"Oh, jadi dari tadi Mas Zayyan muji aku terus karena ada maunya gitu? Dasar modus!" cibir Hilya. Ia memandang sengit laki-laki di depannya. "Lho, masa ke istri sendiri modus sih, Hil? Lagi pula, wajar kan, kalau aku minta cium kamu? Itu juga cium kening saja, bukan cium yang lain," balas Zayyan. "Nggak wajar, karena kita nggak saling cinta, meskipun kita ini suami istri." Hilya bangun dari duduknya, lalu melipat mukenanya. Menghela napas, Zayyan menatap Hilya. Ini bukan saat yang tepat untuk mengakui perasaannya pada gadis itu. Bisa-bisa ia dituduh bohong oleh istrinya itu. "Wiridan dulu, Hil. Habis sholat itu bagusnya baca wirid dulu, jangan langsung pergi," ujar Zayyan. "Ayo duduk lagi." Hilya sih sebenernya sih mau-mau saja disuruh baca wirid setelah sholat fardhu, tapi ia enggan berlama-lama bersama dengan Zayyan. Entah, mungkin bagi Hilya, Zayyan seperti virus yang harus dihindari. Oke, Hilya memilih untuk duduk lagi, kali ini ia sudah tidak memakai mukena, hanya pakai keru
"Pak Dimas," gumam Hilya. Laki-laki itu mendekati Hilya yang masih berdiri kaku. Entah kebetulan macam apa ini, hingga membuat Hilya tidak tahu harus bagaimana. Jika biasanya Hilya akan sangat senang jika bertemu dengan laki-laki yang selama beberapa bulan ini mengisi hatinya, maka kali ini berbeda. Hilya merasa was-was, takut-takut kalau Dimas tahu akan status Hilya sekarang yang sudah menjadi seorang istri. Memang Hilya tak tahu bagaimana perasaan laki-laki itu padanya. Tapi, sedikit berharap tidak salah bukan? Dimas selalu bersikap baik kepadanya, dan sebelum menikah, Hilya sering bermimpi kalau laki-laki itu juga menyimpan rasa untuknya. "Kamu sedang apa di sini, Hil?" Dimas mengulangi pertanyaannya tadi. Kini ia sudah lebih dekat jaraknya dengan Hilya. Sebelum menjawab, Hilya menengok ke belakang. Tidak ada ibunya atau anggota keluarga yang lain di sana. Mungkin sudah ke mobil semua saat Hilya terdiam tadi. "A-anu, Pak Dimas, aku ... aku habis diajak nginep di sini sama tem
Hilya membantu Ijah--asisten rumah tangga di rumah orang tua Zayyan-- memasak untuk makan malam. Sebenarnya Ijah sudah melarang, tapi Hilya tetap ngotot untuk membantu. Meskipun mertuanya adalah kakak dari ibunya sendiri, tak lantas membuat Hilya bersikap santai di rumah mertua. Ia tetap merasa sungkan jika tidak berbuat apa-apa. Setidaknya ia harus berguna di rumah besar ini. "Mbak Hilya doyan sayur tauge tidak?" tanya Ijah. Hilya yang sedang memotong-motong kangkung di sebelah Ijah pun menoleh sebentar. "Doyan, Bik. Aku apa aja doyan sih, Bik, asal halal aja, hehe." "Bagus berarti itu, Mbak. Kalau doyan tauge, nanti bibi masakin ya, Mbak. Tauge bagus lho, untuk pengantin baru. Katanya sih bagus buat kesuburan, Mbak." Hilya tak menanggapi, karena memang ia tidak terlalu paham maksud perkataan wanita paruh baya itu. Apa kaitannya tauge dengan pengantin baru? Kesuburan apa juga yang dimaksud Ijah? Meski bingung, Hilya tak mau menanyakannya. Pandai memasak memang salah satu keahl
"Lho, kenapa? Katanya terserah aku mau ambil kuliah jurusan apa," kata Hilya. "Iya, tapi jangan di kampus itu. Di kampus yang lebih bagus kan banyak." Sebenarnya tidak ada alasan khusus kenapa Zayyan melarang Hilya kuliah di kampus yang letaknya dekat dengan tempat kerja Hilya dulu. Zayyan hanya ingin memberikan tempat pendidikan yang terbaik untuk istri barunya ini. "Kalau nggak boleh kuliah di sana, ya udah, aku nggak kuliah aja sekalian. Selain itu, aku juga nggak akan menuruti apa pun kata-kata Mas Zayyan," rajuk Hilya. Memijat pelipisnya, Zayyan sedikit merasa pusing. Ia kira sikap manja Hilya sudah hilang, seiring bertambahnya usia, pun karena mereka tidak dekat sebelumnya. Tapi ternyata, Hilya kembali bersikap seperti waktu masih kecil dulu, waktu Zayyan masih sering mengasuhnya. "Pusing ya, ngeladenin aku? Makanya, jangan iya-iya aja nurutin perintah nenek buat nikah sama aku," lanjut Hilya. Gadis dua puluh tahun tersebut bangun dari duduknya sembari membawa plastik beris
Hilya menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Mengada-ada saja perkataan Inka ini. Dikira ia akan percaya begitu saja. Sementara Inka sendiri mengernyitkan dahi, melihat Hilya yang terkekeh. Biasanya seorang istri jika diberi tahu hal menyakitkan tentang sang suami, pasti akan meledak kemarahannya, atau menangis tersedu-sedu. Tapi, ini Hilya justru malah santai saja. Inka jadi heran sendiri. "Nggak mungkin," sangkal Hilya, lalu kembali terkekeh. Merasa lucu saja dengan pengakuan Inka. Sebegitu frustasinya kah wanita itu ditinggal Zayyan menikah, sampai harus mengarang cerita seperti itu? Lagi pula, apa ia tidak malu? Meski tidak ada rasa cinta untuk Zayyan, tapi Hilya yakin seyakin-yakinnya, bahwa kakak sepupu yang sekarang jadi suaminya, tidak akan melakukan hal menjijikkan seperti yang dikatakan Inka. Zayyan adalah sosok yang cukup religius, dan sering mengikuti kajian keagamaan. Setidaknya seperti itu yang sering Hilya dengar dari cerita sang nenek. Dari tingkah lakunya pun,
"Syaratnya, kamu pijitin aku, Hil. Badanku sakit semua," bisik Zayyan di dekat telinga Hilya. Posisi yang terlalu dekat itu membuat Hilya tak nyaman, hingga ia menepis tangan Zayyan yang melingkar di pinggangnya. Hilya juga seketika bernapas lega karena Zayyan tidak menuntut syarat yang aneh-aneh. Meminta haknya sebagai suami misalnya. Hilya tidak akan mampu menuruti yang satu itu, karena prinsipnya adalah memberikan mahkota kehormatan hanya pada suami yang dicintainya. "Oke, mana yang mau dipijitin?" tanya Hilya, setelah berhasil meredakan rasa panas yang tadi menjalari pipinya, dan mungkin saja tadi pipinya sudah terlihat seperti tomat, andai Hilya bisa melihatnya sendiri. "Punggungku, Hil." Zayyan kemudian mengubah posisi tubuhnya menjadi tengkurap. "Sebenarnya pengen diinjak-injak kamu, Hil, punggungnya, seperti waktu kamu kecil dulu yang sering nginjak-nginjak punggung papa kalau disuruh. Tapi, aku takut tidak kuat, karena kamu kan sekarang sudah besar." Hilya tak membalas,
Menuruti permintaan sang nenek, malam ini Hilya, dan Zayyan menginap. Alhasil Hilya terpaksa harus tidur seranjang dengan Zayyan, karena di kamarnya tidak ada sofa. Mau menyuruh tidur di lantai, Hilya tidak tega, dan takut kalau Zayyan masuk angin. Nanti ia sendiri yang repot, belum lagi pasti ada pertanyaan dari orang tua. Sekarang Hilya tengah meletakkan sebuah bantal guling di tengah-tengah ranjang, sebagai batas wilayah tidurnya dan Zayyan. Ia tidak mau dekat-dekat, meski Zayyan adalah suaminya. Zayyan masuk ke kamar, dan melihat apa yang sedang Hilya lakukan itu. Ia tidak perlu bertanya, karena sudah paham maksudnya. Zayyan kemudian naik ke ranjang, dan duduk di sana sambil menatap Hilya yang mulai berbaring. Sekarang Hilya tidak malu lagi untuk memperlihatkan rambut panjangnya di depan Zayyan. Lagi pula menurutnya percuma, karena Zayyan sudah pernah melihat. "Mengenai bulan madu, kamu beneran tidak mau pergi, Hil? Setidaknya sebelum kamu nanti sibuk kuliah." "Pengen sih, ta
Zayyan tersenyum kecut mendengar perkataan istri dari pamannya. "Hilya sudah lebih dari cukup untuk saya, Bude. Lagi pula, bukannya mbak Rita sudah punya pacar ya?" Istri Rusdi mencebikkan bibir, mendengar Zayyan yang sepertinya membela Hilya. Terlebih saat melihat tangan Zayyan yang menggenggam tangan Hilya, seolah-olah memberikan kekuatan. "Aku belum punya pacar kok, Mas Zayyan," celetuk Rita yang baru keluar dari kamarnya. Ia langsung mendudukkan diri di samping sang ibu, menatap sengit ke arah Hilya. Berhadapan dengan istri dari Rusdi saja sudah membuat Hilya merasa muak, kini ditambah lagi adanya Rita. Pasangan ibu, dan anak tersebut kerapkali merendahkan Hilya. Makanya, jika sedang ada acara keluarga besar, Hilya sangat menghindari dua orang ini. Keluarga Rusdi cukup berkecukupan, tidak jauh berbeda seperti keluarga Rusli, meskipun jika dibandingkan dengan Rafi, jelas cukup jauh perbandingannya. Namun, entah kenapa, dari dulu istri, dan anak-anak Rusdi seringkali mengejek Hi