Adris sama sekali tidak mengerti untuk apa mamanya mengundang Sabrina ke acara peresmian rumah sakit ini. Padahal Sabrina, perempuan cantik yang katanya kini berprofesi sebagai model itu tidak ada urusannya dengan rumah sakit ini, apa lagi semenjak hubungan mereka berakhir beberapa tahun lalu sebelum Sela kembali menjodohkan Adris dengan Patricia. Tapi, yang paling tidak Adris mengerti saat ini adalah debaran jantungnya yang sama sekali tidak bisa selow sejak kali pertama Mala menyunggingkan senyum manis itu.Mala, perempuan itu bahkan bisa membuat Adris melemparkan satu kalimat yang membuat mode cantik itu kalah telak.“Aku tidak akan meninggalkan perempuan yang aku cinta.” Kalimat yang dia ucapkan di hadapan Sabrina pun masih terus menggema di dalam kepalanya sendiri. Ia terus memperhatikan Mala yang asik dengan kue manisnya. Perempuan itu makan seolah tidak berada di tempat umum yang menuntutnya untuk bersikap anggun, tapi anehnya, Adris tidak merasa keberatan. Dia malah senang
“Tunggu! Tunggu dulu!” Mala mulai panik lantaran Adris tidak berniat membawanya kembali ke kontrakan tapi malah ke apartemen.“Tu-Tuan, kenapa ga antar saya langsung pulang ke kontrakan saya aja?” Mala melihat Adris dengan tatapan penuh kecemasan. Tapi Adris tetap diam, apa lagi Kelon. “Tuan Muda!” Mala menyentak lengan Adris hingga berhasil membuat pria itu melihat kepadanya dan melirik tajam pada tangan Mala yang menyentuh lengannya.“Antarkan saya pulang!” kata Mala sambil buru-buru menarik tangannya kembali.“Kenapa?” Satu kata tanya itu membuat Mala merasa terpojok. “Kamu takut?”“Saya…saya…”“Kenapa kamu terlihat panik?” Sorot mata Adris berubah gelap, dan kegelapan itu membuat Mala seolah terhisap dalam kegelapan yang menakutkan.Tapi anehnya, Mala tidak memalingkan wajahnya, dia justru merasa penasaran dengan apa yang ada di dalam kegelapan itu.Tiba-tiba sesuatu menggelitiknya. Sesuatu yang membuat dirinya menginginkan hal yang selama ini ditakutkan.“An-antarakan saya pula
Mala melangkah mundur, terus mundur sampai pinggangnya menyentuh meja dapur dan Adris berdiri hanya berjarak satu langkah saja.“Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Adris dengan nada dinginnya yang sinis.“Apa kamu pikir aku akan menyentuhmu lagi?”Mala tidak menjawab, tapi dari sorot matanya, Adris bisa tahu perempuan itu cemas luar biasa. Dan sialnya, melihat Mala yang tersudut sambil mencekal erat bungkus kudapan seolah kudapan itu bisa dijadikannya sebagai senjata untuk melawan Adris membuat Adris ingin melemparkan kudapan itu dan melumat bibir Mala.“Cepat makan! Setelah itu gunakan tubuhmu untuk masak makan malam untukku!” Adris bergerak mundur dan pergi dari hadapan Mala. Meninggalkan perempuan itu di dapur. Bahkan, helaan napas lega dari bibir Mala masih terdengar oleh Adris.Semakin kesini, setiap berada di dekat perempuan itu semakin membuat Adris merasa dirinya berbahaya. Seperti ada sebuah dorongan dari dalam diri Adris untuk menyerang Mala dan melahap perempuan itu bul
Beberapa hari setelah kejadian di apartemen, Adris memilih untuk tidak mendatangi atau pun mencari tahu lagi tentang Mala. Bukannya menyerah, memangnya apa yang dia perjuangkan?Ya, kan?Dia hanya tidak mau lagi peduli. Adris meyakinkan dirinya, perasaannya yang sering timbul untuk menemui Mala, karena secuil rasa bersalahnya yang dulu pernah dia perbuat pada Mala. Hanya karena Adris masih memiliki rasa kemanusiaan. Tapi, perasaan yang aneh itu kerap muncul dan mengganggu waktu tidurnya.Anehnya, itu seperti perasaan rindu.Ah, sial. Ini bahkan sudah hampir dua minggu berlalu, dan nyaris setiap harinya Adris selalu ingin menemui Mala, melihatnya tersenyum, atau hanya sekadar mendengar suaranya.“Selamat pagi, Tuan.” Kelon datang, seperti biasa. Asistennya selalu datang dengan penampilannya yang rapi. Adris masih duduk di ruang tengah, dengan segelas kopi hitam yang mengepul tapi tidak diminum sedikit pun olehnya.Wajahnya tiba-tiba mengernyit kuat, dia melihat Kelon sembari menutup
“Tuan Muda memanggilmu.” Suara berat dengan nadanya yang rendah tiba-tiba saja berbunyi di balik punggungnya. Mala terkejut dan menoleh dan melihat ada asisten pribadi Adris, Kelon, di sana. Di bawah guyuran hujan yang sama, pria dengan ekspresi datar dan tatapan tanpa emosi itu kini berdiri di belakangnya dengan sebuah payung, tapi tidak memayungi Mala, tidak pula membawakan payung.“Tuan Muda sudah kembali dari perjalanan dinas?” tanya Mala seraya mengusap wajahnya dari air hujan. “Menurutmu?” Suara Kelon yang datar cukup menjawab pertanyaan retoris Mala.Mala mengangguk. “Saya ganti pakaian dulu.”“Lima menit.” kata Kelon sebelum pria itu memutar tubuhnya dan meninggalkan Mala. Huh, memangnya apa yang Mala harapkan dari orang-orang yang ada di mansion besar ini? Selain cacian, makian dan kekerasan hingga lebam-lebam menghiasi tubuhnya, Mala tidak mampu berharap lebih.Tepat lima menit kemudian, Mala sudah tiba di depan pintu kamar Adris, suaminya, yang juga merupakan tuan muda d
“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?” Satu kalimat tanya yang tercetus dari bibir Adris sungguh menguliti hatinya, nyeri sekali dituduh seperti itu. Jika bukan karena panti asuhan dan anak-anak panti, Mala lebih memilih hidup susah dengan penuh perjuangan yang berdarah dari pada menjalani pernikahan sandiwara yang hampir setiap harinya dia dirundung oleh sesama pelayan yang dengki kepadanya. Belum lagi menghadapi Nyonya besar yang selalu memakinya dan menganggap Mala sebagai lintah yang menjijikan. Ditambah suami yang membencinya dan selalu melihat Mala dengan sorot dingin dan acuh seolah Mala hanya sebuah patung tak bernilai apa-apa.“Saya memang miskin dan yatim piatu, Tuan.” ujar Mala dengan suaranya yang mulai bergetar menahan tangis di ujung tenggorokannya. “Tapi saya masih punya harga diri.”“Berapa? Aku bayar dua kali lipat dari harga yang diberikan Kakek untuk harga dirimu.” ucap Adris tanpa hati. Kedua tangannya masuk ke dalam saku denga
Mala menandatangani berkas itu dengan tangannya yang gemetar, ia tak lagi peduli dengan ancaman yang baru pagi tadi diingatkan oleh Tuan Besar, ditangannya kini ada sejumlah uang yang akan digunakan untuk menyelamatkan panti asuhan dan anak-anak panti dari ancaman itu. Mala menyerahkan berkas yang sudah ditanda tanganinya kepada Adris. Kemudian, senyum sinis mengembang pada wajah pria itu. Matanya menatap jijik pada Mala setelah dia menyimpan berkas itu ke dalam laci meja kerjanya.Mala merapatkan bagian depan seragamnya yang tak lagi memiliki kancing untuk ditutup. Dia mengantongi selembar cek yang sudah diberikan ke dalam saku celananya.“Saya akan pergi malam ini, Tuan.” ucap Mala dengan suaranya yang lirih.“Bagus. Jangan pernah kembali lagi. Kamu membuatku muak.” Adris mengibaskan tangannya mengusir Mala seperti mengusir seekor kucing jalanan.Tanpa mengucapkan satu patah kata pun lagi, Mala meninggalkan kamar Adris dengan langkahnya yang tertatih-tatih, menahan semua rasa nyer
“Mengerti, Tuan.” jawab Mala. Ia sekilas melihat Adris menengokkan kepalanya pada Mala. Terserah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, saat ini Mala harus terlihat patuh-patuh saja tanpa membantah. Dia tidak mungkin mengatakan tentang bayaran yang sudah diberikan Adris dan apa yang sudah dirinya tanda tangani kepada Rasnad, bukan? Jadi, jalan satu-satunya saat ini adalah menjawab apa yang ingin didengar oleh Tuan besar itu.Mala sangat tahu diri untuk tidak duduk di sana sampai makan malam selesai. Dia hanya duduk untuk menjawab permintaan Tuan Rasnad, setelahnya dia pamit untuk kembali bersama dengan para pelayan yang lainnya.Detik per detik dia tunggu dengan tidak sabar, gelisah menunggu hari semakin larut untuk menjalankan misinya yang sangat beresiko.Tiba-tiba saja rambutnya ditarik, siapa lagi jika bukan oleh salah seorang pelayan yang iri dan dengki pada Mala. Bukan tanpa alasan para pelayan itu tidak menyukai Mala. Pasalnya, Mala adalah pelayan yang baru saja bekerja