Buat teman-teman pembaca setia, terima kasih banyak ya, sudah mau mengikuti cerbung ini sampai tamat. Maaf jika ada alur, atau endingnya tidak sesuai dengan harapan kalian. Maaf juga kalau update-nya lama. Pokoknya terima kasih banyak. Aku doakan kalian selalu sehat, bahagia, dan dilapangkan rezekinya serta diberi umur panjang. Aamiin. Oh ya, kalian juga bisa baca cerita-ceritaku yang lainnya ya. Sekian dariku. Regard.
"Apa?! Tata kabur dari rumah?" Rafi, seorang laki-laki paruh baya terkejut mendengar kabar yang baru saja disampaikan oleh Andi--orang kepercayaannya. Ini masih pagi, dan waktunya sarapan, tapi Andi sudah melaporkan hal yang kurang menyenangkan itu. "Benar, Tuan." Andi mengangguk, tanda apa yang ia laporkan tadi memang benar adanya. "Kamu kalau ngasih informasi yang bener dong, Ndi. Jangan membuat kita panik seperti ini." Anita--istri Rafi pun ikut bicara. "Benar, Nyonya. Apa yang saya sampaikan itu memang benar. Tentu saya tidak berani untuk membohongi Tuan, dan Nyonya." Sekali lagi Andi mengkonfirmasi kebenaran dari apa yang disampaikannya kepada pasangan suami istri yang menjadi bosnya itu. Anita melihat ke arah Andi, dan mengamati gerak-geriknya. Tidak ia temukan kebohongan di sana. Anak buah suaminya itu memang sedang jujur. Berbeda dengan sang istri, Rafi justru langsung percaya dengan apa yang disampaikan Andi tadi. Andi sudah bekerja puluhan tahun dengannya, dan sudah men
"Kak Tata, Nek, calon istrinya kak Zayyan." Sayangnya, Tasya justru tidak mengerti akan kode kedipan mata dari sang ibu yang menyuruhnya untuk diam. Anita, sang ibu pun melototinya."Apa?! Calon istri Zayyan berkhianat? Berkhianat bagaimana maksudnya?" Asih--sang nenek pun cukup syok mendengar kabar ini. Wanita berumur tujuh puluhan itu adalah ibu dari Rafi. Anita gelagapan. Ibu mertuanya sudah terlanjur mendengar kabar tidak menyenangkan ini, dan sekarang ia bingung bagaimana menjelaskannya. "Anu, Bu, bukan begitu maksudnya Tasya." "Jelaskan bagaimana kejadian sebenarnya, Anita. Jangan sembunyikan apapun dari ibu!" tuntut Asih. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Melihat sang ibu mertua yang seperti menahan sakit, Anita pun sontak memegangi lengan tangan mertuanya itu. "Kita bicara di dalam ya, Bu. Ayo masuk, dan tenangkan diri dulu." Wanita lanjut usia itu pun menurut. Ia masuk ke rumah dengan dituntut oleh Anita di sebelah kanan, dan Tasya di sebelah kiri. Anita,
Melihat Zayyan yang tanpa ekspresi itu, membuat Rafi tidak dapat menebak isi hati anak laki-lakinya itu. "Zayyan, bagaimana pendapatmu? Kamu tidak apa-apa kan, jika pernikahan dibatalkan?" Rafi bertanya dengan hati-hati, terlebih setelah melihat kode dari Anita yang duduk di samping Zayyan. Setelah beberapa saat menampilkan raut wajah tanpa ekspresi, kini Zayyan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Bergantian melihat ke arah kedua orang tuanya yang sepertinya tengah mengkhawatirkannya. "Tidak apa-apa, Pah. Saya tidak masalah jika pernikahan dibatalkan," ucap Zayyan santai, lalu tersenyum, seakan-akan apa yang ia dengar tadi bukan hal yang menyakitkan. Mendengar jawaban Zayyan yang tidak terduga itu, membuat Anita merasa bingung. Bagaimana bisa Zayyan terlihat santai menanggapi hal ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sebelum Zayyan ke luar kota, ia sempat bertemu dengan Tata? Anita pikir, saat itu Zayyan sudah mulai membuka hati untuk Tata, hingga mau menghabiskan waktu seharian
Mendengar teriakkan itu, Zayyan pun sontak bangun dari duduknya, untuk melihat suasana di luar rumah. Ketika berdiri di tengah pintu, Zayyan melihat seorang gadis berjilbab yang kini tengah memarahi anak-anak kecil yang bermain di teras rumah, sembari bertolak pinggang. "Udah dibilangin jangan bikin kotor teras rumah!" Gadis itu masih mengomel, karena melihat anak-anak kecil itu tidak hanya bermain dengan kerikil di teras, tetapi juga dengan tanah, dan daun-daunan yang sengaja dipetik untuk bermain masak-masakan. Bukannya takut dengan kegarangan gadis itu, anak-anak justru meledeknya. "Kak Hilya pelit amat sih, kita cuma mau main di sini. Lagian, nenek Asih juga bolehin kita main di sini kok," protes salah satu anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang. "Bukannya pelit, tapi kalian tuh bisanya cuma bikin kotor aja, udah gitu habis main nggak pernah diberesin, lagi! Aku tau, yang selalu buang-buangin sisa mainan kalian itu. Dikira nggak capek apa? Pergi sana kalian!" "Huuu!" A
"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi. "Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi "Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi." "Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusa
Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,
Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen