“Apa dia berbuat sesuatu, Mal?” tanya Faji, di sebelah Faji ada ibu panti.Mala menggeleng sambil matanya tetap melihat penuh kebencian pada mobil yang baru saja keluar dari halaman panti. Mala tidak membenci sedan mewah itu, ia membenci orang-orang yang ada di dalam mobil itu.“Untuk apa dia datang mencarimu, Mal?” tanya ibu dengan kekhawatiran yang teramat sangat dapat dirasakan oleh Mala.“Apa dia datang untuk mengancammu lagi?” timpal Faji.Mala membuang napas kemudian memaksakan seulas senyuman terbit pada wajahnya, ditatapnya Faji dan Ibu Neni bergantian. Hatinya risau tapi tidak dia tunjukkan.“Sepertinya aku ga bisa tinggal di panti lagi, Bu.” ucap Mala alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan Faji dan Ibu Neni.“Loh kenapa? Bersama di sini akan lebih aman untumu, Mal.” sahut ibu Neni.“Iya benar, dia ga akan macam-macam padamu kalo kamu ada di sini.”“Bukan dia yang aku khawatirkan, Mas, Bu.” ucap Mala. “Tapi kakeknya.” Mala bergerak untuk duduk pada kursi kayu, begitu menyad
“Yakin kamu akan tinggal di sini?” Faji bertanya seraya membantu Mala membawa koper.Ayu, Nia dan Olin yang juga turut membantu kepindahan Mala memilih untuk masuk duluan ke dalam rumah kontrakan yang sudah dipilih Mala. Mereka cukup inisiatif meninggalkan Mala dengan Faji dalam segala situasi.Tiga hari berlalu sejak Adris menemui Mala di panti, keesokannya Mala langsung mencari rumah kontrakan untuk dia tempati.Mala mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Faji. Dia kemudian melihat pemandangan yang berada di luar rumah kontrakannya.“Pemandangannya bagus banget di sini, Mas.” Perbukitan yang terhampar di depan mata sungguh menenangkan. Lingkungannya juga tidak terlalu padat, sangat jauh berbeda dengan rumah kontrakan yang dulu dia sewa di ibukota. “Oke, aku akan cari yang dekat sini.” Ucapan Faji tentu saja mengundang keterkejutan pada Ayu, Nia dan Olin yang diam-diam menguping pembicaraan Mala dan Faji yang masih berada di teras. Tiga orang yang menguping di balik tembok itu
“Apakah aku harus izin untuk menemui istriku?”Mendengar pertanyaan itu membuat jantung Mala seolah berhenti berdetak karena saking tergemapnya. Apa tadi Adris bilang? Istriku?Ya ampun, jika saja bukan Adris yang mengatakan hal itu, satu kalimat tanya itu akan sangat terdengar manis. Tapi berhubung kalimat itu keluar dari bibirnya dengan nada sinis yang dingin, kalimat manis itu berubah menjadi begitu menyeramkan.“Istri yang kau abaikan?” Balas Faji dengan cara yang tak kalah sinis.Adris mendengus, sorot matanya dingin tapi juga meremehkan di saat yang bersamaan.“Jika aku mengabaikannya, aku tidak mungkin ada di sini.” ujar Adris.Mata dingin dan tajam itu beralih dari Faji kepada Mala, seolah Mala telah tertangkap basah berselingkuh di belakang Adris.“Jadi, kamu pindah ke tempat ini?” Mata Adris melihat sekeliling isi rumah kontrakan itu dengan.“Iya. Kenapa?”“Kamu masih istriku, apa kamu pikir aku akan membiarkan seseorang yang masih menyandang namaku hidup di tempat seperti i
Alih-alih menjawab pertanyaan Mala, pria itu malah melihat kanan kiri seperti mencari sesuatu.“Apa tidak ada satu pun kursi di sini?”Mala mengernyit. “Ga ada. Duduk di karpet saja, kalo mau.” Adris menaikkan sebelah alis matanya, ia menunduk melihat hamparan karpet yang ada di bawah kakinya yang masih memakai sepatu. Di atas karpet itu juga masih ada piring-piring lauk yang dia pikir adalah makanan ternak dan piring-piring bekas makan tamu-tamunya Mala.“Kamu menyuruhku duduk di atas karpet yang kotor ini?”“Ini jadi kotor karena Tuan ga lepas sepatu.” jawab Mala dengan ketus. Dia berjongkok untuk mengangkat piring-piring tadi dan dipindahkannya ke dapur.“Tentu saja aku memakai sepatu. Tempat ini terlalu kotor.”“Kalo gitu ngapain Tuan kesini?” Kali ini nada kesal terdengar nyata pada suara Mala yang menatap Adris dengan kekesalan luar biasa. Tubuhnya sangat lelah, di saat dia ingin bersantai dengan orang-orang yang membuatnya nyaman, tiba-tiba pria itu datang dan mengacaukan ha
Perempuan itu terluka dan marah, Adris tahu itu.Matanya menunjukkan kebencian yang teramat padanya, kedua tangannya terkepal erat hingga Adris yakin kepalan tangan itu bisa melukai telapak tangannya sendiri. Hatinya berdenyut oleh sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman atas apa yang sudah dia lakukan pada Mala.Tapi, sungguh, apa yang barusan dia perbuat sangat di luar ekspektasinya. Adris sendiri juga tidak bisa mengendalikan keinginannya yang secara tiba-tiba mendorongnya untuk kembali menyentuh Mala.“Pergi! PERGI!” Adris membiarkan dadanya didorong kali ini.Anehnya, Adris juga merasa terluka, entah kenapa.Dan tanpa mengucapkan satu patah kata pun, Adris berbalik, meninggalkan Mala di belakangnya. Dia terus melangkah dengan mengeraskan hatinya, karena sepertinya dia mulai merasakan getaran-getaran yang aneh.“Ayo kita pulang.” ucapnya datar pada Kelon yang menunggunya dengan siaga di depan pintu. Dari sudut matanya, Adris dapat melihat bagaimana Kelon melirik ke dalam, kepa
Keesokan harinya, Mala menepati janji untuk menceritakan kepada ketiga teman-temannya, tentang bagaimana Mala bisa menjadi istri dari pria dingin yang setinggi kusen pintu itu. Tak perlu ditanya bagaimana reaksi Ayu, Nia dan Olin begitu Mala menceritakan kisahnya, apa lagi Nia yang terlihat geram sekali.“Gila!” katanya dengan emosi. “Kenapa lo ga laporin polisi aja sih, itu orang udah melecehkan lo!” Untungnya, warung bakso yang mereka pilih sebagai tempat untuk makan siang dan bercerita tidak diisi oleh karyawan perusahaan yang sama dengan mereka.“Mana bisa, statusnya kan masih suami istri.” Ayu mengingatkan. “Sampai sekarang juga mereka masih suami istri.” “Kalo gitu, laporin aja kakeknya, siapa tadi namanya, Rasnap?” Olin ikut menimpali.“Rasnad.” Mala mengoreksi. Kemudian dia menggeleng. “Tuan besar itu orang yang cukup punya kuasa, kalo orang seperti aku ngelaporin dia, yang ada malah aku yang di penjara.”“Gila sih! Gue pikir yang seperti ini cuma ada di sinetron doang!” Ni
"Ga mungkin..." Gumam Mala menatap sosok pria yang baru saja memasuki ruangan meeting itu dengan auranya yang dingin.Semua staf perempuan mulai sibuk pencitraan untuk bisa menarik perhatian dari komisaris muda bermata tajam itu. Seketika Mala merasa tak nyaman. Ketika semua orang terlihat mengagumi sosok itu, hanya Mala, Ayu, Nia, Olin dan Faji yang terlihat tercengang."Kita ga lagi berhalusinasi gara-gara abis ngomongin dia, kan?" Bisik Olin pada Mala yang duduk tepat disebelahnya.Mala menggigit bibirnya. Tangannya sudah terkepal di bawah meja. Semua orang yang hadir di dalam ruangan itu melihat Adris dengan kekaguman yang terlihat dari mata mereka. Sosok pria berusia muda yang menjadi komisaris di perusahaan mereka, sosok yang menjadi inspirasi kalangan muda.Ketika Adris Abiyesa mulai bersuara, semua orang seolah menahan napas mereka. Bahkan suara pria itu pun dikagumi.Kenapa rasanya hati Mala terasa nyeri? Setelah semua yang pria itu lakukan pada Mala, kenapa dia harus munc
Mala berhasil menghembuskan napas lega ketika abang ojek rupanya punya kemampuan selip-selip yang mumpuni, hingga tahu jalan-jalan tikus yang bisa sampai ke rumah kontrakan Mala tanpa diikuti lagi oleh Adris. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar ongkosnya dan tambahan untuk aksi kebut-kebutannya, si abang ojek pun menawarkan jasa untuk antar jemput Mala kalau Mala membutuhkan jasanya lagi untuk menghindari penguntit. Penguntit? Mala tersenyum masam. Kalau saja si abang ojek tahu, pria yang mengikutinya itu adalah suami yang sangat ingin hindari. Mala harus bisa terus menghindari Adris, dia tidak mau pria itu menyentuhnya lagi. “Loh, Mas Faji?” Mala terkejut melihat Faji yang sudah duduk di teras rumahnya. Ekspresi Faji tidak bisa digambarkan. Antara marah, kecewa, malu, dan terluka. “Aku nyariin Mas Faji dari tadi siang. Mas Faji kemana aja? Aku khawatir Mas Faji ngamuk.” Faji menyunggingkan senyum kecutnya. “Aku butuh waktu sendiri, Mal. Maaf ya udah buat kamu k