"Ga mungkin..." Gumam Mala menatap sosok pria yang baru saja memasuki ruangan meeting itu dengan auranya yang dingin.Semua staf perempuan mulai sibuk pencitraan untuk bisa menarik perhatian dari komisaris muda bermata tajam itu. Seketika Mala merasa tak nyaman. Ketika semua orang terlihat mengagumi sosok itu, hanya Mala, Ayu, Nia, Olin dan Faji yang terlihat tercengang."Kita ga lagi berhalusinasi gara-gara abis ngomongin dia, kan?" Bisik Olin pada Mala yang duduk tepat disebelahnya.Mala menggigit bibirnya. Tangannya sudah terkepal di bawah meja. Semua orang yang hadir di dalam ruangan itu melihat Adris dengan kekaguman yang terlihat dari mata mereka. Sosok pria berusia muda yang menjadi komisaris di perusahaan mereka, sosok yang menjadi inspirasi kalangan muda.Ketika Adris Abiyesa mulai bersuara, semua orang seolah menahan napas mereka. Bahkan suara pria itu pun dikagumi.Kenapa rasanya hati Mala terasa nyeri? Setelah semua yang pria itu lakukan pada Mala, kenapa dia harus munc
Mala berhasil menghembuskan napas lega ketika abang ojek rupanya punya kemampuan selip-selip yang mumpuni, hingga tahu jalan-jalan tikus yang bisa sampai ke rumah kontrakan Mala tanpa diikuti lagi oleh Adris. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar ongkosnya dan tambahan untuk aksi kebut-kebutannya, si abang ojek pun menawarkan jasa untuk antar jemput Mala kalau Mala membutuhkan jasanya lagi untuk menghindari penguntit. Penguntit? Mala tersenyum masam. Kalau saja si abang ojek tahu, pria yang mengikutinya itu adalah suami yang sangat ingin hindari. Mala harus bisa terus menghindari Adris, dia tidak mau pria itu menyentuhnya lagi. “Loh, Mas Faji?” Mala terkejut melihat Faji yang sudah duduk di teras rumahnya. Ekspresi Faji tidak bisa digambarkan. Antara marah, kecewa, malu, dan terluka. “Aku nyariin Mas Faji dari tadi siang. Mas Faji kemana aja? Aku khawatir Mas Faji ngamuk.” Faji menyunggingkan senyum kecutnya. “Aku butuh waktu sendiri, Mal. Maaf ya udah buat kamu k
“Ikut ke mansion sekarang!” Adris memberikan perintah seolah Mala tidak mempunyai pilihan untuk menolak. Mala refleks mundur selangkah, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. Matanya terus melihat Adris dengan tatapan yang tidak suka.“Ga mau! Harus berapa kali saya bilang, saya ga akan kembali ke rumah itu.”“Jangan menguji kesabaranku.” Adris mengingatkan.“Lalu bagaimana dengan kesabaran saya?” balas Mala. Adris mengeraskan rahangnya, Mala dapat melihat bagaimana pria itu seolah menahan suatu emosi.“Apa gunanya semua yang sudah Tuan bayar untuk kehormatan saya yang sudah Tuan rampas kalau saya harus kembali lagi ke rumah itu?” Meski dengan jantungnya yang berdegup kencang saking waspadanya kalau-kalau pria itu memaksanya lagi, ia tetap berdiri di depan Adris, bertahan dan melawan pria itu.“Tuan besar mungkin akan langsung menghancurkan masa depan anak-anak karena saya sudah tanda tangan pada surat perceraian. Nyonya besar juga akan kembali menuduh saya dengan segala maca
Mala berlari kecil sambil menggerutu untuk membuka pintu rumahnya setelah mendengar ketukan pintu yang tidak sabaran. Demi Tuhan, ini baru jam setengah lima pagi!“Belum siap?” Suara pria yang selalu berekspresi datar dan menyebalkan itu langsung menyapa Mala.“Kemana?” tanya Mala.“Kurasa Tuan Muda sudah memberitahukan dengan jelas bahwa hari ini adalah acara peresmian rumah sakit.” jawab Kelon.“Ya memang. Tapi memangnya sepagi ini? Langit saja masih gelap begini.”“Kamu pikir perjalanan dari tempat ini ke lokasi peresmian hanya lima menit?” ujar Kelon dengan kalimat tanyanya yang berbau sarkasme.“Cepat siap-siap, berangkat sekarang!”“Eh, tapi saya belum mandi!”“Kuberi waktu tujuh menit.”“Tujuh menit? Mana cukup untuk mandi dan siap-siap!” Mala membulatkan matanya.Kelon malah menekan sesuatu pada jam digitalnya, kemudian menghitung mundur detik dalam waktu tujuh menit, “419, 418, 417…”“Ah! Menyebalkan sekali!” Mala langsung meninggalkan Kelon begitu saja di depan pintu untuk m
Adris sudah beberapa kali menengok waktu pada jam tangannya. Seharusnya Kelon sudah datang bersama Mala sejak lima menit lalu, tapi hingga para awak media datang, asistennya belum juga terlihat batang hidungnya.“Jika perempuan itu tidak datang, aku akan langsung memerintahkan orang-orangku untuk menggusur panti asuhan itu.” ucap Rasnad dengan suaranya yang pelan namun dengan wajahnya yang tersenyum kepada awak media yang telah menunggunya.Adris mengeraskan rahangnya. Hatinya ikut cemas jika kakeknya benar-benar nekat menggusur panti asuhan dan membuat anak-anak malang itu kesusahan.Ah, sial! Adris memang tidak menyukai Mala, tapi bukan berarti dia bisa diam saja melihat anak-anak yang tidak salah apa-apa harus menanggung keegoisan kakeknya.Kemana Kelon? Atau jangan-jangan perempuan itu kab… Tidak sampai Adris menyelesaikan kalimat di dalam kepalanya, dia merasakan bahunya disentuh dengan sangat lembut.Adris berbalik badan, mata dinginnya langsung melihat perempuan asing yang bera
“Siapa perempuan cantik itu?” tanya Mala pada Kelon yang berjalan di sebelahnya, menjalankan tugasnya sebagai pengawal ‘Nyonya Muda’..“Mantan Tuan Muda.”“Oh, itu yang namanya Patricia? Tapi bukannya sedang hamil, ya?” Pertanyaan Mala mengundang lirikan tajam dan dingin dari Kelon. Dan Mala tahu, dia sudah terlalu kepo untuk tahu tentang masa lalu Adris.“Saya tarik pertanyaan saya.” ujar Mala cepat-cepat. Terkadang Kelon justru lebih mengerikan dari pada Adris. Mala menyempatkan diri untuk melihat ke arah Adris yang terlihat kaku dan dingin sedang berdiri tanpa ekspresi di depan perempuan yang terlihat berusaha untuk menarik perhatian Adris.Mala menggeleng, kenapa ada perempuan yang menginginkan pria dingin dan menyebalkan seperti Adris?Ia meneruskan langkahnya hingga berhenti di dekat stan makanan, dia mulai memilih kue-kue manis dan kudapan-kudapan manis lainnya untuk memenuhi piring yang dipegangnya.“Nona Mala?” Suara sorang pria menyapa Mala. Dengan sigap Kelon langsung mend
Adris sama sekali tidak mengerti untuk apa mamanya mengundang Sabrina ke acara peresmian rumah sakit ini. Padahal Sabrina, perempuan cantik yang katanya kini berprofesi sebagai model itu tidak ada urusannya dengan rumah sakit ini, apa lagi semenjak hubungan mereka berakhir beberapa tahun lalu sebelum Sela kembali menjodohkan Adris dengan Patricia. Tapi, yang paling tidak Adris mengerti saat ini adalah debaran jantungnya yang sama sekali tidak bisa selow sejak kali pertama Mala menyunggingkan senyum manis itu.Mala, perempuan itu bahkan bisa membuat Adris melemparkan satu kalimat yang membuat mode cantik itu kalah telak.“Aku tidak akan meninggalkan perempuan yang aku cinta.” Kalimat yang dia ucapkan di hadapan Sabrina pun masih terus menggema di dalam kepalanya sendiri. Ia terus memperhatikan Mala yang asik dengan kue manisnya. Perempuan itu makan seolah tidak berada di tempat umum yang menuntutnya untuk bersikap anggun, tapi anehnya, Adris tidak merasa keberatan. Dia malah senang
“Tunggu! Tunggu dulu!” Mala mulai panik lantaran Adris tidak berniat membawanya kembali ke kontrakan tapi malah ke apartemen.“Tu-Tuan, kenapa ga antar saya langsung pulang ke kontrakan saya aja?” Mala melihat Adris dengan tatapan penuh kecemasan. Tapi Adris tetap diam, apa lagi Kelon. “Tuan Muda!” Mala menyentak lengan Adris hingga berhasil membuat pria itu melihat kepadanya dan melirik tajam pada tangan Mala yang menyentuh lengannya.“Antarkan saya pulang!” kata Mala sambil buru-buru menarik tangannya kembali.“Kenapa?” Satu kata tanya itu membuat Mala merasa terpojok. “Kamu takut?”“Saya…saya…”“Kenapa kamu terlihat panik?” Sorot mata Adris berubah gelap, dan kegelapan itu membuat Mala seolah terhisap dalam kegelapan yang menakutkan.Tapi anehnya, Mala tidak memalingkan wajahnya, dia justru merasa penasaran dengan apa yang ada di dalam kegelapan itu.Tiba-tiba sesuatu menggelitiknya. Sesuatu yang membuat dirinya menginginkan hal yang selama ini ditakutkan.“An-antarakan saya pula
Empat hari setelah pengakuan yang membuat semua karyawan di perusahaan merasa syok dan terkejut, Adris malah tidak ada kabarnya. Dia tidak datang, tidak pula menghubungi Mala untuk menjelaskan apa maksud dari pengakuan yang dia lakukan di depan banyak orang.Keabsenan Adris selama empat hari ini membuat perasaan Mala tak karuan. Dia merasa seperti dipermainkan. Tapi juga merasa tersanjung. Namun disisi lain Mala juga merasa takut bahwa semua itu lagi-lagi hanya sementara karena kondisi Mala yang hamil.“Nona mau makan apa hari ini?” Sumi bertanya begitu Mala keluar kamar pagi ini, sembari memberikan segelas susu hamil dengan tambahan beberapa kotak es batu di dalamnya.“Ga ada kabar dari Adris atau dari Kelon, Bu?” Alih-alih menjawab pertanyaan Sumi, Mala malah balik bertanya.“Belum ada Nona. Apa mau saya hubungi Tuan Muda atau Tuan Kelon?”Mala buru-buru menggeleng.Selalu begitu selama empat hari ini. Mala akan bertanya, dan Sumi akan menawarkan untuk menghubungi, dan pada akhirnya
“Katakan, kenapa Tuan tiba-tiba menjadi baik seperti ini?” Pertanyaan Mala membuat Adris tidak langsung menjawab. Pria itu hanya menatap dalam ke mata Mala tanpa mengucapkan sepatah kata.“Apa karena saya sedang hamil anak Tuan? Makanya Tuan jadi baik begini? Kalau nanti saya sudah melahirkan, apa Tuan akan kembali membuang saya? Semena-mena lagi sama saya?”Adris masih tidak memberikan jawaban. Tapi ekspresinya sungguh sulit untuk dijelaskan oleh Mala. Karena terus diperhatikan secara intens seperti itu, Mala memilih untuk bangkit saja, dia tidak mau malah tertangkap salah tingkah ditatap dalam seperti itu oleh Adris. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia jadi lebih sering berdebar saat bersama Adris.Mungkin kah karena hormon? Apa itu berarti sikap baik Adris juga karena hormon?“Istirahat lah, Tuan, saya akan-”Grep! Lengan Mala kembali ditarik hingga ia kembali duduk di atas tempat tidurnya berhadapan dengan Adris.“Aku akan menjawab pertanyaanmu setelah kamu memberikan keputusanmu a
Untuk kali pertama setelah bertahun-tahun lamanya, Adris dapat kembali melihat pantulan dirinya yang tersenyum di depan cermin. Wajah itu sudah terlalu lama kaku, bahkan ia nyaris melupakan bagaimana rupa wajahnya jika otot-otot pada wajahnya itu digunakan untuk menggerakkan wajahnya membentuk senyuman kebahagiaan.Bahagia? Entah apa makna dari kata itu, Adris hampir tidak tahu seperti apa rasanya bahagia yang sesungguhnya. Belasan tahun terakhir yang dia jalani rasanya kosong begitu saja. Ia hanya terus bergerak agar bertahan dan tidak tenggelam.Dan kini begitu tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bergerak, ia justru menemukan sebuah tempat yang begitu sederhana. Tempat yang membuatnya begitu nyaman. Tempat yang membuat semua rasa lelahnya sirna. Tempat yang bisa dia sebut sebagai rumah.
Adris tidak membual ketika dia bilang akan mengantarkan Mala pulang, pria itu sungguh-sungguh mengendarai mobilnya tanpa Kelon. Mala duduk tepat di sebelahnya. Atmosfer canggung sungguh terasa untuk kali pertamanya. Adris pun tidak banyak bicara, hanya sesekali bertanya apakah Mala lapar. Atau apakah ada makanan yang diinginkan Mala. Atau ada sesuatu lain yang ingin dibeli oleh Mala. Dan semua pertanyaan itu hanya dijawab oleh gelengan kepala oleh Mala.Bukan karena gengsi, tapi karena memang dia sedang tidak menginginkan apa-apa saat ini. Entah kenapa, Mala merasa saat ini dia tidak ingin makan apa pun, tapi hanya ingin dekat dengan pria dingin itu.Dingin…Mala baru menyadari, sejak di dalam ruangan tadi, tatapan Adris kepadanya jauh lebih lembut, meski ekspresinya tetap datar.“Sebentar.” Mobil tiba-tiba menepi tak jauh dari pedagang kaki lima yang menjual rujak buah. Mala melihat Adris memborong dagangan penjual rujak itu. Begitu kembali, Adris langsung meletakkan beberapa bungk
Tiga hari berlalu, Mala benar-benar ditemani oleh Sumi, dia tidak memungkiri, keberadaan Sumi cukup membantu masa pemulihannya setelah kejadian perundungan yang mengharuskannya untuk bedrest. Tapi, Mala cukup bosan hanya berdiam diri di rumah, apalagi dia merasa dirinya sudah pulih.Alhasil pagi ini dia berhasil pergi ke kantor dengan ojek online sebelum kedatangan Sumi. Karena kalau Sumi sudah datang, dia pasti akan menghalangi Mala atas perintah Adris.“Lho Mala?” Mala menengok begitu dia baru saja memasuki lobi, dimana Nia ada di sana. “Kok lo udah masuk aja? Bukannya masih harus bedrest?”“Aku udah pulih, kok.”“Yakin? Tapi muka lo masih kelihatan pucat gitu.”“Oh aku belum sempat pakai lip cream aja jadi kelihatan pucat.”Nia terlihat tidak percaya dan khawatir melihat Mala ada di sana. Bukan hanya mengkhawatirkan kesehatan Mala setelah kejadian itu, tapi juga karena ada…“Mala?” Suara dingin milik pria yang sejak pagi ini sudah membuat heboh kantor dengan kehadirannya yang sanga
Setelah Ayu pergi untuk bekerja pagi ini, Mala kembali ke kamar. Lagi-lagi pikirannya penuh dengan berbagai macam hal. Tentang Aning dan kroninya yang sudah merundungnya. Tentang kehamilannya. Tentang pernikahannya. Tentang Adris. Dan tentang perasaannya.Hal terakhir lah yang membuat isi kepalanya terasa begitu mumet. Ia begitu tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Ada rasa yang baru dan asing yang menyelinap masuk. Perasaan yang membuatnya merasakan rindu pada seseorang yang seharusnya dia benci seumur hidupnya. Ada perasaan tidak terima jika dia harus hamil disaat dirinya baru saja ingin memulai karir yang selama ini dia impikan sebagai anak yatim piatu. Tapi juga ada perasaan sayang pada janin yang ada di dalam rahimnya kini.Lamunan Mala pun harus berakhir ketika ia mendengar suara ketukan pintu.“Selamat pagi, Nyonya muda.” Sapa seorang wanita yang terlihat rapi dengan senyum ramah khas seorang ibu-ibu yang mungkin berusia sama dengan ibu panti.Mala mengerutkan k
Ketika Adris sudah melepaskan ikatan dasinya di dalam mobil seraya membuang napas kasar dan memejamkan matanya, Kelon tahu Tuannya sedang tidak baik-baik saja. Sampai kedua matanya kembali terbuka dan menyorot Kelon melalui kaca spion tengah.“Apa ada yang bisa saya lakukan, Tuan?” tanya Kelon tanpa harus dipanggil.“Apa kamu pernah berurusan dengan wanita hamil sebelumnya?”Pertanyaan Adris tentu saja membuat kening Kelon mengerut samar.“Maaf Tuan?”Lagi, Adris menghela napas.“Apa wanita hamil memang begitu? Tidak jelas maunya apa.” Nada Adris antara gemas, sebal tapi juga khawatir.Ini adalah hal baru untuk Kelon dengar selama dia menjabat sebagai asisten Adris. Pria itu biasanya selalu terlihat dingin, tenang, bisa menyembunyikan keresahannya. Tapi kali ini, Adris mematahkan semua imej karakternya.“Apa Tuan mau saya cari tahu tentang bagaimana karakter wanita hamil secara umum?” tanya Kelon. Meski pun dia sendiri juga tidak yakin akan bisa menyimpulkan hasil risetnya tentang wan
“Aku akan bertanggung jawab atas anak ini.” Adris mengulangi dengan penuh kepastian. Tapi tidak dengan ekspresi pada wajah Mala.“Tuan akan bertanggung jawab atas anak ini?” Nada penuh keraguan dan tidak percaya terdengar jelas di udara.“Iya. Kenapa kamu terdengar tidak percaya?”“Tentu saja.” sahut Mala. “Atas dasar apa Tuan mau bertanggung jawab? Kenapa? Apa yang Tuan rencanakan lagi? Apa selamanya saya akan terus hidup bersama Tuan?”Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kening Adris berkerut. “Apa aku terlihat sepicik itu di matamu?”Mala tidak menjawab, hanya menatap Adris dengan tatapan tidak rela.“Memangnya kenapa kalau kamu hidup bersamaku? Memangnya kamu tidak mau aku bertanggung jawab? Memangnya ada pria lain yang mau bertanggung jawab atas anak itu? Kalau ada, siapa orangnya? Faji?”“Ini ga ada hubungannya sama Mas Faji. Hanya saja, saya ga mencintai Tuan. Bagaimana mungkin saya harus hidup selamanya berdampingan dengan orang yang ga saya cintai. Begitu pun dengan Tuan.”“Mem
“Jawab!” Atmosfer di dalam rumah kontrakan Mala berubah menjadi tegang. Meski pun Adris terlihat pucat, namun aura dingin dan ketegasan dalam suaranya tidak hilang, bahkan Mala masih bisa merasakan betapa tajam tatapan mata pria itu.Dalam keadaan yang tegang dan penuh dengan tekanan seperti itu, Mala malah ingin menghambur ke dalam dekapan pria itu, dan menangis di sana, menumpahkan isi hatinya, dan melepaskan rasa takutnya.Padahal, rasa takut itu justru disebabkan oleh pria yang kini masih menunggu jawaban Mala.“Kalau kamu masih tidak menjawab, aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang!”“Tunggu dulu!” Ayu melepaskan diri dari Kelon dan langsung berdiri di antara Mala dan Adris, melepaskan tangan pria itu dari lengan Mala. “Bapak ga bisa seenaknya begitu, dong!”“Minggir, jangan ikut campur!” ujar Adris dengan nada suaranya yang rendah.“Maaf, Pak, bukannya saya mau ikut campur atau apa, tapi, kondisi Mala memang ga boleh kemana-mana.Itu ga baik untuk jan…eh, kesehatan Mala!” Hu