Zayyan sebenarnya enggan menikah dengan Tata, perempuan yang dijodohkan oleh sang ayah. Ia sudah mempunyai pujaan hati sendiri, dan masih menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya. Namun, karena sang ayah terus mendesak untuk segera menikah, dan demi baktinya pada orang tua, ia terpaksa menerima perjodohan itu. Sebenarnya Tata adalah perempuan yang baik, kurangnya hanya tidak memakai tutup kepala. Hal itu pula yang membuat Zayyan kaget, kenapa sang ayah malah menjodohkannya dengan perempuan tak berhijab, padahal menurutnya sang ayah cukup religius. Meski tak menyangka dengan keputusan ayahnya, Zayyan tetap terpaksa menerima perjodohan itu, dan pura-pura tertarik pada Tata di depan orang tuanya. Pada saat pertama bertemu, Tata langsung menceritakan pada Zayyan bahwa ia sebenarnya keberatan dengan perjodohan mereka, terlebih sudah mempunyai pacar. Tetapi karena orang tuanya terus memaksa, Tata pun terpaksa menuruti perjodohan itu tanpa memutuskan hubungan dengan sang pacar. Keluarga
"Harus banget bilang begitu ya, Hil?" Zayyan kesal, di malam pernikahannya ini sang istri justru mengaku bahwa punya laki-laki yang disukai. "Ya aku kan mau jujur, Mas." Laki-laki berumur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kasar, lalu memfokuskan diri untuk menyetir, meski dadanya terasa sesak. Walau Hilya mengatakan sudah ada seseorang yang mengisi hatinya, tapi Zayyan tidak mau bertanya siapa laki-laki itu, setidaknya untuk saat ini. Zayyan benar-benar tidak mau merusak malam pengantinnya. Heran karena Zayyan tak menimpali perkataannya lagi, Hilya pun melirik sekilas. Terlihat Zayyan yang tengah fokus mengemudi dengan raut wajahnya yang entah mengapa tampak menyeramkan. Suasana menjadi hening. Hilya sebenarnya tidak suka dengan keadaan seperti ini, tapi mau bicara pun, tidak tahu apa yang akan dibahas lagi. Terlebih, jika berbicara dengan laki-laki ini pasti nantinya akan berdebat juga seperti biasanya. "Turun," kata Zayyan begitu mobilnya terparkir di depan rumah orang tuany
"Nggak!" tolak Hilya dengan tegas. Menikah dengan Zayyan saja tidak pernah terlintas di pikirannya, apalagi tidur bersama satu ranjang. "Mas udah janji nggak bakal ngapa-ngapain aku tadi." "Siapa yang berjanji? Aku kan tadi cuma bilang tidak akan melewati batas." Setidaknya sampai pernikahan secara negara disahkan. Setelah itu, Zayyan tidak tahu masih bisakah menahan diri atau tidak. Hilya menatap kesal Zayyan. Sepupunya ini benar-benar tidak pernah ada habisnya membuatnya marah. Bagaimana ia bisa bertahan lama dalam pernikahan ini coba? "Bisa nggak, Mas, jangan bikin aku kesel terus?" "Lho, aku kan bilang apa adanya, Hil. Gimana sih kamu?" Seperti biasa, Zayyan tidak mau mengalah. Jika di luar banyak orang yang mengira Zayyan sebagai pribadi yang dingin, maka itu berkebalikan jika sedang bersama Hilya. Zayyan seketika akan berubah menjadi sangat menyebalkan. Bagi Zayyan sendiri, membuat Hilya kesal, dan marah-marah adalah suatu kesenangan. Menghela napas, Hilya lalu duduk di ra
Pukul tiga dini hari Zayyan terjaga. Tak butuh alarm untuk membangunkannya, karena memang sudah biasa bangun di jam-jam seperti ini. Seperti biasa, ia akan melaksanakan sholat malam guna mendekatkan diri kepada sang pemilik alam. Selanjutnya ia akan berdzikir, dilanjut membaca Al Qur'an sampai subuh tiba. Melirik ke ranjang, Zayyan melihat Hilya di sana. Merasa penasaran seperti apa Hilya saat tidur jika dilihat dari dekat, Zayyan pun beranjak mendekati ranjang itu. Hilya tidur terlentang dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke bagian dada. Setelah dilihat dari dekat, Zayyan bisa melihat rambut Hilya yang hitam panjang, dan lurus. Tadi sebelum ia tidur, Hilya belum membuka jilbabnya, karena mungkin masih canggung. Dulu sewaktu Hilya kecil, dan belum berjilbab, Zayyan tahu rambut gadis itu memang sudah bagus. Setelah beranjak remaja, Hilya sudah mulai memakai jilbab, sehingga Zayyan tidak pernah lagi melihat rambut Hilya. Baru sekarang Zayyan bisa melihat lagi mahkota Hily
"Jangan! Kalau aku nggak kerja di sana lagi, terus gimana aku bisa lihat pa--"Ucapan Hilya yang menggantung itu membuat Zayyan penasaran. Zayyan mengerutkan alisnya, karena Hilya tak kunjung lanjut berbicara. Istrinya itu sekarang justru kembali melahap makanannya. "Lihat apa, Hil? Apa yang bisa kamu lihat, kalau kamu kerja di tempat fotokopi?" "Ooh itu, maksudnya aku nggak bisa lihat Fera lagi. Dia teman kerjaku." Hilya merutuk dirinya sendiri dalam hati, karena sudah berani berbohong. Terlebih pada Zayyan yang kini berstatus sebagai suaminya. "Ya nanti setelah tokonya jadi, kamu bisa ajak Fera kerja di toko fotokopi kamu." Zayyan masih belum menyerah. Membuatkan Hilya sebuah usaha bukanlah hal yang sulit bagi Zayyan, apalagi hanya usaha fotokopi. Bahkan jika Hilya minta dibangunkan perusahaan, Zayyan yakin, uang tabungannya sudah sangat-sangat cukup. Hilya sendiri memilih tak membalas ucapan Zayyan. Pikirannya terus tertuju tentang bagaimana agar ia bisa bebas menjalani kehidu
Dari dekat dapur, Zayyan melihat Hilya yang tengah memasak bersama Ratih, dan Anita. Mereka juga sembari berbincang-bincang, dan sesekali bercanda tawa. Ada rasa tenang di hati Zayyan, karena setidaknya Hilya masih baik-baik saja. Ia sempat khawatir bahwa Hilya akan murung, dan bersedih setelah pernikahan mereka. "Ngapain di sini, Kak? Hayo, lagi ngintipin Hilya masak ya?" Tasya tiba-tiba datang menghampiri, dan berdiri di dekat Zayyan. "Siapa yang ngintip? Kakak cuma kebetulan lagi di sini," elak Zayyan, meski sebenarnya tujuannya di sini memang untuk melihat Hilya. Tapi, jika Zayyan berkata yang sebenarnya, bisa-bisa nanti Tasya menggodanya, dan melapor pada Hilya. Tentu Zayyan harus menghindari hal itu. "Ya deh, terserah Kakak aja," kata Tasya. "Kamu kenapa tidak bantuin masak?" Zayyan memandang heran sang adik. "Sana ikut bantu!" "Yaelah, Kak, lagian udah banyak yang masak. Aku juga tadi habis pijitin nenek di kamar, makanya nggak ikut masak," ujar Tasya. Mereka saat ini mem
"Ekhem! Kalau mau mesra-mesraan, jangan di dapur. Aku bisa lihat lho." Hamam tiba-tiba datang, karena mau ke kamar mandi yang ada di dapur. Zayyan sontak menjauhkan tubuhnya dari Hilya, lalu menyugar rambutnya ke belakang. Hampir saja ia kelepasan, jika saja adik Hilya itu tidak memergoki. "Siapa yang mesra-mesraan!" elak Hilya. Ia keberatan jika dituduh seperti itu. Mana mau ia mesra-mesraan dengan laki-laki menyebalkan seperti Zayyan. "Dikira aku nggak bisa lihat apa, Mbak? Jelas-jelas tadi Mbak sama mas Zayyan lagi--" "Lagi apa? Jangan sok tau kamu, Mam! Mas Zayyan tadi cuma mau niupin mata mbak yang kelilipan," alibi Hilya, meski sebenarnya ia tidak tahu juga apa yang akan Zayyan lakukan padanya tadi. Yang mengelak dulu, daripada dituduh sedang mesra-mesraan. Hamam menggaruk kepalanya. Menurut penglihatannya tadi, tangan Zayyan memegangi lengan tangan Hilya, sementara satu tangannya yang lain melingkari pinggang Hilya. Adakah orang yang akan meniup mata orang yang kelilipan
"Nggak usah sok peduli deh!" ketus Hilya. Ia bertambah sebal sekarang, pada laki-laki yang sayangnya sudah menikahinya itu. "Aku kan suamimu, Hil, peduli sama istri itu wajib," balas Zayyan. "Coba sekarang bilang, kenapa kamu nangis? Apa karena diare? Sakit ya perutnya? Sudah minum oralit belum? Atau mau aku pesankan obat?" "Kepo banget jadi orang! Nggak perlu tau aku nangis kenapa. Aku juga nggak butuh obat. Aku butuhnya Mas Zayyan menjauh lagi dari aku, seperti sebelum kita menikah. Udah gitu aja," ujar Hilya. Zayyan terdiam mendengar perkataan istri sirinya itu. Apakah kehadirannya mengganggu kehidupan Hilya? Tak bisakah hubungannya dengan gadis itu kembali membaik lagi seperti dulu, seperti saat Hilya masih kecil? Dada Zayyan rasanya sesak. Perkataan Hilya tadi seakan mengusirnya dari kehidupan gadis itu. "Ya sudah, maafkan aku, Hil, banyak salah sama kamu. Sekarang kamu tidur ya, sudah malam. Jangan nangis terus, nanti malah pusing." Tak ada jawaban dari Hilya, membuat Zayy
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen