"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita.
Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda."Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--.""Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak."Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun, Hilya sudah pasti akan menolak untuk menikah dengan Zayyan, mengingat selama ini jika mereka bertemu tidak pernah akur. Namun, karena kali ini Anita yang meminta secara langsung, disertai raut wajahnya yang memelas itu membuat Hilya tidak tega jika harus terang-terangan menolak.Melirik ke arah Ratih, Hilya mendapati ibunya itu memberi kode dengan matanya, kemudian mengangguk, menandakan agar Hilya menerima permintaan atau lamaran Anita."Kenapa harus aku, Bude?" tanya Hilya.Anita menghela napas. "Hil, Zayyan itu ingin dicarikan istri yang baik, dan menutup aurat. Memang banyak di luar sana gadis seperti itu, tapi entah kenapa, pikiran bude langsung tertuju ke kamu.""Tapi aku bukan orang yang baik, Bude, terlebih kalau sama mas Zayyan. Kami nggak pernah akur, Bude," sanggah Hilya."Penilaian baik atau tidaknya seseorang kan bukan dinilai oleh dirinya sendiri, Hil. Bude yakin kamu gadis yang baik. Kamu sudah berjilbab sejak SMP, kamu pinter masak, dan semua kelebihan kamu yang lain yang mungkin saja bagi kamu itu bukan apa-apa," ujar Anita. "Setidaknya, kalau Zayyan menikah denganmu, bude merasa tenang juga bahagia. Coba kamu pikirkan lagi ya, besok bude akan ke sini lagi.=====Pagi hari sebelum Anita datang menemui Hilya."Kira-kira siapa perempuan yang cocok dengan kriteria tersebut ya, Sya?" tanya Anita pada Tasya, setelah ia menceritakan permintaan Zayyan untuk mencarikannya calon istri.Tasya menaikkan bahunya. "Aku nggak tau, Ma, teman-teman aku kebanyakan nggak pakai jilbab. Di sekolah aja cuma aku sama beberapa doang yang pake jilbab.""Ih, ya bukan yang teman kamu dong, Sya. Masa kakakmu disuruh menikahi anak SMA, yang benar saja!" kata Anita."Ya kalau bukan yang teman aku, aku juga nggak tau kali, Ma, kan temenku kebanyakan seumuran," balas Tasya. "Coba Mama ingat-ingat, ada nggak teman pengajian Mama yang punya anak perawan yang udah dewasa."Anita mulai mengingat-ingat siapa-siapa saja di antara teman-teman, dan kenalannya yang sekiranya punya anak gadis yang sudah saatnya untuk menikah. Tiba-tiba pikiran Anita tertuju pada Hilya, keponakan suaminya."Kalau Hilya gimana ya, Sya?" Wanita berusia lima puluhan itu meminta pendapat pada anak perempuannya."Anaknya bulik?"Anita mengangguk. "Iya, Hilya anaknya bulikmu itu. Dia berjilbab, dan baik juga.""Ya, kalau Hilya sih boleh juga, Ma, tapi setahuku Hilya nggak pernah akur kalau lagi bareng sama kak Zayyan. Kayak kucing sama tikus mereka tuh," ujar Tasya yang tahu bagaimana tabiat kakak, dan sepupunya itu.Meski umur Tasya empat tahun di bawah Hilya, tapi status Tasya adalah anak dari kakaknya ibunya Hilya, jadi Tasya memanggil Hilya tanpa embel-embel layaknya orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, seperti 'kak', atau 'mbak'. Dulu Tasya sempat memanggil Hilya dengan embel-embel 'mbak', tetapi dilarang oleh Hilya."Justru itu, Sya, kalau mereka menikah, pasti mereka bisa akur. Tidak mungkin kan kalau suami istri bertengkar terus," ucap Anita."Iya udah, kalau Mama maunya Hilya, ya buruan samperin, hari pernikahan kak Zayyan kan nggak lama lagi," kata Tasya. "Terus, Hilya kan cantik, kemungkinan banyak yang suka sama dia. Kalau nggak buru-buru Mama lamar buat kak Zayyan, takutnya keburu udah diambil orang, Ma."Anita mengangguk. "Nanti sore mama ke sana. Mama pastikan Hilya lah yang akan jadi istri Zayyan. Mama sudah menyayangi Hilya dari dia masih kecil dulu, sayang kalau tidak dijadikan mantu sekalian."Dulu sewaktu Tasya belum lahir, Anita sering mengasuh Hilya, menyayanginya seperti anak sendiri. Saat Hilya lahir, Zayyan sudah berusia dua belas tahun. Zayyan juga dulu menganggap Hilya seperti adik sendiri, menyayanginya, dan sering mengajak bermain bersama. Setelah Tasya lahir pun, sikap Anita maupun Zayyan tidak berubah kepada Hilya.Masa kecilnya Hilya dulu sering bermanja-manja pada Zayyan, dan Zayyan pun tidak masalah. Mereka saling menyayangi layaknya saudara, bahkan dulu Hilya pernah dimandikan oleh Zayyan ketika Hilya masih balita. Setelah Zayyan disibukkan dengan kuliah kedokterannya yang cukup sibuk, mereka menjadi jarang bertemu. Hingga saat Hilya sudah beranjak remaja, semua jadi berubah. Entah mengapa sikap Zayyan sering membuat Hilya kesal hingga marah-marah. Seorang Zayyan yang dulunya mengayomi, tiba-tiba berubah menyebalkan seperti mengibarkan bendera permusuhan.====="Tolong ya, Bu, yakinkan Hilya supaya mau menikah dengan Zayyan." Anita memohon kepada Asih melalui sambungan telefon, tentunya setelah Anita menjabarkan alasannya mengapa memilih Hilya yang akan menjadi pendamping Zayyan."Baiklah, ibu usahakan. Kalau begitu, ibu tutup telfonnya, Nit, ibu mau mulai bicara sama Hilya," balas Asih.Malam hari seperti biasanya, setelah makan malam Hilya akan bergabung dengan sang ibu, dan neneknya di ruang keluarga. Ia baru saja selesai membereskan meja makan malam, dan menyuruh adik-adiknya untuk belajar."Ada yang mau nenek bicarakan, Hil," ucap Asih seraya menatap Hilya.Hilya yang tadinya tengah menonton televisi sembari memakan keripik pisang pun sontak menghentikan aktivitasnya. Ia pun membenarkan posisi duduknya, dan balas menatap sang nenek."Tentang apa, Nek? Kayaknya serius deh," balas Hilya."Bagaimana kalau kamu saja yang jadi calon pengantin perempuannya Zayyan, Hil?" tanya Asih.Hilya membulatkan matanya. Ia pikir, sang nenek tidak akan membahas hal ini. Apakah neneknya ini bersekongkol dengan sang bude? Sementara itu, kini Ratih justru sudah senyum-senyum sendiri."Maksudnya, aku menikah sama mas Zayyan gitu, Nek?" Hilya memastikan meskipun ia sudah tahu jawabannya. "Maaf, Nek, jangan aku.""Memangnya kenapa sih, Hil? Zayyan itu dokter ganteng, pinter, banyak duit lagi. Jarang, ada laki-laki yang punya spek seperti Zayyan," tukas Ratih."Meskipun ganteng, dan kaya, kalau sikapnya nyebelin, mana ada cewek yang mau sama dia, Bu. Tuh, si Tata aja bela-belain kabur sama pacarnya, ketimbang harus menikah sama dia," balas Hilya."Itu sih, Tata-nya aja yang b*d*h. Laki-laki sesempurna Zayyan kok ditinggalin," cibir Ratih.Hilya mencebik. Ibunya terlalu memuja Zayyan, sang keponakan kesayangannya itu, padahal menurut Hilya, Zayyan tidak ada bagus-bagusnya meskipun kebanyakan setiap orang mengatakan yang sama dengan apa yang dikatakan Ratih tadi."Menurut nenek, kamu cocok sama Zayyan, Hil," ujar Asih."Cocok apanya, Nek? Umurku sama mas Zayyan aja beda jauh." "Perbedaan umur bukan sebuah masalah, Hil. Saat Rosululloh menikah dengan sayyidah Khodijah bukankah saat itu Rosululloh baru berumur dua puluh lima tahun, dan sayyidah Khodijah berumur empat puluh tahun? Beliau berdua bahkan berbeda lima belas tahun, lebih jauh daripada perbedaan umur kamu, dan Zayyan yang hanya dua belas tahun," tutur Asih.Hanya dua belas tahun? Hilya melotot. Mungkin bagi neneknya, perbedaan umur lebih dari sepuluh tahun dengan pasangan bukanlah sebuah masalah, tetapi bagi Hilya, itu adalah sebuah masalah. Terlebih lagi selama ini Hilya menginginkan jika pasangannya nanti jarak umurnya tidak terlalu jauh dengannya."Tapi kan aku sama mas Zayyan sepupuan, Nek." Hilya coba berkelit."Dalam agama kita, sepupu itu bukan mahram, jadi boleh menikah," jelas Asih."Dengerin tuh, Hil. Sepupu itu boleh nikah. Kalau nggak percaya, tanya aja sama ustadz," timpal Ratih. Hilya mendengkus. "Ibu sama pakde Rafi kan kakak beradik, masa iya harus jadi besan juga? Emangnya Ibu nggak pengen gitu, punya besan dari kalangan orang lain, biar tambah relasi?"Ratih mencebikkan bibir. "Halah, relasi, relasi! Ibu nggak mikirin itu.""Hil, justru karena kamu, dan Zayyan sepupuan, bukannya jadi mudah, Hil? Maksudnya, kamu nanti tidak perlu beradaptasi lagi di keluarga mertuamu," ujar Asih."Tapi kan aku nggak cinta sama mas Zayyan, Nek. Senyaman-nyamannya sama mertua, tapi kalau sama suami nggak cinta, ya nggak akan bahagia kan?" kata Hilya sok bijak."Cinta, cinta! Cinta itu nggak bisa bikin kenyang perut, Hil," sergah Ratih."Rumah tangga kan harus didasari dengan cinta, Bu. Kata almarhum ayah, dulu ibu sama ayah menikah juga karena cinta, kan?" Hilya ingat tentang cerita almarhum ayahnya dulu, tentang bagaimana ayahnya, dan ibunya bisa menikah."Ya itu cukup cerita hidup ibu sama ayahmu aja, kamu jangan! Jaman sekarang tuh apa-apa harus realistis," tangkas Ratih.Hilya terdiam kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan ibunya."Hil, kamu tahu pepatah Jawa yang berbunyi, 'witing tresno jalaran soko kulino'? Cinta itu datang karena terbiasa. Mungkin sekarang kamu sama Zayyan belum saling mencintai. Tapi, setelah kalian menikah nanti, dan kalian selalu bersama, perlahan cinta juga akan hadir di antara kalian." Asih menasehati. Ia menghela napas, lalu kembali berkata, "Kamu, dan Zayyan sama-sama cucu nenek, dan nenek paham bagaimana sifat kalian masing-masing. Firasat nenek mengatakan kalau kalian itu berjodoh."Setelah diminta oleh menantunya untuk membujuk Hilya agar mau menikah dengan Zayyan, entah mengapa Asih tiba-tiba yakin jika dua cucunya itu cocok, dan berjodoh."Jodoh itu nggak ditentukan karena firasat, Nek," sangkal Hilya.Ratih memukul lengan tangan Hilya. "Nggak sopan kamu bilang seperti itu sama nenek. Firasat orang tua itu biasanya bener.""Menikahlah dengan Zayyan, Hil, nenek mohon." Asih mencoba sekali lagi membujuk cucu perempuannya itu."Nggak mau, Nek." Hilya menolak. Ia tidak pernah sekali pun membayangkan menjadi istri orang menyebalkan seperti Zayyan."Aduh! Dadaku ...." Asih tiba-tiba memegangi dadanya, membuat Ratih khawatir, dan sontak menghampiri sang ibu. Hilya pun melakukan hal yang sama dengan Ratih."Kenapa, Bu?"Belum sempat Asih menjawab pertanyaan Ratih, wanita lanjut usia itu tiba-tiba pingsan.Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap." Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka. Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?" "Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?" Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya. Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu. Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya. "Nek, Nenek sudah minum o
Mendengar Zayyan menyebut nama Tata pada seorang wanita di depannya, membuat Hilya, dan Tasya melebarkan mata mereka. Wanita itu adalah tunangan Zayyan yang dikabarkan kabur ke luar negeri bersama kekasihnya. Lantas, mengapa tiba-tiba ia ada di sini? Sudah pulang kah?Sebenarnya ini adalah kali pertama bagi Hilya bertemu Tata. Sebelumnya ia hanya pernah melihat Tata dari foto yang ada di ponsel Tasya. Hilya berpikir bahwa Tata lebih cantik dilihat secara langsung. Lumayan serasi jika Tata menjadi istri Zayyan, apalagi dengan status sosial keduanya. "Aku dengar, nenek kamu jatuh sakit, Zayyan," ucap Tata. "Makanya aku ke sini mau nemuin nenek kamu." Zayyan tampak gusar. Kenapa di saat ia sudah akan menikah dengan Hilya, Tata justru kembali secara tiba-tiba? Ia takut jika nanti sang ayah kembali menyuruhnya menikah dengan wanita itu. "Nenek sakit tuh gara-gara Kak Tata. Ngapain tiba-tiba ada di sini? Bukannya lagi ke luar negeri sama pacar Kak Tata?" sahut Tasya ketus. Ia yang dari
"Kenapa nggak mungkin? Kalau mas Zayyan sama kak Tata saling mencintai, ya tinggal diusahakan. Nanti pakde sama bude pasti ngerti kok." Hilya kini ikut bersuara. Zayyan tidak suka Hilya berbicara seperti itu. Ia menatap Hilya dengan tajam, dan Hilya pun balas menatapnya. "Pernikahan kita sudah disiapkan, Hil. Nanti malam kita menikah kalau kamu lupa," ujar Zayyan. "Bisa dibatalin, Mas, atau diganti sama kak Tata. Aku nggak mau ya, jadi penghalang cinta Mas Zayyan sama kak Tata," kata Hilya. "Kalau Mas takut bilangnya sama pakde, dan bude, nanti aku bisa bantu kok, supaya nanti malam Mas Zayyan nikahnya sama kak Tata aja." Zayyan mengepalkan tangannya. Sungguh ia kesal dengan Hilya yang sudah salah menyimpulkan. Ia lalu mendahului kedua gadis itu masuk ke store perhiasan. "Kak Zayyan nggak cinta sama Tata si nenek sihir, Hil. Dia dulu cuma terpaksa menerima perjodohan itu," bisik Tasya. Hilya diam sambil mencerna ucapan Tasya, sampai akhirnya ia diseret Tasya memasuki store perhi
Zayyan sebenarnya enggan menikah dengan Tata, perempuan yang dijodohkan oleh sang ayah. Ia sudah mempunyai pujaan hati sendiri, dan masih menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya. Namun, karena sang ayah terus mendesak untuk segera menikah, dan demi baktinya pada orang tua, ia terpaksa menerima perjodohan itu. Sebenarnya Tata adalah perempuan yang baik, kurangnya hanya tidak memakai tutup kepala. Hal itu pula yang membuat Zayyan kaget, kenapa sang ayah malah menjodohkannya dengan perempuan tak berhijab, padahal menurutnya sang ayah cukup religius. Meski tak menyangka dengan keputusan ayahnya, Zayyan tetap terpaksa menerima perjodohan itu, dan pura-pura tertarik pada Tata di depan orang tuanya. Pada saat pertama bertemu, Tata langsung menceritakan pada Zayyan bahwa ia sebenarnya keberatan dengan perjodohan mereka, terlebih sudah mempunyai pacar. Tetapi karena orang tuanya terus memaksa, Tata pun terpaksa menuruti perjodohan itu tanpa memutuskan hubungan dengan sang pacar. Keluarga
"Harus banget bilang begitu ya, Hil?" Zayyan kesal, di malam pernikahannya ini sang istri justru mengaku bahwa punya laki-laki yang disukai. "Ya aku kan mau jujur, Mas." Laki-laki berumur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kasar, lalu memfokuskan diri untuk menyetir, meski dadanya terasa sesak. Walau Hilya mengatakan sudah ada seseorang yang mengisi hatinya, tapi Zayyan tidak mau bertanya siapa laki-laki itu, setidaknya untuk saat ini. Zayyan benar-benar tidak mau merusak malam pengantinnya. Heran karena Zayyan tak menimpali perkataannya lagi, Hilya pun melirik sekilas. Terlihat Zayyan yang tengah fokus mengemudi dengan raut wajahnya yang entah mengapa tampak menyeramkan. Suasana menjadi hening. Hilya sebenarnya tidak suka dengan keadaan seperti ini, tapi mau bicara pun, tidak tahu apa yang akan dibahas lagi. Terlebih, jika berbicara dengan laki-laki ini pasti nantinya akan berdebat juga seperti biasanya. "Turun," kata Zayyan begitu mobilnya terparkir di depan rumah orang tuany
"Nggak!" tolak Hilya dengan tegas. Menikah dengan Zayyan saja tidak pernah terlintas di pikirannya, apalagi tidur bersama satu ranjang. "Mas udah janji nggak bakal ngapa-ngapain aku tadi." "Siapa yang berjanji? Aku kan tadi cuma bilang tidak akan melewati batas." Setidaknya sampai pernikahan secara negara disahkan. Setelah itu, Zayyan tidak tahu masih bisakah menahan diri atau tidak. Hilya menatap kesal Zayyan. Sepupunya ini benar-benar tidak pernah ada habisnya membuatnya marah. Bagaimana ia bisa bertahan lama dalam pernikahan ini coba? "Bisa nggak, Mas, jangan bikin aku kesel terus?" "Lho, aku kan bilang apa adanya, Hil. Gimana sih kamu?" Seperti biasa, Zayyan tidak mau mengalah. Jika di luar banyak orang yang mengira Zayyan sebagai pribadi yang dingin, maka itu berkebalikan jika sedang bersama Hilya. Zayyan seketika akan berubah menjadi sangat menyebalkan. Bagi Zayyan sendiri, membuat Hilya kesal, dan marah-marah adalah suatu kesenangan. Menghela napas, Hilya lalu duduk di ra
Pukul tiga dini hari Zayyan terjaga. Tak butuh alarm untuk membangunkannya, karena memang sudah biasa bangun di jam-jam seperti ini. Seperti biasa, ia akan melaksanakan sholat malam guna mendekatkan diri kepada sang pemilik alam. Selanjutnya ia akan berdzikir, dilanjut membaca Al Qur'an sampai subuh tiba. Melirik ke ranjang, Zayyan melihat Hilya di sana. Merasa penasaran seperti apa Hilya saat tidur jika dilihat dari dekat, Zayyan pun beranjak mendekati ranjang itu. Hilya tidur terlentang dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke bagian dada. Setelah dilihat dari dekat, Zayyan bisa melihat rambut Hilya yang hitam panjang, dan lurus. Tadi sebelum ia tidur, Hilya belum membuka jilbabnya, karena mungkin masih canggung. Dulu sewaktu Hilya kecil, dan belum berjilbab, Zayyan tahu rambut gadis itu memang sudah bagus. Setelah beranjak remaja, Hilya sudah mulai memakai jilbab, sehingga Zayyan tidak pernah lagi melihat rambut Hilya. Baru sekarang Zayyan bisa melihat lagi mahkota Hily
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen