"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi.
"Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi"Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi.""Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusahakan untuk secepatnya meminang perempuan itu untuk anak laki-lakinya ini.Zayyan menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia menatap kedua orang tuanya yang sepertinya sedang menunggu jawabannya. Sungguh, Zayyan saat ini bukan hanya pusing menghadapi apa yang tengah terjadi, tetapi juga dilema."Bagaimana, Zayyan? Kamu punya calon istri sendiri, atau memilih menikah dengan Siska, sekretaris Papa?" Rafi yang tidak sabar menunggu jawaban Zayyan, kembali bertanya."Sabar dulu dong, Pa, beri waktu Zayyan untuk berpikir," tegur Anita. Ia kesal dengan sikap suaminya yang ingin buru-buru."Baiklah kalau kamu butuh waktu untuk berpikir, Zayyan. Tapi, papa minta, besok pagi kamu harus sudah punya jawabannya. Pilihan kamu hanya ada dua, menikah dengan Siska, atau dengan perempuan pilihan kamu sendiri." Setelah mengatakan itu, Rafi bangkit dari duduknya, bersiap pergi ke ruang kerjanya."Saya tidak mau menikah dengan Siska, Pa," ucap Zayyan sebelum sang ayah melangkah lebih jauh.Rafi berhenti, kemudian membalikkan tubuhnya, dan menatap anak laki-lakinya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak itu. "Berarti kamu harus menikah dengan perempuan pilihan kamu sendiri. Segera bawa dia ke mari, kenalkan pada papa, dan mama.""Saya belum punya kandidat calon istri, Pa," balas Zayyan. Ia pun kemudian menatap sang ibu yang masih duduk, yang juga tengah menatapnya. "Akan tetapi, saya pasrahkan sama mama untuk mencari perempuan yang cocok untuk menjadi calon istri saya. Saya tidak punya kriteria khusus, yang penting dia seiman, dan berhijab."Anita tersenyum, lalu berpindah duduk di sebelah Zayyan. Ia mengelus punggung anak laki-lakinya itu. "Kamu yakin, mau menyerahkan urusan cari calon istri kepada mama?"Zayyan mengangguk. Baginya, asal sang ibu setuju, dan cocok akan siapa calon istrinya, maka Zayyan pun mau-mau saja."Tapi, kalau pilihan mama nanti tidak sesuai kriteria kamu bagaimana?" tanya Anita."Seperti yang saya bilang tadi, Ma, saya tidak punya kriteria khusus, seperti apa calon istri yang saya inginkan. Yang terpenting, dia menutup aurat, itu sudah cukup. Dan saya yakin, pilihan mama pasti baik, karena mama juga pasti akan mencarikan yang terbaik untuk saya bukan? " tutur Zayyan.Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun mengangguk. Ada haru yang menyeruak dalam hatinya, karena ia begitu dipercaya oleh sang anak, terlebih ini masalah jodoh."Baiklah, kalau seperti itu mau kamu, mama akan usahakan. Mama akan pilihkan calon istri yang terbaik untuk kamu. Istri yang nantinya bisa taat pada kamu yang akan menjadi imamnya, serta istri yang bisa menjadi qurrota a'yun di istanamu nanti," ujar Anita."Usahakan juga secepat mungkin, Ma, karena waktu kita tidak banyak," titah Rafi. "Hanya tinggal empat belas hari lagi sebelum pernikahan itu dilaksanakan."Anita mendengkus mendengar perintah suaminya.====="Zayyan batal menikah," ucap Asih. Malam ini ia tengah berkumpul dengan Ratih, dan Hilya di depan televisi. Sementara Hamam, dan Hamim sudah tidur.Ratih pun cukup terkejut dengan berita yang baru saja disampaikan oleh sang ibu. Kurang lebih satu bulan yang lalu ia dikabari oleh Anita bahwa Zayyan akan menikah, dan Ratih belum sempat datang ke rumah kakaknya itu, tapi kini ia justru mendengar kabar pembatalan. "Batal nikah? Memangnya kenapa, Bu?""Si Tata, calon istrinya Zayyan kabur ke luar negeri sama pacarnya," jawab Asih. Ia mendesah berat, tak menyangka hal seperti ini akan menimpa salah satu cucunya."Kasihan mas Rafi sama mbak Anita, mereka pasti menanggung malu, karena pernikahan Zayyan batal, padahal kan pernikahan tinggal dua minggu lagi." Ratih merasa iba dengan apa yang terjadi pada keluarga kakaknya."Mas Zayyan sama calon istrinya itu tadinya dijodohin kan, Nek? Mungkin aja calon istrinya emang nggak cinta sama mas Zayyan, makanya milih kabur sebelum hari pernikahan. Mas Zayyan juga orangnya nyebelin sih, wajar aja calon istrinya nggak mau menikah sama dia," celetuk Hilya. Ia tidak merasa kasihan sama sekali pada apa yang menimpa kakak sepupunya itu. Bagi Hilya, itu karma yang Zayyan dapatkan karena selama ini selalu bersikap menyebalkan kepadanya. Hilya juga ingat saat tadi siang ia menyumpahi agar pernikahan Zayyan itu batal, ternyata memang sudah batal betulan.Ratih melotot mendengar celetukan dari anak gadisnya itu. "Kamu ini, sepupu lagi kena musibah bukannya iba, malah ngata-ngatain!"Hilya mencebik. Merasa tidak perlu iba pada Zayyan, sang sepupu yang selalu bersikap menyebalkan terhadapnya itu. "Lagian mas Zayyan selalu nyebelin kalau ke aku, gimana aku mau iba, Bu?""Ya itu karena kamu yang kurang ajar sama dia." Ratih menjitak kepala Hilya, membuat Hilya mengaduh. Ia kemudian kembali menatap Asih yang kini tampak sedih. "Sekarang, apa yang sedang mas Rafi sama mbak Anita rencanakan, Bu? Kalau pernikahan itu benar-benar dibatalkan, mereka tidak cuma menanggung malu, tapi juga rugi yang tidak sedikit.""Entahlah. Kemarin Rafi sempat ada ide untuk mencari perempuan lain yang siap menjadi pengantin pengganti. Tapi, ibu tidak setuju. Ibu menyuruh mereka untuk meminta pendapat Zayyan," ungkap Asih."Heran ya, laki-laki sebaik Zayyan begitu kok disia-siakan. Yakin, pasti suatu saat nanti si Tata akan menyesal," kata Ratih."Iya kalau menyesal, Bu. Kalau sebaliknya gimana? Menurut aku sih, si Tata itu membuat keputusan yang bagus, memilih kabur sama pacarnya. Coba kalau tetap menikah sama mas Zayyan, bakal tekanan batin setiap hari tuh," cibir Hilya."Hush! Kamu ini kok jadi belain Tata daripada sepupu kamu sendiri," omel Ratih, dan Hilya hanya memutar bola matanya."Kamu seperti benci sekali sama Zayyan, Hil. Jangan begitulah, walau bagaimana pun juga, kalian itu masih saudara," ujar Asih. "Nenek mau semua cucu-cucu nenek akur, guyub rukun. Jangan ada yang saling benci, apalagi sampai musuhan. Tidak baik.""Iya, Nek." Hanya itu yang bisa Hilya katakan. Ia tidak terlalu berani untuk membantah ucapan sang nenek.=====Seperti biasa, sebelum pukul tujuh pagi Hilya sudah datang di tempat kerjanya. Ia bekerja di sebuah toko alat tulis sekolah, dan kantor, yang juga menyediakan jasa fotokopi. Letak tempat kerja Hilya itu cukup dekat dengan kampus.Hilya tidak kuliah. Ia memilih bekerja setelah lulus SMA. Semenjak sang ayah meninggal, biaya pendidikannya, dan dua adiknya ditanggung oleh Rafi--sang paman. Sementara untuk biaya makan ditanggung oleh sang nenek dari jatah pensiunannya setiap bulan sebagai mantan pegawai negeri, serta uang bulanan dari Rafi.Sementara itu, Ratih--ibu Hilya tidak bekerja karena ia mempunyai riwayat penyakit jantung, makanya Asih tidak membolehkan anak perempuannya itu bekerja.Dulu, sepeninggal sang ayah, Hilya, dan dua adik kembarnya, serta sang ibu disuruh untuk tinggal di rumah Asih atas permintaan neneknya tersebut. Sebelumnya, keluarga Hilya tinggal di rumah kontrakan.Sebenarnya, setelah lulus SMA, Hilya disuruh oleh Rafi untuk melanjutkan kuliah, dan pamannya itu yang akan tetap membiayainya. Hilya juga diberi kebebasan untuk memilih jurusan apa, dan di kampus mana ia ingin kuliah. Namun, saat itu Hilya menolak. Ia ingin bekerja saja karena merasa sudah enggan untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, Hilya juga merasa bahwa dirinya tidak pintar, makanya tidak mau kuliah karena menganggap hanya akan membuang-buang uang sang paman.Rafi juga pernah menawarkan Hilya untuk bekerja di kantornya sebagai resepsionis, tetapi Hilya menolak. Hilya merasa tidak cocok bekerja di kantor."Semangat bener kayaknya pagi ini." Fera--teman Hilya sedikit menggoda saat melihat Hilya yang tengah beberes sebelum membuka toko."Biasa aja sebenarnya," balas Hilya."Tapi aku lihat kamu pagi ini kayak lagi seneng aja, Hil. Aura-auranya orang seneng kan kelihatan," kata Fera. Ia berteman Hilya sejak SMP, dan sekarang pun bekerja di tempat yang sama."Senenglah, sekarang kan hari Senin, Fer. Jadwalnya pak Dimas berangkat pagi," ucap Hilya sembari senyum-senyum membayangkan laki-laki bernama Dimas."Hmm ... ternyata karena mau liat gebetan," goda Fera.Dimas adalah dosen muda di kampus yang dekat dengan tempat Hilya bekerja. Hilya sudah cukup lama menaruh hati pada laki-laki itu. Setiap hari Senin, Dimas berangkat ke kampus pagi hari, dan hari-hari selainnya selalu berangkat siang, menyesuaikan dengan jadwal. Oleh karena itu, saat ini Hilya merasa senang karena sebentar lagi bisa melihat Dimas yang lewat dengan motornya di depan tokonya.Setelah selesai beberes, dan membuka toko, Hilya sengaja berdiri di depan untuk menunggu dosen muda itu lewat. Lumayan untuk cuci mata pagi hari, begitu pikirnya.Tak lama setelah itu, Dimas pun lewat. Laki-laki itu membunyikan klakson motornya, seraya menoleh ke arah Hilya, serta melambaikan tangan. Hilya pun balas melambaikan tangan sembari tersenyum. Mereka berdua memang saling kenal, karena Dimas sering memfotokopi di toko tempat Hilya bekerja."Selamat pagi, Pak Dosen!" Hilya sedikit berteriak.Setelah motor Dimas melewati depan toko, dan menjauh, Hilya masih memperhatikan, dan masih senyum-senyum."Ekhem!" Seseorang di belakang Hilya berdehem.Sontak Hilya pun membalik badan, dan senyuman yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar."Mas Zayyan? Ngapain di sini?"Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,
Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap." Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka. Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?" "Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?" Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya. Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu. Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya. "Nek, Nenek sudah minum o
Mendengar Zayyan menyebut nama Tata pada seorang wanita di depannya, membuat Hilya, dan Tasya melebarkan mata mereka. Wanita itu adalah tunangan Zayyan yang dikabarkan kabur ke luar negeri bersama kekasihnya. Lantas, mengapa tiba-tiba ia ada di sini? Sudah pulang kah?Sebenarnya ini adalah kali pertama bagi Hilya bertemu Tata. Sebelumnya ia hanya pernah melihat Tata dari foto yang ada di ponsel Tasya. Hilya berpikir bahwa Tata lebih cantik dilihat secara langsung. Lumayan serasi jika Tata menjadi istri Zayyan, apalagi dengan status sosial keduanya. "Aku dengar, nenek kamu jatuh sakit, Zayyan," ucap Tata. "Makanya aku ke sini mau nemuin nenek kamu." Zayyan tampak gusar. Kenapa di saat ia sudah akan menikah dengan Hilya, Tata justru kembali secara tiba-tiba? Ia takut jika nanti sang ayah kembali menyuruhnya menikah dengan wanita itu. "Nenek sakit tuh gara-gara Kak Tata. Ngapain tiba-tiba ada di sini? Bukannya lagi ke luar negeri sama pacar Kak Tata?" sahut Tasya ketus. Ia yang dari
"Kenapa nggak mungkin? Kalau mas Zayyan sama kak Tata saling mencintai, ya tinggal diusahakan. Nanti pakde sama bude pasti ngerti kok." Hilya kini ikut bersuara. Zayyan tidak suka Hilya berbicara seperti itu. Ia menatap Hilya dengan tajam, dan Hilya pun balas menatapnya. "Pernikahan kita sudah disiapkan, Hil. Nanti malam kita menikah kalau kamu lupa," ujar Zayyan. "Bisa dibatalin, Mas, atau diganti sama kak Tata. Aku nggak mau ya, jadi penghalang cinta Mas Zayyan sama kak Tata," kata Hilya. "Kalau Mas takut bilangnya sama pakde, dan bude, nanti aku bisa bantu kok, supaya nanti malam Mas Zayyan nikahnya sama kak Tata aja." Zayyan mengepalkan tangannya. Sungguh ia kesal dengan Hilya yang sudah salah menyimpulkan. Ia lalu mendahului kedua gadis itu masuk ke store perhiasan. "Kak Zayyan nggak cinta sama Tata si nenek sihir, Hil. Dia dulu cuma terpaksa menerima perjodohan itu," bisik Tasya. Hilya diam sambil mencerna ucapan Tasya, sampai akhirnya ia diseret Tasya memasuki store perhi
Zayyan sebenarnya enggan menikah dengan Tata, perempuan yang dijodohkan oleh sang ayah. Ia sudah mempunyai pujaan hati sendiri, dan masih menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya. Namun, karena sang ayah terus mendesak untuk segera menikah, dan demi baktinya pada orang tua, ia terpaksa menerima perjodohan itu. Sebenarnya Tata adalah perempuan yang baik, kurangnya hanya tidak memakai tutup kepala. Hal itu pula yang membuat Zayyan kaget, kenapa sang ayah malah menjodohkannya dengan perempuan tak berhijab, padahal menurutnya sang ayah cukup religius. Meski tak menyangka dengan keputusan ayahnya, Zayyan tetap terpaksa menerima perjodohan itu, dan pura-pura tertarik pada Tata di depan orang tuanya. Pada saat pertama bertemu, Tata langsung menceritakan pada Zayyan bahwa ia sebenarnya keberatan dengan perjodohan mereka, terlebih sudah mempunyai pacar. Tetapi karena orang tuanya terus memaksa, Tata pun terpaksa menuruti perjodohan itu tanpa memutuskan hubungan dengan sang pacar. Keluarga
"Harus banget bilang begitu ya, Hil?" Zayyan kesal, di malam pernikahannya ini sang istri justru mengaku bahwa punya laki-laki yang disukai. "Ya aku kan mau jujur, Mas." Laki-laki berumur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kasar, lalu memfokuskan diri untuk menyetir, meski dadanya terasa sesak. Walau Hilya mengatakan sudah ada seseorang yang mengisi hatinya, tapi Zayyan tidak mau bertanya siapa laki-laki itu, setidaknya untuk saat ini. Zayyan benar-benar tidak mau merusak malam pengantinnya. Heran karena Zayyan tak menimpali perkataannya lagi, Hilya pun melirik sekilas. Terlihat Zayyan yang tengah fokus mengemudi dengan raut wajahnya yang entah mengapa tampak menyeramkan. Suasana menjadi hening. Hilya sebenarnya tidak suka dengan keadaan seperti ini, tapi mau bicara pun, tidak tahu apa yang akan dibahas lagi. Terlebih, jika berbicara dengan laki-laki ini pasti nantinya akan berdebat juga seperti biasanya. "Turun," kata Zayyan begitu mobilnya terparkir di depan rumah orang tuany
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen