Melihat Zayyan yang tanpa ekspresi itu, membuat Rafi tidak dapat menebak isi hati anak laki-lakinya itu.
"Zayyan, bagaimana pendapatmu? Kamu tidak apa-apa kan, jika pernikahan dibatalkan?" Rafi bertanya dengan hati-hati, terlebih setelah melihat kode dari Anita yang duduk di samping Zayyan.Setelah beberapa saat menampilkan raut wajah tanpa ekspresi, kini Zayyan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Bergantian melihat ke arah kedua orang tuanya yang sepertinya tengah mengkhawatirkannya."Tidak apa-apa, Pah. Saya tidak masalah jika pernikahan dibatalkan," ucap Zayyan santai, lalu tersenyum, seakan-akan apa yang ia dengar tadi bukan hal yang menyakitkan.Mendengar jawaban Zayyan yang tidak terduga itu, membuat Anita merasa bingung. Bagaimana bisa Zayyan terlihat santai menanggapi hal ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sebelum Zayyan ke luar kota, ia sempat bertemu dengan Tata? Anita pikir, saat itu Zayyan sudah mulai membuka hati untuk Tata, hingga mau menghabiskan waktu seharian dengan perempuan itu sebelum tugas penyuluhan kesehatan di luar kota. Lalu sekarang, kenapa Zayyan bisa bersikap biasa-biasa saja, seakan pembatalan pernikahan bukanlah hal yang berat? Apakah saat ini Zayyan hanya sedang berpura-pura baik-baik saja?"Kamu beneran tidak apa-apa, Zayyan?" tanya Anita, sembari memegang lengan anak pertamanya itu.Zayyan menoleh ke ibunya, seraya tersenyum tipis. "Ya, tidak apa-apa, Mah. Memangnya saya harus bagaimana?""Kalau kamu sedih, luapkan saja, Zayyan," tutur Anita.Dokter muda itu justru tertawa kecil. "Untuk apa saya sedih sih, Mah? Kalau memang batal, ya berarti tidak jodoh kan?""Tapi kamu kayak syok tadi," timpal Anita."Bukan syok, Mah, saya kaget, dan sedang mencerna maksud papah. Saya kalau kaget kan memang suka diam saja seperti tadi," aku Zayyan.Meski masih merasa heran, tapi kini Anita bisa bernapas lega. Setidaknya Zayyan tidak terlihat menyedihkan."Papa bangga sama kamu yang bisa menyikapi hal ini secara dewasa," ujar Rafi. Sebenarnya, dari awal ia sudah menduga bahwa Zayyan tidak akan kenapa-kenapa saat mendengar kenyataan tentang batalnya pernikahan itu. Hanya saja, wajah Zayyan yang tanpa ekspresi tadi, membuatnya sedikit cemas."Saya kan memang sudah dewasa, Pah, bukan lagi anak kecil yang tantrum kalau pesta ulang tahunnya dibatalkan," ucap Zayyan.====="Nenek mau pulang," ucap Asih pada Zayyan. Keduanya kini tengah berada di dekat kolam ikan di samping rumah."Pulang? Ini kan rumah nenek juga," balas Zayyan."Pulang ke rumah nenek yang asli, Zayyan. Kamu antarkan ya," pinta Asih."Bukannya Nenek baru sebentar di sini ya? Biasanya kan lama di sini."Asih menghela napas. "Begini, Zayyan, nenek merasa sedih sama pernikahan kamu yang dibatalkan. Meskipun nenek tidak suka dengan Tata, mantan calon istrimu itu, tetap saja nenek sedih karena cucu nenek tidak jadi menikah. Maka dari itu, nenek ingin menenangkan diri dulu di rumah sana yang dekat dengan makam kakekmu."Zayyan menaruh pakan ikan yang sedari tadi dipegangnya di dekat kolam, lalu beranjak duduk di sebelah sang nenek."Tidak usah dipikirkan, Nek. Saya baik-baik saja kok. Lagi pula, dari awal rencana pernikahan itu kan bukan saya yang mencanangkan. Saya hanya mengikuti alur yang dibuat oleh papah," ujar Zayyan."Jadi, sebenarnya kamu terpaksa menerima perjodohan itu?" Fakta ini baru diketahui Asih, karena baru sekarang sang cucu bicara jujur mengenai hal ini.Zayyan mengangguk. "Iya, Nek. Sebagai bentuk rasa hormat saya kepada papah, saya terima perjodohan itu."Ada rasa nyeri di hati Asih saat mendengar pengakuan Zayyan. Cucunya ini begitu menghormati orang tuanya sehingga tidak kuasa menolak perjodohan yang sebenarnya tidak diinginkannya itu. Netra Asih mengeluarkan air mata, tak kuat menahan rasa haru yang bercampur sedih itu."Kamu benar-benar anak yang baik, dan berbakti, Zayyan. Nenek bangga punya cucu seperti kamu," tutur Asih."Jangan memuji saya, Nek. Saya tidak sebaik itu kok." Zayyan tersenyum. "Jangan nangis dong.""Ah, nenek tidak nangis kok." Asih mengusap air matanya. "Ayo, antarkan nenek pulang ke rumah nenek."=====Di dalam mobil, Asih masih terpikirkan bagaimana berbaktinya Zayyan kepada Rafi dengan terpaksa menerima perjodohan hingga pada rencana pernikahan yang pada akhirnya batal itu.Sementara Zayyan, saat ini justru ia tampak bahagia. Entah apa yang membuatnya terlihat berbinar itu."Zayyan, setelah ini kamu tidak boleh trauma sama yang namanya pernikahan," ujar Asih yang saat ini duduk di kursi penumpang di samping Zayyan yang sedang mengemudi.Cucu laki-laki Asih itu pun menoleh sebentar pada sang nenek. "Trauma bagaimana, Nek? Hanya karena saya, dan Tata tidak jadi menikah, lalu saya trauma begitu?" Zayyan terkekeh. "Saya tidak selemah itu kok, Nek, tenang saja.""Iya, nenek tau kamu ini laki-laki yang kuat, tapi jika nanti kamu memang sudah menemukan gadis yang cocok jadi istri kamu, menikahlah. Jangan takut kalau dia akan meninggalkanmu sebelum pernikahan, seperti yang dilakukan Tata," pesan Asih. "Kamu ini laki-laki yang baik, Zayyan, nenek yakin kamu pasti akan berjodoh dengan perempuan yang baik juga. Seperti firman Alloh dalam Al Qur'an Surat An-Nur ayat 26.A'udzubillahi minasysyaithonir rojiim. Bismillahirrohmaanirrohiim.Alkhobitsaatu lilkhobiitsiina, wal khobiitsuna lil khobiitsaat. Waththoyyibaatu liththoyyibiina, waththoyyibuuna liththoyyibaat.Yang artinya, perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk, laki-laki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik." Asih menuturkan secara panjang."Iya, Nek, saya tahu ayat itu. Sewaktu mengaji tafsir dengan ustadz Zaki, beliau juga memaparkan demikian," ucap Zayyan."Nenek yakin, kamu ini laki-laki yang baik, Zayyan. Insya Alloh, jodoh kamu nanti itu perempuan yang baik juga. Mungkin Tata itu bukan perempuan yang baik, makanya tidak berjodoh dengan kamu," lanjut Asih."Jangan menduga bahwa Tata bukan perempuan yang baik, Nek. Kita tidak boleh su'udzon kan terhadap sesama manusia? Mungkin lebih tepatnya, kehidupan saya, dan Tata nantinya akan jauh lebih baik jika kita tidak bersama," tukas Zayyan.=====Zayyan memasuki halaman rumah sang nenek yang cukup luas, lalu memarkirkan kendaraannya itu di dekat pohon besar.Halaman rumah sang nenek ini masih tanah, sehingga akan becek jika hujan deras. Namun, ada sedikit rumput jepang yang tumbuh di sekitar teras rumah. Dulu ayahnya Zayyan ingin mem-paving halaman rumah itu, tapi sang nenek menolaknya.Melihat rumah sang nenek, membuat Zayyan teringat akan masa kecilnya dulu yang sering menghabiskan waktu di sini. Rumah khas pedesaan yang masih terlihat asri seperti dulu meski sudah banyak yang berubah karena direnovasi.Di teras rumah itu terlihat beberapa anak kecil yang sedang bermain di sana. Mereka adalah anak-anak dari tetangga Asih."Banyak anak-anak main di sini ya, Nek. Persis seperti jaman saya masih kecil dulu," ucap Zayyan yang kini tengah berjalan beriringan dengan Asih menuju ke rumah."Iya, mereka memang suka main di sini, dan nenek senang saja. Kalau rumah kita disukai anak-anak kecil, bisa jadi karena rumah kita memancarkan aura positif kan?" balas sang nenek yang diangguki oleh Zayyan.Begitu tiba di teras rumah, Asih langsung masuk. Sementara Zayyan masih memperhatikan anak-anak kecil itu bermain. Hingga salah satu di antara anak-anak itu menyadari adanya Zayyan."Hai, om lihat sepertinya seru banget mainnya," sapa Zayyan pada anak-anak yang tengah bermain dengan batu-batu kecil atau disebut kerikil. Zayyan ingat dulu sewaktu kecil juga bermain permainan seperti ini."Iya, Ooom ...," jawab mereka secara serempak.Zayyan tersenyum senang. Tangan kanannya merogoh saku celananya, lalu mengambil tiga buah cokelat batang. Sayangnya di sakunya hanya ada tiga cokelat, sementara mereka berjumlah lima anak."Ini untuk kalian, tapi cuma ada tiga. Dimakan bareng-bareng saja ya, biar semua kebagian." Zayyan menyodorkan cokelat batang itu pada anak-anak yang langsung disambut secara antusias oleh mereka."Wah! Makasih, Om," ucap anak-anak secara serempak.Zayyan membalasnya dengan senyuman, dan mengacungkan jempol tangannya. Kemudian ia masuk ke rumah sang nenek."Ya Alloh, ada ponakan gantengku datang," ucap seorang wanita paruh baya di dalam rumah, begitu melihat kehadiran Zayyan.Wanita itu bernama Ratih. Ia adalah adik dari Rafi. Zayyan memanggilnya 'bulik'."Assalamualaikum, Bulik," sapa Zayyan, seraya menghampiri buliknya itu. Ia pun menyalami, dan mencium tangan sang bulik."Wa'alaikumsalam, Cah bagus. Sudah lama kamu tidak ke sini, tidak kangen toh sama bulik?" balas Ratih."Hehe, saya kangen kok bulik, cuma akhir-akhir ini saya cukup sibuk di rumah sakit," kata Zayyan."Iya, bulik maklumi, kamu kan dokter, mana mungkin tidak sibuk kan? Oh ya, duduk dulu ya, bulik buatkan minuman.""Tidak perlu repot-repot, Bulik. Saya bukan tamu penting kok," tolak Zayyan. "Oh ya, Hamam, dan Hamim mana, Bulik?""Ooh, mereka lagi main di belakang. Mau ketemu sama mereka?" Zayyan pun mengangguk. "Bulik panggilkan dulu ya. Kamu kalau haus, ambil sendiri ya, jangan sungkan. Ini rumah nenek yang berarti rumahmu juga.Zayyan mengangguk sambil tersenyum, lalu duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu. Tatanan ruang tamu itu belum banyak yang berubah semenjak terakhir kali ia berkunjung ke sini pada saat hari raya idul Fitri, yang berarti hampir satu tahun yang lalu. Pantas saja sang bulik bilang bahwa Zayyan sudah lama tak ke sini, ia baru menyadari.Mengingat tentang Ratih, tantenya itu memang selalu baik kepadanya. Zayyan merasa senang mempunyai sosok bulik seperti Ratih, meskipun nasib Ratih tidak seberuntung ayahnya.Jika Rafi, ayah Zayyan adalah seorang pengusaha yang bisa dikatakan sukses, dan kaya, maka lain halnya dengan Ratih yang hanya orang biasa. Ratih adalah janda dengan tiga orang anak. Anak pertamanya seorang gadis yang saat ini berusia dua puluh tahun, dan anak kedua, dan ketiganya kembar laki-laki, yang disebut oleh Zayyan tadi, yaitu Hamam, dan Hamim. Sejak suaminya meninggal, Ratih, dan anak-anaknya tinggal di rumah sang ibu, yaitu Asih.Saat Zayyan sedang asyik mengamati ruang tamu, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan rumah."Woy! Jangan pada main di sini, bikin kotor aja! Ini baru dipel tadi pagi. Pergi sana!"Mendengar teriakkan itu, Zayyan pun sontak bangun dari duduknya, untuk melihat suasana di luar rumah. Ketika berdiri di tengah pintu, Zayyan melihat seorang gadis berjilbab yang kini tengah memarahi anak-anak kecil yang bermain di teras rumah, sembari bertolak pinggang. "Udah dibilangin jangan bikin kotor teras rumah!" Gadis itu masih mengomel, karena melihat anak-anak kecil itu tidak hanya bermain dengan kerikil di teras, tetapi juga dengan tanah, dan daun-daunan yang sengaja dipetik untuk bermain masak-masakan. Bukannya takut dengan kegarangan gadis itu, anak-anak justru meledeknya. "Kak Hilya pelit amat sih, kita cuma mau main di sini. Lagian, nenek Asih juga bolehin kita main di sini kok," protes salah satu anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang. "Bukannya pelit, tapi kalian tuh bisanya cuma bikin kotor aja, udah gitu habis main nggak pernah diberesin, lagi! Aku tau, yang selalu buang-buangin sisa mainan kalian itu. Dikira nggak capek apa? Pergi sana kalian!" "Huuu!" A
"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi. "Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi "Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi." "Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusa
Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,
Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap." Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka. Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?" "Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?" Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya. Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu. Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya. "Nek, Nenek sudah minum o
Mendengar Zayyan menyebut nama Tata pada seorang wanita di depannya, membuat Hilya, dan Tasya melebarkan mata mereka. Wanita itu adalah tunangan Zayyan yang dikabarkan kabur ke luar negeri bersama kekasihnya. Lantas, mengapa tiba-tiba ia ada di sini? Sudah pulang kah?Sebenarnya ini adalah kali pertama bagi Hilya bertemu Tata. Sebelumnya ia hanya pernah melihat Tata dari foto yang ada di ponsel Tasya. Hilya berpikir bahwa Tata lebih cantik dilihat secara langsung. Lumayan serasi jika Tata menjadi istri Zayyan, apalagi dengan status sosial keduanya. "Aku dengar, nenek kamu jatuh sakit, Zayyan," ucap Tata. "Makanya aku ke sini mau nemuin nenek kamu." Zayyan tampak gusar. Kenapa di saat ia sudah akan menikah dengan Hilya, Tata justru kembali secara tiba-tiba? Ia takut jika nanti sang ayah kembali menyuruhnya menikah dengan wanita itu. "Nenek sakit tuh gara-gara Kak Tata. Ngapain tiba-tiba ada di sini? Bukannya lagi ke luar negeri sama pacar Kak Tata?" sahut Tasya ketus. Ia yang dari
"Kenapa nggak mungkin? Kalau mas Zayyan sama kak Tata saling mencintai, ya tinggal diusahakan. Nanti pakde sama bude pasti ngerti kok." Hilya kini ikut bersuara. Zayyan tidak suka Hilya berbicara seperti itu. Ia menatap Hilya dengan tajam, dan Hilya pun balas menatapnya. "Pernikahan kita sudah disiapkan, Hil. Nanti malam kita menikah kalau kamu lupa," ujar Zayyan. "Bisa dibatalin, Mas, atau diganti sama kak Tata. Aku nggak mau ya, jadi penghalang cinta Mas Zayyan sama kak Tata," kata Hilya. "Kalau Mas takut bilangnya sama pakde, dan bude, nanti aku bisa bantu kok, supaya nanti malam Mas Zayyan nikahnya sama kak Tata aja." Zayyan mengepalkan tangannya. Sungguh ia kesal dengan Hilya yang sudah salah menyimpulkan. Ia lalu mendahului kedua gadis itu masuk ke store perhiasan. "Kak Zayyan nggak cinta sama Tata si nenek sihir, Hil. Dia dulu cuma terpaksa menerima perjodohan itu," bisik Tasya. Hilya diam sambil mencerna ucapan Tasya, sampai akhirnya ia diseret Tasya memasuki store perhi
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen