"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
"Apa?! Tata kabur dari rumah?" Rafi, seorang laki-laki paruh baya terkejut mendengar kabar yang baru saja disampaikan oleh Andi--orang kepercayaannya. Ini masih pagi, dan waktunya sarapan, tapi Andi sudah melaporkan hal yang kurang menyenangkan itu. "Benar, Tuan." Andi mengangguk, tanda apa yang ia laporkan tadi memang benar adanya. "Kamu kalau ngasih informasi yang bener dong, Ndi. Jangan membuat kita panik seperti ini." Anita--istri Rafi pun ikut bicara. "Benar, Nyonya. Apa yang saya sampaikan itu memang benar. Tentu saya tidak berani untuk membohongi Tuan, dan Nyonya." Sekali lagi Andi mengkonfirmasi kebenaran dari apa yang disampaikannya kepada pasangan suami istri yang menjadi bosnya itu. Anita melihat ke arah Andi, dan mengamati gerak-geriknya. Tidak ia temukan kebohongan di sana. Anak buah suaminya itu memang sedang jujur. Berbeda dengan sang istri, Rafi justru langsung percaya dengan apa yang disampaikan Andi tadi. Andi sudah bekerja puluhan tahun dengannya, dan sudah men
"Kak Tata, Nek, calon istrinya kak Zayyan." Sayangnya, Tasya justru tidak mengerti akan kode kedipan mata dari sang ibu yang menyuruhnya untuk diam. Anita, sang ibu pun melototinya."Apa?! Calon istri Zayyan berkhianat? Berkhianat bagaimana maksudnya?" Asih--sang nenek pun cukup syok mendengar kabar ini. Wanita berumur tujuh puluhan itu adalah ibu dari Rafi. Anita gelagapan. Ibu mertuanya sudah terlanjur mendengar kabar tidak menyenangkan ini, dan sekarang ia bingung bagaimana menjelaskannya. "Anu, Bu, bukan begitu maksudnya Tasya." "Jelaskan bagaimana kejadian sebenarnya, Anita. Jangan sembunyikan apapun dari ibu!" tuntut Asih. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Melihat sang ibu mertua yang seperti menahan sakit, Anita pun sontak memegangi lengan tangan mertuanya itu. "Kita bicara di dalam ya, Bu. Ayo masuk, dan tenangkan diri dulu." Wanita lanjut usia itu pun menurut. Ia masuk ke rumah dengan dituntut oleh Anita di sebelah kanan, dan Tasya di sebelah kiri. Anita,
Melihat Zayyan yang tanpa ekspresi itu, membuat Rafi tidak dapat menebak isi hati anak laki-lakinya itu. "Zayyan, bagaimana pendapatmu? Kamu tidak apa-apa kan, jika pernikahan dibatalkan?" Rafi bertanya dengan hati-hati, terlebih setelah melihat kode dari Anita yang duduk di samping Zayyan. Setelah beberapa saat menampilkan raut wajah tanpa ekspresi, kini Zayyan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Bergantian melihat ke arah kedua orang tuanya yang sepertinya tengah mengkhawatirkannya. "Tidak apa-apa, Pah. Saya tidak masalah jika pernikahan dibatalkan," ucap Zayyan santai, lalu tersenyum, seakan-akan apa yang ia dengar tadi bukan hal yang menyakitkan. Mendengar jawaban Zayyan yang tidak terduga itu, membuat Anita merasa bingung. Bagaimana bisa Zayyan terlihat santai menanggapi hal ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sebelum Zayyan ke luar kota, ia sempat bertemu dengan Tata? Anita pikir, saat itu Zayyan sudah mulai membuka hati untuk Tata, hingga mau menghabiskan waktu seharian
Mendengar teriakkan itu, Zayyan pun sontak bangun dari duduknya, untuk melihat suasana di luar rumah. Ketika berdiri di tengah pintu, Zayyan melihat seorang gadis berjilbab yang kini tengah memarahi anak-anak kecil yang bermain di teras rumah, sembari bertolak pinggang. "Udah dibilangin jangan bikin kotor teras rumah!" Gadis itu masih mengomel, karena melihat anak-anak kecil itu tidak hanya bermain dengan kerikil di teras, tetapi juga dengan tanah, dan daun-daunan yang sengaja dipetik untuk bermain masak-masakan. Bukannya takut dengan kegarangan gadis itu, anak-anak justru meledeknya. "Kak Hilya pelit amat sih, kita cuma mau main di sini. Lagian, nenek Asih juga bolehin kita main di sini kok," protes salah satu anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang. "Bukannya pelit, tapi kalian tuh bisanya cuma bikin kotor aja, udah gitu habis main nggak pernah diberesin, lagi! Aku tau, yang selalu buang-buangin sisa mainan kalian itu. Dikira nggak capek apa? Pergi sana kalian!" "Huuu!" A
"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi. "Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi "Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi." "Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusa
Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,