Mendengar teriakkan itu, Zayyan pun sontak bangun dari duduknya, untuk melihat suasana di luar rumah.
Ketika berdiri di tengah pintu, Zayyan melihat seorang gadis berjilbab yang kini tengah memarahi anak-anak kecil yang bermain di teras rumah, sembari bertolak pinggang."Udah dibilangin jangan bikin kotor teras rumah!" Gadis itu masih mengomel, karena melihat anak-anak kecil itu tidak hanya bermain dengan kerikil di teras, tetapi juga dengan tanah, dan daun-daunan yang sengaja dipetik untuk bermain masak-masakan.Bukannya takut dengan kegarangan gadis itu, anak-anak justru meledeknya."Kak Hilya pelit amat sih, kita cuma mau main di sini. Lagian, nenek Asih juga bolehin kita main di sini kok," protes salah satu anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang."Bukannya pelit, tapi kalian tuh bisanya cuma bikin kotor aja, udah gitu habis main nggak pernah diberesin, lagi! Aku tau, yang selalu buang-buangin sisa mainan kalian itu. Dikira nggak capek apa? Pergi sana kalian!""Huuu!" Anak-anak menyoraki gadis yang dipanggil Hilya itu, tapi tak urung pergi juga seperti yang diperintahkan tadi.Merasa kesal karena diabaikan perintahnya, dan anak-anak tidak merasa takut dengannya, Hilya pun mengambil sebuah sapu lidi yang ada didekatnya, guna untuk mengusir anak-anak kecil itu."Ayo pergi nggak? Atau mau disabet nih?" ancam Hilya sembari mengayunkan sapu lidi di tangannya, sehingga membuat anak-anak ketakutan."Ampun, Kak," ucap para anak kecil itu."Beresin mainannya cepetan!" perintah Hilya dengan masih mengayunkan sapu lidi.Anak-anak kecil itu pun sontak bergegas membereskan mainan mereka dengan dipenuhi rasa takut.Zayyan yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini menghampiri Hilya yang masih menunggu anak-anak membereskan mainannya."Jangan galak-galak sama anak kecil," tegur Zayyan.Hilya yang sedari tadi tidak menyadari adanya Zayyan pun sontak berjingkat kaget. Ia menoleh ke sumber suara, dan langsung membulatkan matanya begitu melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang."Mas Zayyan?" kata Hilya. Ia lalu membatin, sejak kapan sepupunya ini ada di sini? Hilya lalu teringat dengan mobil yang terparkir di dekat pohon besar itu. Tadinya ia kira mobil itu bukan milik Zayyan."Kamu juga pernah jadi anak kecil seusia mereka. Pernah mainan seperti mereka juga, dan mungkin saja kamu dulu sering mengotori halaman rumah orang," ucap Zayyan."Dih, sotoy! Kalau pun iya, seenggaknya dulu aku kalau habis main, pasti selalu diberesin," sangkal Hilya."Tapi kamu juga jangan mudah marahin anak-anak kecil seperti tadi, apalagi sampai mengancam dengan kekerasan. Kalau teras kotor kan bisa dibersihkan," balas Zayyan.Hilya mencebik. "Dikira siapa yang selalu beresin mainan anak-anak ini? Aku tau! Belum lagi tadi pagi habis aku pel, ini malah udah kotor lagi gara-gara pada mainan tanah dibawa ke sini."Zayyan geleng-geleng kepala. Anak gadis buliknya itu masih saja emosional, apalagi hanya karena hal sepele seperti ini."Tuh, anak-anak pada pergi gara-gara takut sama kamu." Zayyan menunjuk dengan kepalanya ke arah anak-anak kecil yang berhamburan meninggalkan halaman rumah sang nenek. "Galak kayak monster sih.""Siapa yang kayak monster? Aku gitu?" Hilya menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya, yang kemudian diangguki oleh Zayyan. "Dih, situ nggak ngaca apa? Situ kali yang kayak monster.""Mana ada monster setampan saya," ucap Zayyan dengan rasa percaya dirinya.Hilya mencibir. "Dih, pede banget jadi orang!""Harus pede-lah! Kan saya memang tampan. Tidak seperti kamu yang kayak monster galak, makanya tidak punya pacar," kata Zayyan.Hilya melotot. Ia juga heran, kenapa kakak sepupunya itu tahu bahwa ia tidak punya pacar."Sok tau!" ketus Hilya. Merasa kesal dengan ucapan Zayyan, Hilya berniat untuk kembali ke belakang melewati halaman samping rumah seperti tadi. Ia tidak mau menghabiskan waktu, dan tenaganya untuk berdebat dengan sepupunya yang menyebalkan itu. Namun, sebelum pergi, Hilya kembali berkata pada Zayyan. "Aku do'ain semoga Mas Zayyan batal nikah." Kemudian Hilya melenggang pergi."Memang sudah batal kok," balas Zayyan yang masih bisa didengar oleh Hilya.=====Setelah cukup lama berada di rumah sang nenek, dan menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan Ratih, serta bermain dengan Hamam, dan Hamim, Zayyan diharuskan untuk ikut makan siang bersama.Ia duduk di meja makan sembari bercanda ria dengan Hamam, dan Hamim, menunggu sampai semua makanan siap dihidangkan.Zayyan memperhatikan Hilya yang tengah membawa dua piring berisi lauk pauk dari dapur, sampai gadis itu menaruhnya di meja makan. Tentu saja dengan raut wajah gadis itu yang masih tidak bersahabat seperti tadi.Gerak-gerik Hilya tak luput dari pengawasan Zayyan. Mulai dari menyiapkan makanan, mengambil piring, dan gelas, hingga saat Hilya berdebat dengan Ratih karena menggoreng tempe sampai gosong. Kebetulan antara dapur, dan ruang makan hanya dibatasi kaca tembus pandang, sehingga Zayyan bisa melihat dengan jelas."Mas Zayyan dari tadi liatin mbak Hilya terus. Naksir ya?" goda Hamam setengah berbisik, hingga yang dapat mendengar hanya yang berada di sekitar meja makan."Wah, iya lagi," sahut Hamim.Kedua adik kembar identik Hilya yang masih duduk di kelas enam SD itu semakin senang menggoda Zayyan, hingga Zayyan tampak salah tingkah."Eh? Mana mungkin mas naksir sama mak lampir seperti mbak kalian itu," balas Zayyan.Kebetulan saat itu Hilya sedang berjalan menuju meja makan, dan sempat mendengar ucapan Zayyan."Siapa yang kayak mak lampir?!" tanya Hilya dengan wajah garangnya."Kata mas Zayyan, kamu kayak mak lampir, Mbak," celetuk Hamam, yang disambut tawa oleh kembarannya.Zayyan menahan tawa, terlebih saat ini Hilya tengah melototinya dengan lebih garang dari tadi. Gadis itu jelas tidak berani memarahinya karena pasti akan dimarahi balik oleh Ratih."Ada apa ini, kok nenek lihat seru banget?" tanya Asih yang baru saja datang ke ruang makan. Hal itu membuat Hilya kembali melipir ke dapur. "Kalian pasti seneng ya, mas Zayyan main ke sini, Mam, Mim?""Iya, Nek, jelas kita seneng dong. Apalagi mas Zayyan baik, terus bawain kita mainan, lagi," balas Hamim."Terus, kita juga dikasih uang sama mas Zayyan," timpal Hamam. "Nggak kayak mbak Hilya yang bisanya cuma marah-marah nggak jelas.""Dih, baru disogok uang sama mainan aja udah muji-muji," cibir Hilya dengan suara lirih, seraya memindahkan sup dari panci ke mangkuk besar."Hil, bawa sini supnya cepetan!" perintah Ratih yang hendak bergabung di meja makan."Iya, Hil, cepat, ini masmu sudah kelaparan lho," timpal sang nenek, membuat Hilya justru semakin geram pada sosok yang sedari tadi dipuja-puja oleh semua orang di sini kecuali dirinya.Hilya menaruh mangkuk besar berisi sup itu di meja makan, lalu ikut bergabung duduk di sana. Semua persiapan makan sudah lengkap, sekarang tinggal menikmatinya. Namun, karena sekarang ada makhluk menyebalkan yang kebetulan duduk di hadapannya itu, membuat Hilya tidak yakin apakah kali ini bisa makan dengan enak atau tidak.Melihat wajah Hilya yang cemberut, Zayyan justru menyeringai.=====Rafi pulang dari kantornya dengan keadaan gelisah. Saham di perusahaan turun hampir sepuluh persen karena berita batalnya pernikahan Zayyan sudah sampai di telinga para pemegang saham. Banyak para pemegang saham yang menjual saham perusahaan dengan cukup besar. Meskipun Zayyan lebih aktif menjadi dokter di rumah sakit, tetapi para pemegang saham di perusahaan Rafi rata-rata pasti mengenal siapa Zayyan. Selain itu, Zayyan juga kerap kali ikut rapat para pemegang saham, dan ikut menyumbangkan aspirasinya untuk kemajuan perusahaan.Jika saham perusahaan Rafi terus turun, maka akan berdampak pada beberapa hal, seperti turunnya nilai pasar, terganggunya keuangan perusahaan, serta persepsi buruk para investor, dan pemegang saham potensial. Rafi tidak mau itu semua sampai terjadi, oleh karena itu ia harus memikirkan cara agar keadaan bisa kembali seperti semula.Melihat sang suami yang terus mondar-mandir sedari pulang kerja, Anita pun merasa bingung. Ia menghampiri sang suami untuk menanyakan apa yang tengah mengganggu pikirannya itu."Ada apa sih, Pah, kok kayak cemas gitu?""Mah, saham perusahaan turun. Para pemegang saham sudah dengar tentang batalnya pernikahan Zayyan," ungkap Rafi.Anita tidak terlalu terkejut. Hal ini sudah ia duga sebelumnya. "Ini kan sudah diprediksi, Pah, semenjak Papah memutuskan agar pernikahan Zayyan dibatalkan. Kenapa sekarang malah cemas?""Memang, Mah, tapi kita tetap harus mencari solusinya kan, supaya saham kembali stabil," balas Rafi."Salah satu solusinya ya, coba Papah komunikasikan hal ini pada para pemegang saham. Bukankah Papah sudah biasa melobi mereka?" tutur Anita."Mereka menjual saham salah satunya karena mulai memudarnya kepercayaan mereka pada Zayyan, Mah. Batalnya pernikahan itu, membuat para pemegang saham berpikir bahwa Zayyan lah penyebabnya, dan juga berbagai asumsi lainnya yang memojokkan Zayyan."Perusahaan Rafi bergerak di bidang teknologi dengan difokuskan pada perangkat lunak (software). Di antara perangkat lunak yang diproduksi oleh perusahaan Rafi di antaranya seperti, aplikasi produktivitas, sistem operasi, dan aplikasi pengembangan bisnis. Dan Zayyan termasuk salah satu otak dalam berkembangnya perangkat lunak tersebut. Maka dari itu, tidak heran jika saham perusahaan turun hanya karena berita pernikahan Zayyan yang dibatalkan, karena secara tidak langsung, Zayyan juga berkontribusi untuk perusahaan meskipun tidak secara aktif."Kalau mau melobi para pemegang saham, setidaknya kita harus meyakinkan mereka bahwa pernikahan Zayyan akan tetap terlaksana," lanjut Rafi."Ya terus bagaimana caranya? Papah mau menarik keputusan Papah untuk tetap menikahkan Zayyan, dan Tata dengan cara menyuruh orang-orang Papah untuk menjemput Tata secara paksa, begitu?" tanya Anita."Tidak. Bukan dengan Tata Zayyan akan menikah. Seperti kata Papah kemarin, cari pengantin pengganti untuk Zayyan," jawab Rafi."Perempuan mana yang mau jadi pengantin pengganti? Kalau pun ada, palingan juga tidak tulus," kata Anita. "Memangnya Papah mau punya menantu yang tidak tulus? Dan jangan lupakan juga perkataan ibu kemarin supaya kita membiarkan Zayyan mencari sendiri calon istrinya."Di tengah pembicaraan suami istri itu, pintu rumah tiba-tiba terbuka disertai dengan ucapan salam. Setelahnya, terlihatlah Zayyan yang baru pulang dari rumah sang nenek."Ada apa nih? Sepertinya Mama sama Papa sedang membicarakan hal yang serius." Zayyan menebak dari raut wajah kedua orang tuanya."Kamu pasti sudah tahu kan kalau saham perusahaan turun?" tanya Rafi.Zayyan mengangguk. "Lantas?""Untuk menstabilkan saham, kita perlu meyakinkan para pemegang saham, Zayyan. Salah satu caranya adalah dengan tetap dilaksanakannya pernikahan kamu, agar kepercayaan mereka kepada kita bisa kembali," ujar Rafi. "Menikahlah dengan Siska, Zayyan. Dia sekretaris papah, dan dia perempuan baik.""Kok jadi Siska, Pah?" tanya Anita dengan heran. Sedari tadi suaminya itu tidak menyinggung soal Siska."Ya, hanya dia kandidat yang ada di pikiran papah sekarang, Mah," jawab Rafi. "Bagaimana, Zayyan, apakah kamu mau menikah dengan Siska?""Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi. "Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi "Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi." "Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusa
Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,
Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap." Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka. Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?" "Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?" Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya. Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu. Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya. "Nek, Nenek sudah minum o
Mendengar Zayyan menyebut nama Tata pada seorang wanita di depannya, membuat Hilya, dan Tasya melebarkan mata mereka. Wanita itu adalah tunangan Zayyan yang dikabarkan kabur ke luar negeri bersama kekasihnya. Lantas, mengapa tiba-tiba ia ada di sini? Sudah pulang kah?Sebenarnya ini adalah kali pertama bagi Hilya bertemu Tata. Sebelumnya ia hanya pernah melihat Tata dari foto yang ada di ponsel Tasya. Hilya berpikir bahwa Tata lebih cantik dilihat secara langsung. Lumayan serasi jika Tata menjadi istri Zayyan, apalagi dengan status sosial keduanya. "Aku dengar, nenek kamu jatuh sakit, Zayyan," ucap Tata. "Makanya aku ke sini mau nemuin nenek kamu." Zayyan tampak gusar. Kenapa di saat ia sudah akan menikah dengan Hilya, Tata justru kembali secara tiba-tiba? Ia takut jika nanti sang ayah kembali menyuruhnya menikah dengan wanita itu. "Nenek sakit tuh gara-gara Kak Tata. Ngapain tiba-tiba ada di sini? Bukannya lagi ke luar negeri sama pacar Kak Tata?" sahut Tasya ketus. Ia yang dari
"Kenapa nggak mungkin? Kalau mas Zayyan sama kak Tata saling mencintai, ya tinggal diusahakan. Nanti pakde sama bude pasti ngerti kok." Hilya kini ikut bersuara. Zayyan tidak suka Hilya berbicara seperti itu. Ia menatap Hilya dengan tajam, dan Hilya pun balas menatapnya. "Pernikahan kita sudah disiapkan, Hil. Nanti malam kita menikah kalau kamu lupa," ujar Zayyan. "Bisa dibatalin, Mas, atau diganti sama kak Tata. Aku nggak mau ya, jadi penghalang cinta Mas Zayyan sama kak Tata," kata Hilya. "Kalau Mas takut bilangnya sama pakde, dan bude, nanti aku bisa bantu kok, supaya nanti malam Mas Zayyan nikahnya sama kak Tata aja." Zayyan mengepalkan tangannya. Sungguh ia kesal dengan Hilya yang sudah salah menyimpulkan. Ia lalu mendahului kedua gadis itu masuk ke store perhiasan. "Kak Zayyan nggak cinta sama Tata si nenek sihir, Hil. Dia dulu cuma terpaksa menerima perjodohan itu," bisik Tasya. Hilya diam sambil mencerna ucapan Tasya, sampai akhirnya ia diseret Tasya memasuki store perhi
Zayyan sebenarnya enggan menikah dengan Tata, perempuan yang dijodohkan oleh sang ayah. Ia sudah mempunyai pujaan hati sendiri, dan masih menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya. Namun, karena sang ayah terus mendesak untuk segera menikah, dan demi baktinya pada orang tua, ia terpaksa menerima perjodohan itu. Sebenarnya Tata adalah perempuan yang baik, kurangnya hanya tidak memakai tutup kepala. Hal itu pula yang membuat Zayyan kaget, kenapa sang ayah malah menjodohkannya dengan perempuan tak berhijab, padahal menurutnya sang ayah cukup religius. Meski tak menyangka dengan keputusan ayahnya, Zayyan tetap terpaksa menerima perjodohan itu, dan pura-pura tertarik pada Tata di depan orang tuanya. Pada saat pertama bertemu, Tata langsung menceritakan pada Zayyan bahwa ia sebenarnya keberatan dengan perjodohan mereka, terlebih sudah mempunyai pacar. Tetapi karena orang tuanya terus memaksa, Tata pun terpaksa menuruti perjodohan itu tanpa memutuskan hubungan dengan sang pacar. Keluarga
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen