bergerak.
“Panti asuhan Kejora.” jawaban Mala membuat kepala Kelon menengok kepadanya.
“Panti asuhan Kejora?” Kelon mengulangi dengan nada bertanya.
“Iya. Kalau kejauhan, bisa turunkan saja saya di terminal. Jangan khawatir saya gak akan kembali ke rumah itu.”
“Kamu berasal dari panti asuhan itu?” Kelon masih bertanya seolah tidak mendengarkan ucapan Mala.
“Iya. Pantinya jauh, Tuan. Mungkin sekitar tiga jam perjalanan kalau naik bis antar kota. Sebaiknya turunkan saja saya di terminal.”
“Saya bertanggung jawab memastikan kamu sampai di tujuan dan memastikan kamu tidak akan kembali.” ucap Kelon kembali fokus pada pergerakan mobil dan jalanan yang lengang di depan mereka.
Tapi cengkraman tangannya mencengkram kuat pada stir hingga Mala bisa melihat urat-urat pada punggung tangan pria itu bermunculan.
Adris tidak bisa tidur. Bahkan kantuk pun tidak kunjung datang sejak tadi, karena pikirannya selalu melayang ke adegan dia melempar Mala ke atas ranjangnya hari itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang tertinggal di dalam dadanya, tapi ia tidak tahu apa. Tubuhnya selalu bereaksi aneh setiap kali sel-sel otaknya mengirimkan memori ketika tangannya menyentuh setiap permukaan tubuh Mala, dan parahnya dia menginginkannya lagi. Gila!Matanya kini dengan acuh melihat layar datar pada tablet yang ada di tangannya. Tampaknya, Mala dan Kelon berhasil melewati gerbang belakang tanpa hambatan, karena siluet mereka tidak lagi terpantau kamera CCTV.Adris lantas tanpa pikir panjang menghapus semua rekaman yang terjadi sejak Mala keluar dari kamar di area pelayan. Setelah memastikan semua beres, Adris beranjak menuju ranjang dan merebahkan dirinya ke atas kasur tempatnya mencumbu Mala hari itu. Anehnya aroma tubuh Mala masuk ke dalam indra penciumannya. Untuk sejenak, Adris memejamkan matanya,
Sial, Adris tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dia mengusap wajahnya dengan gusar dan memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berusaha mengenyahkan segala perasaan aneh yang tiba-tiba datang menyerangnya setelah mendengar kalimat perintah Rasnad kepada tangan kanannya.Adris mendapati ibunya yang tengah mendebat Rasnad untuk tidak perlu mencari kemana perginya Mala tepat di depan ruang kerja Rasnad. Sela yang melihat kedatangan Adris langsung menahan lengan anak lelakinya itu untuk mendukungnya agar Rasnad tidak perlu membawa Mala kembali ke rumah ini.“Katakan pada Kakekmu, Ad, susah sekali bicara dengannya!” kata Sela setengah emosi. Sepertinya energi Nyonya sudah terkuras untuk mendebat Tuan Besar - Yang - Tidak - Bisa - Dibantah.“Sudah kukatakan, kehadiran perempuan itu dan Adris pada acara besok sangat penting untuk citra perusahaan.” ucap Rasnad tetap dengan pendirian yang menyebalkan.“Aku akan carikan perempuan lain untuk menggantikan pelayan rendahan itu!” balas Sela. “A
Satu minggu berlalu sudah sejak Mala membawa pergi semua anak-anak panti dan pengurus panti asuhan Kejora pindah ke sebuah desa. Rencana yang disusun dengan otaknya yang sederhana itu dibantu oleh Faji, pria dengan senyumnya yang menenangkan jiwa.“Makasi ya, Mas Faji, kalo Mala ga dibantu Mas Faji, mungkin Mala masih terjebak di dalam rumah itu dan anak-anak masih akan dijadikan ancaman.” ucap Mala. Sembari memberikan secangkir teh manis hangat pada Faji yang duduk pada kursi teras dari rumah yang dia bantu sewakan sebagai tempat baru panti asuhan Kejora.“Aku juga kan dulu besar di panti ini, Mal, jadi sudah selayaknya aku turun tangan membantu kalo ada orang yang mau mengusik masa depan anak-anak.”Mala mengangguk. “Iya, semoga anak-anak ini nanti juga bisa seberuntung Mas Faji, diadopsi sama keluarga yang sayang sama mereka dan kaya raya.”Faji terkekeh kemudian menyeruput tehnya.“Beruntung itu cuma soal sudut pandang aja, kok, Mal. Mereka yang belum diadopsi, bukan berarti ga
Mala menyunggingkan senyumannya menatap bangunan di depannya saat ini.Lima hari sudah Mala bekerja di perusahaan milik keluarga yang telah mengadopsi Faji bertahun-tahun yang lalu. Rasanya masih sulit dipercaya, dia akhirnya bekerja sebagai karyawan kantoran.Karena sejak keluar dari panti karena usianya yang sudah cukup untuk mandiri, Mala bekerja tak tentu. Mulai dari penjaga konter handphone, lalu pelayan di kafe kecil, sampai akhirnya dia mendapatkan informasi menjadi seorang pelayan dengan gaji yang besar.Ternyata cobaan dan siksaannya juga besar.“Pagi!” Faji yang juga baru sampai menyapa Mala yang masih berdiri di depan pintu lobi.“Pagi, Mas!” Senyum Mala merekah seperti bunga yang sedang musimnya. “Aku perhatikan, kamu selalu berdiri lama di depan lobi sambil senyum-senyum gitu.”“Iya, masih ga nyangka aja, aku jadi karyawan kantoran karena Mas Faji.”“Tapi kinerja kamu memang baik kok, atasan kamu ngasih laporan ke aku kalo kamu cepat sekali belajar. Pertahankan ya.”“S
Baru saja Mala merasakan kebebasannya yang nyata, kini dia harus kembali berhadapan dengan seseorang yang telah memberikannya mimpi buruk.Faji berjalan tepat bersisian dengan Mala ketika mereka keluar dari mobil dan mendekat pada dua pria yang tengah menunggu kedatangan mereka di teras panti asuhan. Mala dapat merasakan kepalan tangannya digenggam oleh Faji.“Jangan takut, ada aku.” ujar Faji.Mala dapat melihat kedua mata Adris memicing sinis ketika Mala membalas genggaman tangan Faji.“Baru satu minggu, kamu langsung bergandengan dengan pria lain?” Suara datar Adris bertanya kepada Mala, namun matanya menatap dingin pada Faji yang mengangkat dagunya di depan Adris.“Kenapa memangnya? Saya, kan, perempuan murahan.” Tantang Mala. Suaranya berani, namun genggaman tangannya pada Faji semakin kuat.Adris mendengus. Ia mencoba mengalihkan pandangannya dari tautan tangan Mala dan Faji yang saling menggenggam. Mala dapat melihat bagaimana rahang Adris yang mengeras.Tenang Mala, tenang.
“Apa dia berbuat sesuatu, Mal?” tanya Faji, di sebelah Faji ada ibu panti.Mala menggeleng sambil matanya tetap melihat penuh kebencian pada mobil yang baru saja keluar dari halaman panti. Mala tidak membenci sedan mewah itu, ia membenci orang-orang yang ada di dalam mobil itu.“Untuk apa dia datang mencarimu, Mal?” tanya ibu dengan kekhawatiran yang teramat sangat dapat dirasakan oleh Mala.“Apa dia datang untuk mengancammu lagi?” timpal Faji.Mala membuang napas kemudian memaksakan seulas senyuman terbit pada wajahnya, ditatapnya Faji dan Ibu Neni bergantian. Hatinya risau tapi tidak dia tunjukkan.“Sepertinya aku ga bisa tinggal di panti lagi, Bu.” ucap Mala alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan Faji dan Ibu Neni.“Loh kenapa? Bersama di sini akan lebih aman untumu, Mal.” sahut ibu Neni.“Iya benar, dia ga akan macam-macam padamu kalo kamu ada di sini.”“Bukan dia yang aku khawatirkan, Mas, Bu.” ucap Mala. “Tapi kakeknya.” Mala bergerak untuk duduk pada kursi kayu, begitu menyad
“Yakin kamu akan tinggal di sini?” Faji bertanya seraya membantu Mala membawa koper.Ayu, Nia dan Olin yang juga turut membantu kepindahan Mala memilih untuk masuk duluan ke dalam rumah kontrakan yang sudah dipilih Mala. Mereka cukup inisiatif meninggalkan Mala dengan Faji dalam segala situasi.Tiga hari berlalu sejak Adris menemui Mala di panti, keesokannya Mala langsung mencari rumah kontrakan untuk dia tempati.Mala mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Faji. Dia kemudian melihat pemandangan yang berada di luar rumah kontrakannya.“Pemandangannya bagus banget di sini, Mas.” Perbukitan yang terhampar di depan mata sungguh menenangkan. Lingkungannya juga tidak terlalu padat, sangat jauh berbeda dengan rumah kontrakan yang dulu dia sewa di ibukota. “Oke, aku akan cari yang dekat sini.” Ucapan Faji tentu saja mengundang keterkejutan pada Ayu, Nia dan Olin yang diam-diam menguping pembicaraan Mala dan Faji yang masih berada di teras. Tiga orang yang menguping di balik tembok itu
“Apakah aku harus izin untuk menemui istriku?”Mendengar pertanyaan itu membuat jantung Mala seolah berhenti berdetak karena saking tergemapnya. Apa tadi Adris bilang? Istriku?Ya ampun, jika saja bukan Adris yang mengatakan hal itu, satu kalimat tanya itu akan sangat terdengar manis. Tapi berhubung kalimat itu keluar dari bibirnya dengan nada sinis yang dingin, kalimat manis itu berubah menjadi begitu menyeramkan.“Istri yang kau abaikan?” Balas Faji dengan cara yang tak kalah sinis.Adris mendengus, sorot matanya dingin tapi juga meremehkan di saat yang bersamaan.“Jika aku mengabaikannya, aku tidak mungkin ada di sini.” ujar Adris.Mata dingin dan tajam itu beralih dari Faji kepada Mala, seolah Mala telah tertangkap basah berselingkuh di belakang Adris.“Jadi, kamu pindah ke tempat ini?” Mata Adris melihat sekeliling isi rumah kontrakan itu dengan.“Iya. Kenapa?”“Kamu masih istriku, apa kamu pikir aku akan membiarkan seseorang yang masih menyandang namaku hidup di tempat seperti i