Sial, Adris tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dia mengusap wajahnya dengan gusar dan memutuskan untuk pergi ke kantor.
Dia berusaha mengenyahkan segala perasaan aneh yang tiba-tiba datang menyerangnya setelah mendengar kalimat perintah Rasnad kepada tangan kanannya.
Adris mendapati ibunya yang tengah mendebat Rasnad untuk tidak perlu mencari kemana perginya Mala tepat di depan ruang kerja Rasnad.
Sela yang melihat kedatangan Adris langsung menahan lengan anak lelakinya itu untuk mendukungnya agar Rasnad tidak perlu membawa Mala kembali ke rumah ini.
“Katakan pada Kakekmu, Ad, susah sekali bicara dengannya!” kata Sela setengah emosi.
Sepertinya energi Nyonya sudah terkuras untuk mendebat Tuan Besar - Yang - Tidak - Bisa - Dibantah.
“Sudah kukatakan, kehadiran perempuan itu dan Adris pada acara besok sangat penting untuk citra perusahaan.” ucap Rasnad tetap dengan pendirian yang menyebalkan.
“Aku akan carikan perempuan lain untuk menggantikan pelayan rendahan itu!” balas Sela.
“Apa kata media jika tiba-tiba pewarisku datang bukan dengan istrinya?”
“Bisa katakan saja kalau perempuan itu mencuri lalu kabur membawa hasil curiannya.” ucap Sela dengan entengnya.
Entah kenapa mendengar bagaimana dengan mudahnya Sela merancang kebohongan atas nama Mala membuat Adris sangat tidak nyaman.
“Lagi pula pelayan itu pasti pergi dengan membawa serta black card yang Papa kasih, dia akan menguras semua-”
“Dia meninggalkan kartu yang pernah kuberikan tanpa sepeserpun dipakainya.”
Rasnad menunjukkan black card yang disinggung Sela. Bibir Sela yang dipoles dengan warna semerah cabai seketika mengerucut.
Bukan karena merasa bersalah telah menuduh Mala, justru kesal karena tuduhannya salah.
“Tapi aku sangat gak sudi melihat anakku yang bermartabat harus berjalan dan dilihat media dengan seorang pelayan miskin!”
Hati Adris rasanya seperti dicongkel paksa dengan linggis berkarat.
Kata bermartabat yang barusan saja diucapkan oleh bibir ibunya membuat Adris seketika merasa berdosa.
Bagaimana dirinya bisa disebut bermartabat jika dia telah merampas kesucian seorang perempuan yang kemudian dia usir alih-alih mempertanggung jawabkan perbuatannya?
“Eh, mau kemana kamu, Ad?” tanya Sela melihat Adris yang melanjutkan langkahnya dengan Kelon yang mengikutinya di belakang.
“Kantor.” jawab Adris singkat tanpa ekspresi.
“Ingat, besok kamu harus datang!”
Lagi-lagi Rasnad masih tidak putus asa menyuruh Adris untuk datang.
“Aku tidak janji.” jawab Adris sambil berlalu. Mengabaikan bentakan dan omelan Rasnad yang tidak ada bosannya.
Kelon langsung menjalankan mobil begitu mereka berdua sudah berada di dalamnya.
Adris melonggarkan sedikit ikatan dasinya. Ini kali pertamanya dia melonggarkan ikatan dasi disaat hari masih begitu pagi bahkan sebelum mereka sampai di kantor.
Ekspresi gusar sangat terpeta jelas pada wajahnya. Bahkan ketika mantan calon pengantinnya mengkhianatinya habis-habisan dia tidak se-kecewa dan se-gusar saat ini.
“Aku ingin semua yang kuminta kamu dapatkan secepatnya.” ucap Adris seraya memejamkan matanya yang lelah.
Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan ulang perbuatan yang sudah dia lakukan kepada Mala. Dan barusan kalimat tuduhan penuh kebohongan yang diucapkan Sela pun menambah pikiran Adris.
Apakah mungkin selama ini Sela hanya mengatakan kebohongan tentang Mala yang selalu berfoya-foya dan semena-mena?
Sesampainya di kantor, dia berharap tumpukan pekerjaan bisa menenggelamkannya dan melupakan rasa yang sejak semalam membuatnya tidak nyaman.
Sayangnya tidak semudah itu, ketika seorang OB masuk membawakan minum dan pesanan makan siang untuk Adris, perhatiannya malah teralih pada sepatu lusuh yang dikenakan OB.
Sepatu yang mirip dengan sepatu yang dipakai Mala.
“Dimana kamu beli sepatu itu?”
Pertanyaan Adris yang sangat di luar lajur membuat OB perempuan itu mengerjapkan mata.
Ia nge-lag sebentar dengan loading yang harus memproses pertanyaan random CEO yang hampir tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun padanya.
“Apa kamu tuli?” tanya Adris lagi dengan nadanya yang dingin.
Pertanyaan itu tepat terlontar ketika Kelon masuk dengan membawa berkas.
“Ada apa Tuan?” tanya Kelon sembari matanya menatap dingin pada OB yang sudah gemetaran di tempatnya.
“Tanya padanya, dimana dia membeli sepatu bututnya itu dan berapa harganya.” sahut Adris dengan suaranya yang kesal.
Dan lebih kesal lagi ketika reaksi Kelon adalah melihatnya dengan tatapan tak percaya.
“Apa kamu juga tuli seperti dia?!” Bentak Adris.
“Di mana kamu beli sepatumu dan berapa harganya?” Kelon langsung mengajukan pertanyaan aneh itu pada si OB.
“S-saya beli di pinggir jalan, P-Pak. H-harganya delapan puluh ribu, t-tapi saya dapet diskon waktu itu, jadi cuma lima puluh lima ribu.” jawab OB itu dengan suaranya yang gemetar ketakutan, tapi juga kebingungan.
“Dia beli di-”
“Aku sudah dengar! Kamu pikir aku tuli?!” Sela Adris dengan kekesalan luar biasa.
Ia kemudian mengibaskan tangannya pada OB yang malang itu, mengusirnya seperti mengusir seekor lalat menjengkelkan.
Setelah OB itu meninggalkan ruangan, Kelon langsung memberikan berkas yang dibawanya, mengabaikan keanehan yang terjadi pada Tuan Mudanya.
“Berkas apa ini?” tanya Adris seraya membukanya.
“Tentang Mala.” jawab Kelon singkat.
“Secepat itu kamu mendapatkannya?”
Kelon hanya menjawabnya dengan satu anggukan yang meyakinkan.
Adris langsung membacanya, baru saja halaman pertama dia baca, helaan napas berat sudah terdengar.
“Jadi benar dia tidak pernah menggunakan black card yang diberikan Kakek.” ucapnya dengan nada aneh yang tidak terdengar seperti Adris yang dingin dan kejam.
Mungkin Kelon harus merekam suara itu sebagai bentuk rekor dari seorang Adris.
Halaman kedua, tak hanya membuatnya membuang napas berat, tapi juga menaikkan kedua alis matanya.
“Dia hanya boleh makan makanan sisa pelayan-pelayan yang lain? Aturan macam apa ini?!”
“Para pelayan yang lebih senior yang membuat peraturan itu untuk Mala, Tuan.”
“Kenapa mereka membuat peraturan konyol itu?” tanya Adris dengan nada kesal.
“Karena mereka iri pada Mala yang ditunjuk sebagai pengantin, bukan mereka.”
“Mereka pikir mereka siapa?!” Nada tinggi keluar dari bibir Adris.
“Mungkin Tuan bisa teruskan melihat halaman berikutnya.” ucap Kelon.
“Sialan, apa lagi yang ada di halaman berikutnya?” Adris mengumpat seraya membalik lembaran berkas itu. Matanya memicing melihat poto-poto yang ada pada lembaran itu.
“Foto apa ini? Kenapa pelayan-pelayan bodoh ini berkumpul? Apa yang membuat wajah mereka menyeringai seperti ini?”
Pertanyaan Adris dijawab oleh Kelon dengan sebuah video yang ditunjukkan melalui layar ponselnya.
Sebuah rekaman yang menunjukkan satu orang pelayan tengah memukuli Mala, sementara dua orang menahan tangan kanan dan kiri Mala agar ia tidak bisa memberontak.
Mala babak belur dalam rekaman itu. Hidung, bibir, dan kepalanya berdarah. Tapi Mala tetap menegakkan kepalanya, menatap lawannya dengan tatapan tanpa takut.
Sementara pelayan yang lainnya tidak ada satu pun yang membantu.
Dari rekaman itu, terdengar mereka panik saat salah satu diantara orang-orang itu mengatakan ada Pak Didin. Rekaman pun mulai tak stabil dan terlihat Mala diseret entah disembunyikan kemana. Dan rekaman berakhir.
Rasa gusar pun semakin jadi menyerangnya dan membawa serta teman-temannya sekampung untuk mengeroyok Adris.
Rasa bersalah juga ikut-ikutan menghakiminya karena telah mengabaikan semua lebam-lebam yang dia lihat pada tubuh Mala.
Adris melepaskan ponsel Kelon dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi besarnya, jemarinya memijat pelipis yang mulai berdenyut tidak nyaman.
Kenapa semuanya malah dia sadari setelah dia merenggut kesucian Mala dengan brutal dan mengusirnya? Apakah dia masih pantas disebut sebagai pria yang bermartabat?
Ah, sial!
“Bagaimana dengan hubungannya dengan Kakek?”
Kelon menarik napas dulu sebelum menjawab.
“Tidak ada hubungan apa-apa antara Tuan Besar dan Mala, Tuan.” jawab Kelon dengan tenang.
“Ah! Sial!” Telapak tangan Adris memukul meja. Adris mengutuk dirinya.
Betapa dia merasa bodoh karena sudah terlalu buta untuk menilai Mala dari sudut pandang orang lain tanpa mencari tahu dulu kebenarannya.
“Mala terpaksa setuju menggantikan posisi Patricia karena Tuan Besar memaksa juga mengancam akan menggusur panti asuhan dan membuat anak-anak panti itu tidak akan memiliki tempat tinggal jika Mala menolak.”
“Apa?!”
Satu minggu berlalu sudah sejak Mala membawa pergi semua anak-anak panti dan pengurus panti asuhan Kejora pindah ke sebuah desa. Rencana yang disusun dengan otaknya yang sederhana itu dibantu oleh Faji, pria dengan senyumnya yang menenangkan jiwa.“Makasi ya, Mas Faji, kalo Mala ga dibantu Mas Faji, mungkin Mala masih terjebak di dalam rumah itu dan anak-anak masih akan dijadikan ancaman.” ucap Mala. Sembari memberikan secangkir teh manis hangat pada Faji yang duduk pada kursi teras dari rumah yang dia bantu sewakan sebagai tempat baru panti asuhan Kejora.“Aku juga kan dulu besar di panti ini, Mal, jadi sudah selayaknya aku turun tangan membantu kalo ada orang yang mau mengusik masa depan anak-anak.”Mala mengangguk. “Iya, semoga anak-anak ini nanti juga bisa seberuntung Mas Faji, diadopsi sama keluarga yang sayang sama mereka dan kaya raya.”Faji terkekeh kemudian menyeruput tehnya.“Beruntung itu cuma soal sudut pandang aja, kok, Mal. Mereka yang belum diadopsi, bukan berarti ga
Mala menyunggingkan senyumannya menatap bangunan di depannya saat ini.Lima hari sudah Mala bekerja di perusahaan milik keluarga yang telah mengadopsi Faji bertahun-tahun yang lalu. Rasanya masih sulit dipercaya, dia akhirnya bekerja sebagai karyawan kantoran.Karena sejak keluar dari panti karena usianya yang sudah cukup untuk mandiri, Mala bekerja tak tentu. Mulai dari penjaga konter handphone, lalu pelayan di kafe kecil, sampai akhirnya dia mendapatkan informasi menjadi seorang pelayan dengan gaji yang besar.Ternyata cobaan dan siksaannya juga besar.“Pagi!” Faji yang juga baru sampai menyapa Mala yang masih berdiri di depan pintu lobi.“Pagi, Mas!” Senyum Mala merekah seperti bunga yang sedang musimnya. “Aku perhatikan, kamu selalu berdiri lama di depan lobi sambil senyum-senyum gitu.”“Iya, masih ga nyangka aja, aku jadi karyawan kantoran karena Mas Faji.”“Tapi kinerja kamu memang baik kok, atasan kamu ngasih laporan ke aku kalo kamu cepat sekali belajar. Pertahankan ya.”“S
Baru saja Mala merasakan kebebasannya yang nyata, kini dia harus kembali berhadapan dengan seseorang yang telah memberikannya mimpi buruk.Faji berjalan tepat bersisian dengan Mala ketika mereka keluar dari mobil dan mendekat pada dua pria yang tengah menunggu kedatangan mereka di teras panti asuhan. Mala dapat merasakan kepalan tangannya digenggam oleh Faji.“Jangan takut, ada aku.” ujar Faji.Mala dapat melihat kedua mata Adris memicing sinis ketika Mala membalas genggaman tangan Faji.“Baru satu minggu, kamu langsung bergandengan dengan pria lain?” Suara datar Adris bertanya kepada Mala, namun matanya menatap dingin pada Faji yang mengangkat dagunya di depan Adris.“Kenapa memangnya? Saya, kan, perempuan murahan.” Tantang Mala. Suaranya berani, namun genggaman tangannya pada Faji semakin kuat.Adris mendengus. Ia mencoba mengalihkan pandangannya dari tautan tangan Mala dan Faji yang saling menggenggam. Mala dapat melihat bagaimana rahang Adris yang mengeras.Tenang Mala, tenang.
“Apa dia berbuat sesuatu, Mal?” tanya Faji, di sebelah Faji ada ibu panti.Mala menggeleng sambil matanya tetap melihat penuh kebencian pada mobil yang baru saja keluar dari halaman panti. Mala tidak membenci sedan mewah itu, ia membenci orang-orang yang ada di dalam mobil itu.“Untuk apa dia datang mencarimu, Mal?” tanya ibu dengan kekhawatiran yang teramat sangat dapat dirasakan oleh Mala.“Apa dia datang untuk mengancammu lagi?” timpal Faji.Mala membuang napas kemudian memaksakan seulas senyuman terbit pada wajahnya, ditatapnya Faji dan Ibu Neni bergantian. Hatinya risau tapi tidak dia tunjukkan.“Sepertinya aku ga bisa tinggal di panti lagi, Bu.” ucap Mala alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan Faji dan Ibu Neni.“Loh kenapa? Bersama di sini akan lebih aman untumu, Mal.” sahut ibu Neni.“Iya benar, dia ga akan macam-macam padamu kalo kamu ada di sini.”“Bukan dia yang aku khawatirkan, Mas, Bu.” ucap Mala. “Tapi kakeknya.” Mala bergerak untuk duduk pada kursi kayu, begitu menyad
“Tuan Muda memanggilmu.” Suara berat dengan nadanya yang rendah tiba-tiba saja berbunyi di balik punggungnya. Mala terkejut dan menoleh dan melihat ada asisten pribadi Adris, Kelon, di sana. Di bawah guyuran hujan yang sama, pria dengan ekspresi datar dan tatapan tanpa emosi itu kini berdiri di belakangnya dengan sebuah payung, tapi tidak memayungi Mala, tidak pula membawakan payung.“Tuan Muda sudah kembali dari perjalanan dinas?” tanya Mala seraya mengusap wajahnya dari air hujan. “Menurutmu?” Suara Kelon yang datar cukup menjawab pertanyaan retoris Mala.Mala mengangguk. “Saya ganti pakaian dulu.”“Lima menit.” kata Kelon sebelum pria itu memutar tubuhnya dan meninggalkan Mala. Huh, memangnya apa yang Mala harapkan dari orang-orang yang ada di mansion besar ini? Selain cacian, makian dan kekerasan hingga lebam-lebam menghiasi tubuhnya, Mala tidak mampu berharap lebih.Tepat lima menit kemudian, Mala sudah tiba di depan pintu kamar Adris, suaminya, yang juga merupakan tuan muda d
“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?” Satu kalimat tanya yang tercetus dari bibir Adris sungguh menguliti hatinya, nyeri sekali dituduh seperti itu. Jika bukan karena panti asuhan dan anak-anak panti, Mala lebih memilih hidup susah dengan penuh perjuangan yang berdarah dari pada menjalani pernikahan sandiwara yang hampir setiap harinya dia dirundung oleh sesama pelayan yang dengki kepadanya. Belum lagi menghadapi Nyonya besar yang selalu memakinya dan menganggap Mala sebagai lintah yang menjijikan. Ditambah suami yang membencinya dan selalu melihat Mala dengan sorot dingin dan acuh seolah Mala hanya sebuah patung tak bernilai apa-apa.“Saya memang miskin dan yatim piatu, Tuan.” ujar Mala dengan suaranya yang mulai bergetar menahan tangis di ujung tenggorokannya. “Tapi saya masih punya harga diri.”“Berapa? Aku bayar dua kali lipat dari harga yang diberikan Kakek untuk harga dirimu.” ucap Adris tanpa hati. Kedua tangannya masuk ke dalam saku denga
Mala menandatangani berkas itu dengan tangannya yang gemetar, ia tak lagi peduli dengan ancaman yang baru pagi tadi diingatkan oleh Tuan Besar, ditangannya kini ada sejumlah uang yang akan digunakan untuk menyelamatkan panti asuhan dan anak-anak panti dari ancaman itu. Mala menyerahkan berkas yang sudah ditanda tanganinya kepada Adris. Kemudian, senyum sinis mengembang pada wajah pria itu. Matanya menatap jijik pada Mala setelah dia menyimpan berkas itu ke dalam laci meja kerjanya.Mala merapatkan bagian depan seragamnya yang tak lagi memiliki kancing untuk ditutup. Dia mengantongi selembar cek yang sudah diberikan ke dalam saku celananya.“Saya akan pergi malam ini, Tuan.” ucap Mala dengan suaranya yang lirih.“Bagus. Jangan pernah kembali lagi. Kamu membuatku muak.” Adris mengibaskan tangannya mengusir Mala seperti mengusir seekor kucing jalanan.Tanpa mengucapkan satu patah kata pun lagi, Mala meninggalkan kamar Adris dengan langkahnya yang tertatih-tatih, menahan semua rasa nyer
“Mengerti, Tuan.” jawab Mala. Ia sekilas melihat Adris menengokkan kepalanya pada Mala. Terserah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, saat ini Mala harus terlihat patuh-patuh saja tanpa membantah. Dia tidak mungkin mengatakan tentang bayaran yang sudah diberikan Adris dan apa yang sudah dirinya tanda tangani kepada Rasnad, bukan? Jadi, jalan satu-satunya saat ini adalah menjawab apa yang ingin didengar oleh Tuan besar itu.Mala sangat tahu diri untuk tidak duduk di sana sampai makan malam selesai. Dia hanya duduk untuk menjawab permintaan Tuan Rasnad, setelahnya dia pamit untuk kembali bersama dengan para pelayan yang lainnya.Detik per detik dia tunggu dengan tidak sabar, gelisah menunggu hari semakin larut untuk menjalankan misinya yang sangat beresiko.Tiba-tiba saja rambutnya ditarik, siapa lagi jika bukan oleh salah seorang pelayan yang iri dan dengki pada Mala. Bukan tanpa alasan para pelayan itu tidak menyukai Mala. Pasalnya, Mala adalah pelayan yang baru saja bekerja